Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kasus pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani tak kunjung rampung.
Intan Jaya menjadi daerah dengan kasus kekerasan tanpa pelakunya dihukum.
Setidaknya 263 orang tewas akibat konflik di Kabupaten Nduga.
BUTUH waktu berbulan-bulan hingga keluarga Yeremia Zanambani menyetujui autopsi terhadap jenazah Pendeta Yeremia. Selain pertimbangan adat, keluarga meminta prosesnya melibatkan tim dokter independen dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Walhasil, bagian jasad Yeremia, yang meninggal pada 19 September 2020 di Intan Jaya, Papua, baru diautopsi pada Sabtu, 5 Juni 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama dua setengah jam, tim dokter forensik dari Rumah Sakit Labuan Bajo mengambil sampel dari jenazah Yeremia di Distrik Hitadipa, Intan Jaya, Papua. Adapun pemeriksaannya bertempat di Laboratorium Universitas Hasanuddin, Makassar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan hasil autopsi terhadap tubuh pendeta Gereja Kemah Injil Indonesia Papua itu identik dengan kesimpulan lembaganya. “Pendeta Yeremia kehabisan darah karena luka tembak,” ujar Anam kepada Tempo, Sabtu, 13 November lalu.
Investigasi Komnas HAM menunjukkan keterlibatan tentara dalam kematian Yeremia yang ditembak dan dianiaya di kandang babi miliknya. Kesimpulan serupa diperoleh tim gabungan pencari fakta bentukan pemerintah serta Tim Kemanusiaan untuk Kasus Kekerasan terhadap Tokoh Agama di Kabupaten Intan Jaya, yang beranggota perwakilan kelompok masyarakat sipil.
Kasus kematian Pendeta Yeremia awalnya ditangani Kepolisian Resor Intan Jaya. Menurut Choirul Anam, kepolisian belakangan menyerahkan berkas-berkas pemeriksaan kepada Pusat Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.
Masalahnya, kata Anam, proses hukum itu macet. Menurut dia, Puspom TNI Angkatan Darat menganggap keluarga Yeremia harus mengadukan kasus itu lebih dulu. Ketua tim investigasi Komnas HAM untuk kasus kematian Pendeta Yeremia itu menilai persyaratan tersebut mengada-ada. “Kasusnya jadi berlarut-larut,” ucap Anam.
Panglima Komando Daerah Militer Cenderawasih Mayor Jenderal Ignatius Yogo Triyono mengatakan proses hukum pembunuhan Pendeta Yeremia masih berjalan. “Personel kami yang terlibat sudah diproses hukum,” tutur Yogo kepada Tempo, Sabtu, 13 November lalu.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Mahmodin mengatakan pemerintah sudah bersikap transparan dengan membentuk tim pencari fakta. Ia menganggap tak ada masalah dalam penanganan kasus kematian Pendeta Yeremia. Mahfud mengklaim pemerintah dan tentara tak menutupi kasus tersebut.
Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramandey mengatakan keluarga Yeremia berharap kasus tersebut bisa tuntas dan pelaku dihukum berat. “Mereka sudah dua kali menanyakan hasilnya,” kata Frits.
Bukan hanya kasus kematian Pendeta Yeremia yang mandek. Hingga kini, kasus tewasnya Rufinus Tigau, 28 tahun, juga tak kunjung terang. Katekis atau guru agama Katolik di Distrik Sugapa, Intan Jaya, itu tewas diberondong pelor tentara sebulan setelah Yeremia dibunuh. Tanpa seizin keluarga, tentara mengubur jasadnya.
Pastor Paroki Santo Mikael Bilogai, Yustinus Rahangiar, mengatakan sejumlah saksi bercerita bahwa tentara mengganti celana Rufinus dengan pantalon yang identik dengan pakaian Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). “Keluarga mengharapkan keadilan untuk Rufinus,” ujar Yustinus.
Intan Jaya menjadi daerah dengan kasus kekerasan sonder hukuman bagi pelakunya. Pada Februari lalu, kata Pastor Yustinus, tiga kakak-adik bermarga Bagau, yaitu Janius, Soni, dan Justinus, tewas di tangan tentara. Menurut Yustinus, Janius ditangkap tentara yang sedang mengumpulkan penduduk di halaman Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Tanah Putih Wogoitogapa.
Saat itu, personel TNI tengah mengejar pelaku penembakan Prajurit Dua Ginanjar Ananda yang diduga dilakukan oleh anggota TPNPB. Janius menolak ditangkap dan lari ke arah jurang. Namun lengan kirinya hancur terkena peluru. Keluarganya menemukan Janius dan membawanya ke Pusat Kesehatan Masyarakat Bilogai. Namun, di sana, tentara menangkap Soni, Janius, dan Justinus.
Pastor Yustinus mengatakan saudara Janius ditangkap karena mengenakan gelang bergambar Bintang Kejora, bendera Papua merdeka. Yustinus yang tiba di puskesmas dilarang masuk oleh tentara yang berjaga di pintu gerbang. Moncong senapan sempat diarahkan kepadanya.
Sehari kemudian, Bupati Intan Jaya Natalis Tabuni mengundang Pastor Yustinus ke rumahnya. “Bupati kasih tahu, jam 12 malam tentara lapor bahwa tiga saudara itu sudah dibunuh,” tuturnya.
Kepala Penerangan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III Kolonel I Gusti Nyoman Suriastawa mengatakan tiga orang itu ditembak karena berusaha melarikan diri. “Mereka mencoba merampas senjata api milik tentara di Puskesmas Sugapa,” ucap Suriastawa pada Februari lalu.
Ia menuding kakak-adik itu sebagai anggota kelompok kriminal bersenjata. Janius, misalnya, ikut menandatangani surat pernyataan perang terhadap TNI/Polri serta sering menggelar aksi teror di Sugapa.
Pengungsi Nduga yang ada di salah satu lokasi pengungsian di Jayawijaya, Papua, Desember 2020. JUBI/Arjuna
Pastor Yustinus Rahangiar membantah tudingan itu. Ia mengatakan Janius tak akan memasuki kampung jika benar menjadi anggota TPNPB. Sedangkan Soni dan Justinus lebih dulu berkumpul di pelataran gereja, mengikuti instruksi tentara. “Kalau dorang TPNPB, tidak mungkin masuk ke sarang lebah,” kata Yustinus.
Konflik di Kabupaten Nduga yang berlangsung sejak 2018 juga menyisakan berbagai kasus kemanusiaan. Anggota Tim Evakuasi Kemanusiaan Nduga, Theo Hesegem, mengatakan salah satu kasus yang diabaikan adalah tewasnya Pendeta Geyimin Nirigi di Distrik Mapenduma, akhir Desember 2018.
Bersama putrinya, Mincena, Geyimin kabur ke hutan saat helikopter TNI masuk ke wilayah tersebut dan menembak ke berbagai penjuru. Namun ia memilih kembali ke rumah karena kakinya sakit. Adapun Mincena menyelamatkan diri ke hutan. Belakangan, Mincena tak menemukan ayahnya di rumah. Tapi, di kebun belakang, ia menemukan tulang manusia.
Tiga saksi mata mengaku melihat asap hitam membubung tinggi di rumah Pendeta Geyimin pada 21-23 Desember 2018. “Keluarga menduga bahwa pendeta tersebut dibakar dan dikubur,” ujar Theo Hesegem kepada Tempo, Kamis, 11 November lalu.
Komandan Komando Resor Militer 172 saat itu, Jonathan Binsar Parluhutan Sianipar—kini berpangkat brigadir jenderal—membantah jika anak buahnya disebut membakar Geyimin. “Tentara tidak punya tradisi membakar. Justru OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang punya tradisi itu,” katanya pada akhir Maret 2019.
Laporan Tim Evakuasi Kemanusiaan Nduga menyebutkan setidaknya 263 orang meninggal akibat konflik di Nduga. Mereka tewas lantaran tembakan aparat TNI/Polri, kekerasan fisik, hingga sakit saat mengungsi.
Selain bersembunyi di hutan, penduduk Nduga mengungsi ke kabupaten lain di Papua, seperti Jayawijaya dan Lani Jaya. Tiga tahun berselang, mereka belum berani pulang. “Mereka merasa Nduga belum aman,” tutur Theo.
RAYMUNDUS RIKANG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo