Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Jorjoran Berburu Dana Hijau

PLN mengejar pembiayaan transisi energi untuk memenuhi target karbon netral 2060. Ada potensi masalah selain besarnya kebutuhan pendanaan.

13 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Program transisi energi untuk mengurangi emisi karbon butuh biaya tinggi.

  • PLN membuka berbagai opsi pembiayaan murah.

  • Perlu kebijakan subsidi untuk menutup potensi kenaikan biaya listrik pada 2060.

ZULKIFLI Zaini pamer tentang Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Rajamandala. Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN itu menceritakan teknologi modern pada pembangkit energi terbarukan berkapasitas 47 megawatt di Desa Cihea, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang beroperasi penuh sejak Mei 2019 tersebut. “Rajamandala bukan hanya bukti komitmen Indonesia mewujudkan dunia yang lebih ramah lingkungan, tapi juga memenuhi pilar Sustainable Development Goals, yakni pembangunan lingkungan,” kata Zulkifli, Jumat, 12 November lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PLTA Rajamandala dikembangkan PT Rajamandala Electric Power, perusahaan patungan PT Indonesia Power—anak usaha PLN—dan Kansai Electric Power Company, Jepang. Menggunakan teknologi Vertical Kaplan, turbin pembangkit listrik ini berputar memanfaatkan aliran air keluaran PLTA Saguling yang disalurkan lewat kanal buatan di Sungai Citarum. Itu sebabnya pembangkit ini tergolong sebagai PLTA run-of-river, tak memerlukan waduk seperti umumnya pada PLTA reservoir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kini PLTA Rajamandala menjadi unit penopang PLTA Saguling Power Generation O&M Services Unit (POMU), pembangkit dengan kapasitas daya terpasang 844 megawatt di Kabupaten Bandung Barat. Penopang Saguling lain meliputi tujuh subunit, yakni PLTA Bengkok dan Dago, Plengan, Lamajan, Cikalong, Ubrug, Karacak, serta Parakan Kondang. Pembangkit Saguling POMU ini menjadi pemikul beban dasar (baseload) dan penstabil bagi sistem kelistrikan Jawa-Bali.

Penandatanganan nota kesepahaman antara Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini (kedua kanan) dan Direktur Jenderal ADB untuk Asia Tenggara Ramesh Subramaniam (kedua kiri) di sela acara Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, 1 November 2021. Dokumentasi PLN

Bagi PLN, keberadaan PLTA Rajamandala sebagai pembangkit energi terbarukan juga diperlukan untuk mengurangi emisi. "Potensi PLTA masih sangat besar. Ini bisa menjadi peluang untuk mempercepat pencapaian net zero carbon pada 2060," ucap Zulkifli, yang juga mantan Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

PLN memang berkepentingan menambah porsi pembangkit ramah lingkungan di tengah besarnya tuntutan terhadap Indonesia agar memenuhi komitmen dalam Perjanjian Paris 2015. Desakan agar pemerintah segera mengurangi penggunaan pembangkit fosil, terutama saat ini yang berbahan bakar batu bara, meningkat. Di sektor energi, pembakaran batu bara di pembangkit listrik tenaga uap adalah penghasil emisi tertinggi kedua setelah pembakaran bahan bakar minyak.

Untuk memenuhi Perjanjian Paris, pemerintah menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030 atau 41 persen jika dibantu pihak luar negeri. Sektor energi menjadi salah satu sasaran pengurangan emisi, yakni mencapai 11 persen—kedua terbesar setelah sektor kehutanan.

Belakangan, dalam Konferensi Perubahan Iklim Ke-26 (COP26) yang digelar dua pekan terakhir di Glasgow, Skotlandia, pemerintah menegaskan target net zero emission pada 2060. Sektor energi, terutama pembangkit listrik, akan menjadi tumpuan untuk mencapai target tersebut. Sederet kebijakan, termasuk Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030, bergulir dengan ambisi mengurangi bertahap pembangkit batu bara dan menggenjot pengembangan pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT).

Persoalannya, merealisasi ambisi itu tak mudah, juga tak murah. Dalam hitung-hitungan pemerintah, untuk mencapai target peningkatan kontribusi EBT menjadi 23 persen pada 2025, dibutuhkan biaya investasi sampai US$ 6,3 miliar atau sekitar Rp 90 triliun per tahun. Sedangkan sejauh ini, saban tahun realisasinya hanya sekitar 24 persen.

Kebutuhan dana bakal lebih besar jika menghitung semua program transisi menuju target netral karbon pada 2060. Dalam hitungan PLN, upaya mengalihkan skema business as usual menjadi carbon neutral membutuhkan investasi sedikitnya US$ 500 miliar atau lebih dari Rp 7.000 triliun dengan biaya mitigasi US$ 35-40 per ton ekuivalen karbon dioksida.

Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato di KTT Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Inggris, 1 November 2021. ANTARA/Biro Pers Media Kepresidenan/Laily Rachev

Berbicara dalam talk show bertajuk “Business Leadership: Supporting Ambitious Target Achievement on GHG Emission Reduction” dalam rangkaian acara COP26, Rabu, 3 November lalu, Direktur Perencanaan Korporat PLN Evy Haryadi mengatakan perusahaannya telah menyiapkan peta jalan berisi 13 inisiatif untuk mengurangi emisi sebesar 900 juta ton ekuivalen karbon dioksida pada 2060. Sembilan inisiatif di antaranya disiapkan PLN untuk mencapai target-target 2030. "Inisiatif jangka pendek ini akan membutuhkan dukungan belanja modal sebesar US$ 148 miliar," kata Evy.

Itu sebabnya perseroan kini jorjoran mencari dukungan dari banyak pihak, termasuk berupa pembiayaan hijau dengan bunga rendah.

•••

RENCANA pembiayaan Bank Pembangunan Asia (ADB) berbelok. Semula ADB berencana menggeber studi tentang mekanisme transisi energi pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang dikembangkan pihak swasta alias independent power producer di Indonesia. Namun Perusahaan Listrik Negara ternyata juga tengah mengkaji monetisasi PLTU batu bara terhadap keberlanjutan keuangan perusahaan. Karena tujuannya mirip, PLN melakukan lobi agar riset ADB dilakukan terhadap PLTU milik perseroan.

Deal, keduanya sepakat. Pada hari pertama penyelenggaraan COP26, Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini dan Direktur Jenderal Departemen Asia Tenggara ADB Ramesh Subramaniam meneken nota kesepahaman mengenai kerja sama studi kelayakan penuh, termasuk aspek teknis dan finansial, pada mekanisme transisi energi. Program ini akan menggunakan pembiayaan publik-swasta guna mempercepat masa pensiun pembangkit batu bara, untuk kemudian diganti dengan sumber energi terbarukan.

PLN memang telah menyiapkan program pensiun (retirement) PLTU batu bara. Dalam skenario perseroan, operasi PLTU batu bara akan dihentikan secara bertahap mulai 2030. Operasi akan dihentikan sepenuhnya pada 2056, empat tahun sebelum target netral karbon.

Rencananya, dalam tiga tahun masa kerja sama, yang dapat diperpanjang, PLN dan ADB akan membahas lebih spesifik rencana-rencana PLN untuk beralih ke energi bersih. "Tentu harapannya pada COP berikutnya kami dan PLN bisa mempresentasikan kemajuan kerja sama ini," ujar Subramaniam.

Belum terang betul berapa nilai komitmen pendanaan ADB dalam kerja sama dengan PLN tersebut. Yang jelas, berbicara dalam diskusi “Mobilizing Financing for Indonesia's Power Sector Decarbonization”—bagian dari rangkaian acara COP26, Senin, 1 November lalu, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PLN Sinthya Roesly mengungkapkan PLN membutuhkan bantuan teknis untuk menetapkan standar proyek yang sesuai agar memenuhi syarat pembiayaan hijau (green financing).

Menurut dia, PLN akan meningkatkan porsi pembiayaan hijau dengan meluncurkan kerangka pembiayaan berkelanjutan. “PLN memerlukan dukungan dari semua stakeholder untuk mencapai cita-cita bersama dengan instrumen pinjaman lunak untuk mempercepat pelaksanaan proyek dekarbonisasi,” ucap Sinthya, Senin, 1 November lalu.

MIMPI LAMA DI AMBISI BARU

Pemerintah kembali berambisi menggeber pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) dalam sedekade ke depan sebagai bagian dari upaya mengejar target netral karbon pada 2060. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030 memuat rancangan penambahan kapasitas pembangkit 40,6 gigawatt, sebesar 51,6 persen di antaranya berupa pembangkit EBT. Sebagian besar pembangkit baru EBT ini diharapkan dikembangkan oleh produsen listrik swasta.

Untuk menangkap peluang pembiayaan hijau, kata Sinthya, PLN akan membuka opsi berbagai instrumen pendanaan. Dia mencontohkan, perusahaan akan menyiapkan penerbitan obligasi hijau (green bond) yang hasilnya secara eksklusif bakal dipakai untuk membiayai kembali proyek-proyek ramah lingkungan.

Pendanaan hijau sebenarnya bukan hal baru bagi PLN. Pada Desember 2020, perseroan menerbitkan pinjaman hijau (green loan) senilai US$ 500 juta untuk menyelesaikan dua proyek PLTA dan lima proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi. Penerbitan green loan ini dijamin oleh Badan Penjamin Investasi Multilateral Bank Dunia dan berlangsung selama lima tahun.

Selain itu, menurut Sinthya, PLN menyiapkan instrumen obligasi sosial (social bond) untuk mendanai proyek-proyek strategis yang berdampak langsung terhadap masyarakat sekaligus memitigasi persoalan sosial. Instrumen terakhir berupa obligasi keberlanjutan (sustainability bond) yang disiapkan untuk membiayai kembali kombinasi proyek hijau dan sosial. "PLN berkomitmen memanfaatkan pendanaan ini semaksimal mungkin dengan sistem pengawasan berkelanjutan dan juga melaporkan dana yang diserap secara berkala," tutur Sinthya.

Dalam diskusi yang sama, Direktur Lingkungan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) Rodolfo Lacy mengungkapkan besarnya peluang meraup pendanaan bagi program pembangunan berkelanjutan. “Sistem keuangan global sekarang giat mencari untuk menambah portofolionya dengan proyek ramah lingkungan," ujarnya.

Lacy memproyeksikan arah energi dan perubahan iklim dunia akan ditentukan oleh negara berkembang. Di luar Cina, negara-negara berkembang menyumbang US$ 150 miliar atau seperlima investasi energi pada 2020. "Berita baiknya adalah tidak ada kekurangan pada modal global. Teknologi juga ada,” ucapnya.

•••

LEMBAGA pembiayaan dalam negeri sebenarnya juga mulai bergerak menyokong Perusahaan Listrik Negara. PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) salah satunya. Hingga September lalu, perusahaan milik negara di bawah Kementerian Keuangan ini telah membiayai 9 unit pembangkit listrik tenaga minihidro, 3 unit pembangkit listrik tenaga mikrohidro, 4 unit pembangkit listrik tenaga biomassa, 1 unit pembangkit listrik tenaga air, dan 1 pembangkit listrik tenaga panas bumi.

Secara keseluruhan, PT SMI telah berkomitmen menyiapkan pembiayaan Rp 10 triliun untuk 32 proyek ramah lingkungan dengan nilai total investasi Rp 77,7 triliun. Porsi pembiayaan itu jauh lebih besar dibanding komitmen pendanaan Rp 6,1 triliun untuk sembilan proyek pembangkit batu bara yang senilai Rp 28,5 triliun.

Direktur Manajemen Risiko PT SMI Faaris Pranawa menyatakan perusahaan menargetkan pengurangan porsi pembiayaan proyek energi fosil maksimal 8 persen dari semua portofolio perseroan. Hingga September lalu, komitmen pembiayaan SMI terhadap proyek pembangkit batu bara telah mencapai 4,9 persen dari total komitmen pembiayaan sebesar Rp 106,96 triliun. Karena itu, menurut Faaris, SMI memutuskan menunda untuk sementara waktu (moratorium) pembiayaan proyek ketenagalistrikan batu bara. “Kebijakan pembiayaan kini dialihkan ke proyek yang berkontribusi menurunkan emisi karbon,” katanya.

SUMBER: RUPTL 2021-2030, PT PLN (PERSERO)
NASKAH: AISHA SHAIDRA, AGOENG WIJAYA

Komitmen serupa datang dari kalangan perbankan. Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Royke Tumilaar mengatakan perusahaannya kini memiliki green financing desk yang berfokus pada jenis pembiayaan ramah lingkungan. Dia mencontohkan, saat ini BNI turut serta dalam pembiayaan proyek PLTA berkapasitas 2 × 45 megawatt di Sulawesi Selatan. “Kami juga berkomitmen secara gradual untuk tidak menambah eksposur pada proyek yang berpotensi meningkatkan emisi karbon,” ujar Royke, Kamis, 11 November lalu. “BNI juga akan memasukkan faktor keberlangsungan dan dampak lingkungan sebagai salah satu poin evaluasi kelayakan pembiayaan.”

Di tengah besarnya peluang meraup pembiayaan untuk mencapai target karbon netral, masih ada tantangan lain yang sebenarnya mengganjal di tubuh PLN. Perseroan memproyeksikan, pada 2060, transisi ke energi bersih akan menimbulkan tambahan biaya listrik sebesar US$ 3,3 sen per kilowatt-jam. Itu sebabnya Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini juga berharap ada dukungan lain berupa subsidi atau kompensasi. “Agar tak membebankan biaya tambahan kepada pelanggan,” tuturnya. Persoalan ini agaknya bakal panjang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus