Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Status aktivitas Gunung Marapi berada di level waspada sejak 3 Agustus 2011.
BKSDA Sumatera Barat belum memasukkan rekomendasi PVMBG soal jarak aman 3 kilometer sebagai panduan SOP pendakian Gunung Marapi.
Gunung berapi aktif masih tetap bisa menjadi tempat wisata asalkan punya data yang akurat.
PADANG – Gempa bumi diselingi dentuman membuat Titah Cahyani bersama empat temannya berhamburan. Perempuan 25 tahun itu langsung merunduk dan mencari tempat aman. Ia berlindung di balik bongkahan batu besar. Tak lama kemudian, abu dan batu panas menghujaninya. "Saya terpisah dari teman-teman saat menyelamatkan diri,” ujar Titah pada Rabu kemarin, 6 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Titah merupakan satu di antara korban selamat erupsi Gunung Marapi pada Ahad, 3 Desember lalu. Warga asal Padang Pariaman, Sumatera Barat, itu mengalami luka bakar di bagian wajah, kaki, dan tangannya. Saat ini Titah masih dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Padang Panjang. Ia mengalami luka bakar level dua dan tubuhnya belum bisa digerakkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gunung Marapi di Sumatera Barat, yang berstatus waspada, tiba-tiba meletus dahsyat pada Ahad lalu pada pukul 14.53 WIB. Hujan abu dan pasir menjebak puluhan pendaki yang berada di sekitar puncak gunung. Letusan freatik yang minim prekursor dan sulit terdeteksi di gunung setinggi 2.885 meter di atas permukaan laut itu menyebabkan 23 pendaki tewas, termasuk tiga di antaranya adalah teman Titah. Saat kejadian, Titah bersama rombongannya sedang turun menuju kawasan Cadas, yang berjarak sekitar 1,2 kilometer dari puncak Marapi. Kawasan Cadas merupakan lokasi berkemah bagi para pendaki.
Selama pendakian, Titah menuturkan, mereka tidak melihat ada gejala atau tanda-tanda gunung akan meletus. Sebab, selama pendakian ke puncak gunung, mereka tidak merasakan gempa. Lindu baru terasa saat mereka turun dari puncak gunung menuju kawasan Cadas. “Letusannya tidak ada tanda-tanda sebelumnya,” ucapnya. Menurut dia, setelah gempa, langsung terdengar bunyi dentuman. Setelah itu hujan abu dan batu sebesar kepalan tangan hingga kepala terlontar dari kawah Marapi.
Sejumlah murid SD berada di depan sekolahnya saat Gunung Marapi mengeluarkan abu vulkanis di Nagari Batu Palano, Agam, Sumatera Barat, 4 Desember 2023. ANTARA/Iggoy el Fitra
Begitu hujan material vulkanis panas mereda, Titah dengan tertatih-tatih menuju pos peristirahatan di bawah kawasan Cadas. Di tempat persinggahan itu, ia bertemu dengan temannya yang juga mengalami luka bakar dan sedang mendapat pertolongan di dalam tenda. “Kami berdua mendapat perawatan dan diberi makan di sana. Setelah itu, baru kami dibawa turun oleh tim penyelamat.”
Titah menyesalkan minimnya peringatan dini dan informasi keadaan kawasan gunung yang mereka daki. Selama proses pendaftaran hingga masuk kawasan, kata dia, tak ada seorang pun petugas pengelola kawasan Taman Wisata Alam Gunung Marapi yang memberikan penjelasan bahwa status gunung itu berada di level II atau waspada. “Kalau tahu kondisi Marapi seperti itu, kami tidak mau naik,” ujarnya. Dia juga mengatakan, selama pemesanan tiket masuk kawasan, tidak ada penjelasan sedikit pun soal prosedur operasi standar (SOP) atau pedoman standar pendakian Gunung Marapi.
Selama perjalanan mendaki gunung tersebut, Titah menyebutkan, dia juga tidak menemukan papan informasi atau peringatan waspada. Padahal gunung yang mereka susuri merupakan gunung berapi aktif yang status kewaspadaannya belum dicabut.
Status Waspada Sejak 2011
Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sejatinya telah menetapkan status aktivitas Gunung Marapi berada di level waspada sejak 3 Agustus 2011. Hingga hari ini, status waspada gunung api yang terletak di wilayah Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, itu belum dicabut. “Kami tidak pernah diberi tahu tentang kondisi Gunung Marapi. Ketika sampai di pos pendakian, kami hanya ditanya tiket yang sudah dipesan via online,” ujar Titah.
Sultan Layur menguatkan cerita Titah. Pria 40 tahun itu pernah mendaki Gunung Marapi pada awal 2020. Menurut dia, sepanjang perjalanan menapaki jalur pendakian jabal itu, tidak terlihat satu pun informasi peringatan soal keadaan Marapi sebagai gunung berapi aktif. Selama proses pendaftaran juga setali tiga uang. Petugas jaga tidak memberikan informasi apa pun soal keadaan gunung. “Jadi, selesai daftar, registrasi, bayar, lalu kami diizinkan naik. Tidak ada penjelasan soal keadaan gunung itu masih aktif,” katanya.
Aktivitas mendaki gunung, kata Sultan, merupakan kegiatan olahraga ekstrem. Dengan demikian, pengunjung yang mendatangi lokasi itu mesti mendapat informasi yang cukup soal keadaan medan yang akan mereka daki. Pengelola kawasan juga wajib memberikan informasi lokasi mana saja yang bisa dijangkau dan dilarang untuk dimasuki. "Saya tahu Marapi gunung berapi aktif, tapi saat itu tidak tahu statusnya waspada karena diizinkan masuk,” ujarnya. “Saat masuk, saya tanya juga ke penjaganya. Tapi bilangnya normal.”
Relawan Tim Potensi Pencarian dan Penyelamatan (SAR) Lombok Timur itu mengatakan edukasi soal keadaan gunung berapi hingga jalur penyelamatan semestinya diberikan kepada para pendaki sebelum memulai perjalanan. Mereka juga harus punya persiapan diri yang matang, mampu membaca situasi medan di lapangan, dan paham akan kondisi cuaca. “Jadi tidak asal naik gunung. Apalagi mendaki gunung berapi aktif mesti memahami arah mata angin dan ke mana jalur aman jika terjadi erupsi,” ujarnya.
Abai Rekomendasi Soal Radius Aman
Setelah status Gunung Marapi ditetapkan berada di level waspada, Badan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sebenarnya mengeluarkan rekomendasi yang melarang adanya aktivitas dalam radius 3 km dari puncak gunung. Kepala Pusat PVMBG Hendra Gunawan mengatakan lembaganya masih menetapkan status waspada dan melarang aktivitas dalam radius 3 kilometer dari puncak sebagai tindakan preventif. Studi dan pemetaan detail sudah dilakukan terhadap Gunung Marapi. Dari sejarah gunung itu disebutkan didominasi erupsi yang menghasilkan aliran lava dan jatuhan material, sesekali terjadi awan panas.
Kawah aktif yang menjadi pusat aktivitas vulkanis Gunung Marapi adalah Kawah Verbeek. Kawah tersebut mirip lubang yang menjorok ke dalam bumi dan tidak terlihat tanda-tanda asap dari dalamnya. “Secara visual memang tidak ada apa-apanya, dan secara kegempaan mungkin hanya ada satu gempa per bulan. Tapi, dari sejarah, erupsi selalu terjadi,” ujarnya. “Karena itu, kami membuat rekomendasi jarak 3 km itu berdasarkan statistik adanya erupsi setiap dua sampai empat tahun. Hanya tanggalnya tidak pernah tahu.”
Dia mengatakan lembaganya terus mempertahankan status aktivitas Gunung Marapi di level II dengan rekomendasi yang tidak berubah. Erupsi sudah beberapa kali terjadi sejak 2011. "Ini yang menjadi alasan kami selalu menetapkan status Gunung Marapi pada level II sebagai antisipasi. Ini sebetulnya preventif untuk menghindari kejadian yang tidak kita inginkan,” kata Hendra.
Namun sayangnya rekomendasi itu disebut-sebut tidak dipatuhi dalam pembuatan SOP pendakian Gunung Marapi yang telah dibuka sejak Juli lalu. Pendakian Gunung Marapi sempat ditutup lantaran terjadi erupsi pada 7 Januari lalu. Saat itu Marapi melontarkan kolom abu sekitar 300 meter di atas puncak.
Dalam SOP Pendakian Taman Wisata Alam Gunung Marapi di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat Tahun 2023, tidak disebutkan adanya larangan aktivitas atau pendakian dengan radius 3 km dari puncak gunung. Pedoman dalam SOP Pendakian Gunung Marapi yang ditandatangani Kepala BKSDA Sumatera Barat Ardi Andono dan ditetapkan pada 20 Juli 2023 itu hanya mencantumkan pendaki dilarang berkemah di sekitar kawah Marapi.
Larangan tersebut juga tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pedoman Mitigasi Bencana Gunung Api, Gerakan Tanah, Gempa Bumi, dan Tsunami. Dalam Bab Mitigasi Bencana Gunung Api Peraturan Menteri ESDM tersebut, soal kewaspadaan masyarakat di kawasan rawan bencana III, pada tingkat waspada, masyarakat direkomendasikan tidak melakukan aktivitas di sekitar kawah. Dalam Peta Rekomendasi Gunung Api Marapi juga dijelaskan bahwa kawasan rawan bencana III berpotensi selalu terancam aliran awan panas, aliran lava, gas racun, dan guguran batu pijar dengan radius 3 km.
Pelaksana harian Kepala BKSDA Sumatera Barat, Eka Dhamayanti, mengakui belum memasukkan rekomendasi PVMBG soal jarak aman 3 km dari kawah sebagai panduan SOP pendakian Gunung Marapi. Dalam SOP pendakian Gunung Marapi, BKSDA hanya melarang pendaki berkemah di sekitar kawah Merapi tanpa memasukkan radius aman. “Kami tidak menjelaskan di SOP soal jarak radius aman. Sebab, pendaki akan mencari tempat aman yang cukup untuk mendirikan tenda atau kamping sementara,” ujarnya.
Lokasi yang berbahaya dan tidak boleh dimasuki di kawasan Gunung Marapi adalah kawasan Pintu Angin. Wilayah tersebut merupakan batas vegetasi antara tanah menjadi bebatuan. Di lokasi itu, Eka mengatakan, telah ada papan informasi yang dipasang PVMBG pada 29 November lalu. Menurut dia, masih banyak pendaki yang tetap memaksa memasuki batas vegetasi menuju kawah dan puncak Marapi meski telah terpasang papan informasi. “Di sana sudah dipasang tanda 'Kawasan Rawan Bencana III',” ujarnya.
Eka mengakui BKSDA belum menerapkan larangan radius aman 3 km dari kawah berapi yang menjadi rekomendasi PVMBG. Sebab, pengelola kawasan belum mengetahui secara rinci data radius aman yang menjadi rekomendasi PVMBG. “Kami mengukur jarak 3 km itu dari apa? Jarak datar atau lapang?” ujarnya. Eka mengatakan jalur yang dipakai untuk mengukur jarak itu tidak lurus dan tidak bisa dibandingkan seperti di jalan tol. Itulah makanya, kata dia, lembaganya tidak terlalu rinci menjelaskan batasan itu. “Tapi, menurut pengawasan kami, daerah rawan sudah diperkirakan mulai dari kawasan Pintu Angina.”
Setelah erupsi yang memakan puluhan korban jiwa itu, BKSDA Sumatera Barat menutup pendakian Gunung Marapi hingga waktu yang tidak ditentukan. Pemerintah bakal menggelar rapat koordinasi lintas lembaga untuk membahas pengelolaan Taman Wisata Alam Gunung Marapi. “Kemungkinan nanti jalur pendakian tidak dibuka lagi. Jadi nanti cuma buat kamping di kaki gunung, bukan pendakian,” ujar Eka.
Warga melihat bangunan rusak akibat banjir bandang dari hulu sungai lereng Gunung Marapi di Nagari Pariangan, Tanah Datar, Sumatera Barat, 6 Desember 2023. ANTARA/Iggoy el Fitra
Hendra Gunawan mengatakan erupsi Gunung Marapi pada Ahad lalu itu terjadi tiba-tiba. Peralatan pengamatan deformasi atau tiltmeter Gunung Marapi juga hanya mencatat sedikit inflasi. Grafik pencatatan gempa vulkanis dangkal (VB), yang biasanya menjadi penanda awal terjadinya kenaikan aktivitas gunung berapi, nyaris tidak memperlihatkan adanya aktivitas kegempaan. “Hal ini menunjukkan proses erupsi berlangsung cepat dan pusat tekanan hanya berada pada kedalaman dangkal atau di sekitar puncak," kata Hendra.
Ia mengatakan lembaganya secara rutin mengirim laporan evaluasi perkembangan aktivitas Gunung Marapi kepada lembaga lain sehubungan dengan dua kali erupsi dalam satu atau dua bulan sejak status aktivitas gunung tersebut ditetapkan menjadi level II pada 2011. Surat terakhir, misalnya, dikirim pada 1 Desember 2023 ditujukan kepada Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Gubernur Sumatera Barat, Wali Kota Bukittinggi, Bupati Tanah Datar, dan Bupati Agam.
Surat tersebut ditembuskan kepada sejumlah menteri, seperti Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Menteri ESDM; Badan Geologi; Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika; Panglima TNI; Kapolri; serta Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Barat.
Isinya berupa rekomendasi agar pengunjung dan wisatawan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan dekat Gunung Marapi pada radius 3 km dari kawah puncak. Ihwal siapa yang berwenang melaksanakan rekomendasi tersebut, Hendra berujar, "Kewenangan di daerah.”
Syarat Gunung Berapi Bisa Menjadi Kawasan Wisata
Menanggapi hal tersebut, vulkanolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurachman, menyarankan pemerintah Sumatera Barat dan BKSDA setempat tidak membuka jalur pendakian selama status Gunung Marapi masih di level waspada. Sebab, letusan Gunung Marapi sering tidak bisa diprediksi kapan terjadi karena mempunyai jenis letusan freatik. Letusan tersebut terjadi jika terdapat sumber panas, seperti magma, yang berinteraksi dengan air. “Bisa air yang berasal dari lapisan batu atau air yang berasal dari air hujan yang masuk, atau meteorik. Itu memang terjadi tiba-tiba tanpa peringatan.”
Gunung tersebut, Mirzam melanjutkan, juga bisa meletus karena tekanan dapur magma. Letusan yang dipicu oleh tekanan di dapur magma juga sulit diprediksi karena terjadi tanpa gempa atau tremor dan tiba-tiba. “Tiba-tiba dapur magma kolaps atau ambruk. Itu yang menyebabkan erupsi yang tidak bisa diperkirakan,” ucapnya.
Menurut dia, langkah PVMBG melarang adanya aktivitas dalam radius 3 km dari kawah sudah tepat melihat sejarah letusan Marapi yang sulit dideteksi. Jika aktivitas wisata alam di gunung tersebut ingin dibuka kembali, kata dia, perlu adanya koordinasi antarlembaga sebagai antisipasi dengan data yang lebih akurat. Salah satunya memastikan pemeriksaan interior dapur magma yang bisa memicu erupsi.
Mirzam mengatakan gunung berapi aktif tetap masih bisa menjadi tempat wisata asalkan punya data yang akurat. Dia mencontohkan di Jepang. Erupsi gunung berapi di sana menjadi atraksi geowisata. “Sebab, mereka memahami tempat yang aman, jarak berapa, dan kapan waktunya atau belum,” ujarnya.
Pakar geodesi dari ITB, Heri Andreas, juga menyarankan hal yang sama. Menurut dia, pemerintah sebaiknya menutup jalur pendakian Gunung Marapi sampai statusnya normal. Selama Gunung Marapi masih berstatus waspada, kata dia, sebaiknya jangan dibuka seperti yang direkomendasikan PVMBG. “Jenis letusan kecil atau freatik di Gunung Marapi sulit terbaca.”
IMAM HAMDI | AHMAD FIKRI | FACHRI HAMZAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo