Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Mortir Serbia di Distrik Kiwirok

Serbuan TNI ke Distrik Kiwirok, Pegunungan Bintang, Papua, membuat ratusan hingga ribuan penduduk mengungsi.

13 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • TNI menyerbu Distrik Kiwirok, Pegunungan Bintang, Papua, dengan mortir.

  • Dokumen yang didapat Tempo menyebutkan ada kelompok lain terlibat dalam kerusuhan di Kiwirok.

  • Dua pekan terakhir, konflik di Papua kembali memanas.

BERWUJUD seperti roket, mortir itu dilengkapi baling-baling di bagian belakang. Dalam potret yang diterima Tempo, artileri itu digendong pria yang memakai atribut Bintang Kejora, lambang Organisasi Papua Merdeka. Panjang amunisi yang ditemukan di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, itu hampir mendekati lengan pria di dalam foto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada pekan kedua Oktober lalu, Tentara Nasional Indonesia diduga menyiram Kiwirok dengan mortir tersebut. Tak ada korban dalam penyerbuan itu. Namun diperkirakan ratusan hingga ribuan warga sipil mengungsi dari distrik itu. Mereka kocar-kacir masuk hutan, pindah ke kampung tetangga, hingga ke Papua Nugini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Choirul Anam, mengaku sudah mencermati temuan mortir di Kiwirok. Komisi sudah menggali informasi dari penduduk lokal dan pihak lain ihwal artileri itu. “Kami telah melacak sejarah dan tujuan penggunaan mortir itu dalam kondisi konflik, terutama di Papua,” ujar Anam ketika dihubungi pada Sabtu, 13 November lalu.

Ketua Umum Organisasi Papua Merdeka (OPM) Jeffrey Bomanak mengungkapkan ada belasan mortir yang ditembakkan di Kiwirok, berdasarkan informasi dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat—sayap militer OPM. Satu mortir meledak dan satu lainnya pecah. Sisanya masih utuh. Jeffrey mengklaim telah menyimpan beberapa artileri yang gagal meledak.

Sekolompok warga dengan latar belakang bendera Bintang Kejora, menunjukan mortir yang dilengkapi baling-baling, di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Istimewa

“Kami sedang meneliti sebagian besar bom yang tak meledak dan hasilnya akan segera dipublikasikan,” kata Jeffrey. Beberapa potret yang dilihat Tempo menunjukkan sejumlah identitas mortir berkelir hijau pucat, yaitu tulisan “KV” dan “01/20”.

Merujuk pada sejumlah portal persenjataan, inisial itu menandakan amunisi dibuat oleh perusahaan asal Serbia bernama Krusik yang berbasis di Valjevo—kota di selatan ibu kota Serbia, Beograd. Sedangkan angka “01/20” berarti mortir itu merupakan lot satu dan diproduksi pada 2020.

Badan Pusat Statistik mencatat impor produk artileri, termasuk mortir, dari Serbia dengan kode sistem terharmonisasi atau harmonized system code (kode HS) 93011000. Kode HS merupakan sistem pencatatan barang dalam perdagangan internasional. Indonesia mengimpor artileri dari Serbia senilai US$ 1,8 juta pada 2020, lalu meningkat menjadi US$ 4 juta setahun berikutnya.

Berdasarkan katalog produk, mortir dengan tipe M72 seperti yang ditembakkan di Kiwirok bisa menjangkau target sejauh 5 kilometer. Mortir buatan Krusik disebut pernah dipakai petempur kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Yaman. Kementerian Pertahanan Arab Saudi juga memesan artileri yang memiliki radius ledak sejauh 14 meter ini pada 2016 dan 2018. 

Seorang pejabat yang mengetahui hasil investigasi mortir itu mengatakan ada tiga versi kesaksian penduduk soal asal peluru tersebut. Pertama, ada warga Kiwirok melihat helikopter lalu-lalang di langit sebelum mortir diluncurkan. Versi lain, pesawat nirawak terbang sebelum terdengar bunyi ledakan. Terakhir, roket itu dicurigai diluncurkan dari tabung pelontar.

Pejabat itu mengatakan dugaan mortir dijatuhkan dari helikopter masih perlu diuji karena jarak pandang yang terbatas di pegunungan. Aparat juga belum memiliki drone yang mampu membawa sekaligus meluncurkan rudal dari udara. Analisis sementara, pesawat nirawak bertugas mengintai dan menentukan koordinat target. Lalu mortir ditembakkan dari kejauhan.

Panglima Komando Daerah Militer Cenderawasih Mayor Jenderal Ignatius Yogo Triyono membenarkan kabar bahwa pasukannya dibekali peluncur roket. Senjata itu digunakan karena medan operasi di Papua sangat terjal dan bertujuan memberi efek kejut kepada kelompok bersenjata. “Ada roket yang tak meledak, dan itu diambil mereka,” ujar lulusan Akademi Militer 1988 ini.

Kampung di Kabupaten Pegunungan Bintang yang terbakar karena serangan udara, 21 Oktober 2021. Istimewa

Yogo mengklaim personel TNI selektif memilih target dan tak pernah mengebom permukiman penduduk. Ihwal baku tembak di Kiwirok, Yogo menyatakan kelompok bersenjata yang dipimpin Lamek Taplo memulai serangan lebih dulu.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Papua Komisaris Besar Ahmad Musthofa Kamal membantah jika pasukannya disebut membombardir Kiwirok dengan mortir. “Senjata yang dipakai Polri dalam penegakan hukum kan jelas,” tuturnya. Ia menyebutkan polisi masih berpatroli intensif di Kiwirok.

•••

KONFLIK yang membara di Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, merupakan kelanjutan peristiwa yang terjadi sebulan sebelumnya. Pada Senin, 13 September lalu, terjadi pembakaran fasilitas kesehatan dan bangunan lain. Dalam kejadian itu, sejumlah tenaga medis mengalami luka dan seorang perawat, Gabriella Meilani, tewas.

Perawat yang selamat, Marselinus Ola Atanila, bercerita, pada hari nahas itu dia bersama tiga suster dan dua mantri berada di salah satu barak di pusat kesehatan masyarakat. Tiba-tiba sekelompok orang datang dan menghancurkan kaca jendela, memukul pintu, serta berusaha masuk ke barak. “Mereka menyiram bensin di sekitar barak dan membakarnya,” kata Marselinus di Jayapura.

Mendekam di barak selama sekitar sepuluh menit, Marselinus dan ketiga suster akhirnya memutuskan keluar. Kobaran api membesar dan mulai meruntuhkan atap. Namun anggota kelompok bersenjata sudah berkerumun. Ia dan ketiga suster lari dan bersembunyi di toilet salah satu rumah penduduk.

Setengah jam berlalu, kerusuhan malah membesar. Marselinus memutuskan kabur bersama tiga tenaga kesehatan lain. Upaya ini gagal. Ia terpojok dan dikepung kelompok penyerang yang membawa sejumlah senjata. Satu-satunya cara untuk lolos dari sergapan adalah melompat ke jurang di belakang barak.

“Saya tanya suster bagaimana harus mengamankan diri. Mereka jawab, 'Kita lompat saja.' Saya menghitung satu sampai tiga lalu melompat. Para suster mengikuti saya untuk melompat,” ucap Marselinus. Mereka tersangkut di semak-semak jurang.

Setelah Marselinus dan para perawat terjun, para penyerang ikut melompat. Melihat kelompok bersenjata terus memburu, Marselinus bersembunyi di balik tebing. Namun tiga perawat yang ikut bersamanya dicokok penyerang dan digelandang ke atas jurang.

Dalam rekaman video yang didapat Tempo, ketiga perawat itu dibaringkan di atas dedaunan. Dengan tangan diikat, mereka mendapat penyiksaan berat dan perlakuan tidak wajar. Seorang di antara penyerang juga menanyakan isi telepon seluler para suster tersebut.

Menurut Marselinus, jumlah penyerang yang datang makin banyak. Ketiga suster sempat pingsan, lalu dibuang ke jurang lain yang kedalamannya hampir 400 meter. Meski terperosok di jurang, Gabriella Meilani masih sadar, tapi tubuhnya tak berdaya. Marselinus meyakini Gabriella dianiaya hingga meninggal di situ.

Baca: Kekerasan Tak Berujung di Papua

Setelah situasi aman, Marselinus mendaki dari bawah tebing sekitar pukul 17.00. Ia lari ke arah pos tentara terdekat untuk mencari perlindungan. “Namun tak ada petugas karena mereka semua sudah diarahkan ke pos perbatasan,” tuturnya. Saat itu, terjadi baku tembak antara TNI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) di pos perbatasan.

Ia lalu mengamankan diri ke rumah penduduk di sekitar pos komando rayon militer. Esoknya, 14 September lalu, Marselinus bertemu dengan dua mantri puskesmas yang turut menjadi korban penyerangan, Patra dan Emanuel Abi, di pos koramil. Saat itu, Abi terluka di bagian punggung karena terkena panah.

Kepada tim pemeriksa, Patra menyatakan membelandang ke belakang barak dan loncat ke jurang ketika kelompok penyerang menyerbu Puskesmas Kiwirok. Belukar menutupi tubuhnya sehingga ia tak terlihat oleh kelompok penyerang yang ikut turun ke tebing. Di rerumputan itu, ia mendengar rekannya berteriak saat disiksa.

Dua perawat perempuan berada di jurang dalam kondisi hidup meski tubuh mereka penuh luka. Seorang di antaranya mendaki tebing dan lari ke pos polisi. Rekannya diselamatkan pada Rabu, 15 September, dua hari seusai penyerangan. Sedangkan jenazah Gabriella baru bisa dievakuasi dua hari kemudian.

Pangdam Cenderawasih Mayor Jenderal Ignatius Yogo Triyono menuding kelompok kriminal bersenjata Ngalum Kupel pimpinan Lamek Taplo sebagai dalang kerusuhan dan penganiayaan paramedis di Kiwirok. “Kelompok itu sudah mengeluarkan pernyataan bahwa mereka yang menyerang dan membakar fasilitas publik,” kata Yogo.

Tenaga kesehatan (Nakes) Puskesmas Kiwirok korban penyerangan Kelompok Kriminal Bersenjata tiba di Lapangan Frans Kaisepo Makodam XVII Cenderawasih, Jayapura, Papua, 7 September 2021. ANTARA/Indrayadi TH

Ketua Umum Organisasi Papua Merdeka Jeffrey Bomanak membantah tudingan bahwa prajurit TPNPB membakar fasilitas publik dan menganiaya tenaga kesehatan. Ia mengaku sudah mengkonfirmasi hal ini kepada Lamek. Menurut dia, pasukan TPNPB sedang baku tembak dengan aparat TNI-Kepolisian RI di sekitar pos perbatasan.

Menurut Jeffrey, pasukan TPNPB juga tak terlibat dalam kasus pemerkosaan perawat Gabriella Meilani. Prajurit TPNPB dilarang merudapaksa di tengah situasi perang. Anggota yang melanggar aturan main itu bisa diberi sanksi hukuman mati. “Itu perbuatan tabu dan pelanggar hukum adat ini bisa ditembak mati,” ujar Jeffrey.

Tiga narasumber yang mengetahui kasus di Pegunungan Bintang menyebutkan onar di Kiwirok terkait dengan persaingan politik lokal. Sekelompok orang yang membakar fasilitas umum dan menganiaya tenaga kesehatan diduga terafiliasi dengan bekas pejabat lokal. Menurut mereka, mantan pejabat itu ingin pejabat baru membangun infrastruktur di Kiwirok dari nol.

Sebuah risalah berisi testimoni sejumlah pejabat dan saksi di Kiwirok yang dibaca Tempo menyatakan bibit konflik politik lokal sebenarnya terjadi sejak Juli lalu. Dalam persaingan pemilihan kepala daerah setahun sebelumnya, simpatisan salah satu kubu merusak alat berat.

Dokumen yang sama menerangkan bahwa beberapa tokoh elite politik di Kabupaten Pegunungan Bintang ditengarai menggelar rapat di Oksibil, seminggu sebelum pembakaran alat berat yang kedua kalinya pada pekan kedua September lalu.

Mayor Jenderal Ignatius Yogo Triyono mengaku belum mendapatkan informasi mengenai persaingan politik lokal sebagai pemicu kerusuhan. “Saya tak mendalami lebih jauh jika ada kabar soal ketidakpuasan politik di level daerah,” ujarnya.

•••

TAK hanya di Kiwirok, konflik juga kembali pecah di Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, dua pekan terakhir. Dua anak, Adrianus Sondegau dan Joachim Majau, tertembak pada akhir Oktober lalu. Adrianus, 2 tahun, tewas, dan Joachim masih dirawat di rumah sakit. Ada juga Agustina Undou, warga Kampung Mamba, yang terluka karena tertembak pada Selasa, 9 November lalu.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ahmad Taufan Damanik, yang menemui Joachim dan Agustina, bercerita, keduanya tak bisa menceritakan kronologi kejadian secara runtut. Tiba-tiba saja bunyi senapan menyalak di sekitar mereka. “Joachim bersembunyi bersama kerabatnya di kolong, tapi mereka baru sadar dia terkena peluru setelah baku tembak,” kata Taufan.

Sedangkan Agustina sedang berada di pasar ketika tembak-menembak terjadi di Sugapa. Peluru mengenai pinggul dan area matanya. Menurut Taufan, dokter sedang berupaya merujuk Agustina ke rumah sakit di Jayapura untuk menjalani perawatan terhadap luka di mata.

Taufan menjelaskan, area konflik di Papua meluas dalam beberapa tahun terakhir. Bentrokan kini juga terjadi di daerah yang dulu dikenal sebagai kawasan yang relatif aman. Salah satunya Kabupaten Pegunungan Bintang. “Kelompok kriminal bersenjata sedang berupaya memperluas area operasi mereka,” ujarnya.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Mahmodin mengklaim pemerintah dan aparat akan mengusut setiap konflik di Papua, termasuk penganiayaan terhadap tenaga kesehatan di Kiwirok. “Pemerintah sudah punya program untuk menyelesaikan masalah di Papua,” ujar Mahfud dalam wawancara khusus dengan Tempo pada Jumat, 12 November lalu.

BUDIARTI UTAMI PUTRI, DEVY ERNIS (JAYAPURA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus