Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Khilafatul Muslimin membantah anggapan anti-Pancasila.
Hanya demokrasi yang dipersoalkan Khilafatul Muslimin.
BNPT ragu akan klaim Khilafatul Muslimin.
"Kami (Khilafatul Muslimin) tidak anti-Pancasila. Cuma memang, kami tidak sepakat dengan demokrasi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Firdaus dengan tenang menjelaskan pandangan-pandangan Khilafatul Muslimin ketika ditemui Tempo di Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah, Pekayon, Kota Bekasi, Kamis, 2 Juni 2022. Pria berusia 45 tahun asal Wanasalam, Lebak, Banten, ini adalah pengasuh unit Khalifah Umar bin Khattab, nama kelas pendidikan setingkat sekolah menengah pertama di pesantren itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah menjadi kantor pusat unit pendidikan setingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah di Khilafatul Muslimin. Alamat pondok ini mirip-mirip dengan alamat dalam akta Yayasan Pendidikan Khilafatul Muslimin yang tercatat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menganggap Khilafatul Muslimin sama berbahayanya dengan kelompok radikal lain. Tudingan ini, di antaranya, disebabkan oleh jejak kelam sang pendiri, Abdul Qadir Hasan Baraja. Akhir Mei lalu, Khalifatul Muslimin kembali menarik perhatian banyak kalangan setelah anggotanya menggelar konvoi sepeda motor di DKI Jakarta dan beberapa daerah lainnya. Mereka membawa bendera bertuliskan kalimat tauhid, juga spanduk mini berisi pesan tentang khilafah atau pemerintahan Islam.
Kamis siang itu, Firdaus tak sendiri. Beberapa anggota pengurus ikut berbicara tentang pandangan miring yang beberapa waktu terakhir terus mengarah ke Khilafatul Muslimin. Pandangan mereka seirama. Mereka menolak disebut simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah serta anti-Pancasila. Namun semua anggota pengurus menilai demokrasi bukan sistem pemerintahan terbaik.
“Demokrasi itu kan antara suara pelacur dan suara ulama sama. Kalau pelacurnya banyak, ulamanya cuma lima, pelacur ada seribu, yang menang yang mana?” kata Firdaus. “Kalau khilafah itu kan ada sumber, kembali ke Allah. Kalau demokrasi, enggak ada. Itu saja kurangnya.”
Menurut Firdaus, makna khilafah kini sudah rusak. Dia mencontohkan, khilafah kerap disamaartikan dengan daulah atau negara. "Padahal khilafah ini adalah suatu jemaah, organisasi untuk berkumpul," kata dia. "Tidak dikenal istilah teritorial hanya satu atau dua negara, tapi lebih luas lagi, dunia."
Itulah sebabnya dia menolak kelompoknya disejajarkan dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi masyarakat yang dibubarkan pemerintah pada 19 Juni 2017. “Enggak nyambung,” kata Firdaus. “Kami enggak ada pemikiran akan melakukan suatu kudeta ke negara.”
Hendra Kurnia, murabbi atau pengasuh Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah Purwakarta, melihat ada persoalan dalam sistem demokrasi. Pada akhirnya, kata dia, demokrasi mengikuti kemauan "orang-orang gede" di pemerintahan. "Kalau khilafah, yang diikuti yang maha gede dari orang-orang gede," ujarnya. "Allah."
Dengan alasan itu, Hendra mengklaim kelompoknya juga menjunjung Pancasila. "Pancasila itu ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan beradab, dan seterusnya," kata dia. "Dalam demokrasi apakah memikirkan keselamatan dunia dan akhirat? Khilafah memikirkan tidak hanya di dunia, tapi sampai ke akhirat."
Hendra mengakui banyak yang khawatir akan nasib pemeluk agama berbeda di sistem khilafah. Namun, dalam sejarahnya, kata dia, khilafah justru menjamin pemeluk agama lain untuk tetap menjalankan ajaran agama masing-masing. "Semua tidak ada perbedaan, hanya istilahnya itu sistem Islam," kata dia.
Senada dengan Firdaus dan Hendra, pemimpin Jamaah Khilafatul Muslimin Bekasi Raya, Abu Salma, berharap pandangan kelompoknya tentang khilafah sebatas sebagai jemaah, bukan untuk mengganti sistem negara. "Sistem itu harus seperti negara baru dibilang sistem. Kalau kita, enggak," kata Abu Salma.
Walau begitu, Abu Salma mengklaim kelompoknya juga memiliki anggota di luar negeri, seperti di Malaysia, Australia, Bosnia, dan Kongo, yang setiap empat tahun sekali berkumpul di Indonesia. "Malaysia yang paling banyak," ujarnya. Komunikasi dilakukan via website, media sosial, dan mengutus delegasi. Dananya diperoleh dari baitulmal Khilafatul Muslimin yang mengkoordinasi infak dan sodaqoh.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid. ANTARA/HO
BNPT Ragu akan Klaim Khilafatul Muslimin
BNPT ragu akan klaim-klaim Khilafatul Muslimin. Direktur Pencegahan BNPT, Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid, membenarkan bahwa Khilafatul Muslimin sejauh ini secara terbuka menyatakan setia kepada negara, tidak anti-Pancasila, dan tak menjurus ke gerakan radikalisme. Namun kajian BNPT juga menunjukkan bahwa gerakan terorisme selalu memanipulasi dan mendistorsi agama untuk kepentingan politik mereka. “Mereka berkamuflase, menyembunyikan diri,” kata Nurwakhid. “Ending-nya nanti mendirikan negara agama, menurut kepentingan mereka.”
Nurwakhid mengatakan semua konsep khilafah mempunyai keinginan untuk mengubah sistem pemerintahan. Propaganda disebar agar jumlah pengikut bertambah.
Menurut dia, hingga saat ini pemerintah belum bisa mengambil tindakan terhadap kelompok Khilafatul Muslimin karena belum menemukan indikasi kegiatan yang menjurus ke radikalisme dan terorisme. "Aparat hukum sekarang sedang mendalami,” ujar Nurwakhid.
Selain karena jejak Hasan Baraja yang pernah dipenjara dalam perkara terorisme, Khilafatul Muslimin menjadi sorotan Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI lantaran hubungan mantan anggota kelompok ini dan organisasi terlarang, seperti Jamaah Ansharud Daulah (JAD). “Ada sembilan eks anggota Khilafatul Muslimin yang ditangkap dalam kasus terorisme,” kata juru bicara Densus 88 Antiteror, Komisaris Besar Aswin Siregar. “Mereka loncat ke organisasi teroris.”
Pada 2019, nama Khilafatul Muslimin juga sempat mencuat ketika Densus 88 Antiteror menangkap Noval Agus Syafroni di rumah kontrakannya, di Kecamatan Tambun Utara, Kabupaten Bekasi. Dalam penggeledahan, polisi menemukan kardus berisi data Khilafatul Muslimin, juga emblem bordiran berlogo kelompok ini. Selain itu, ada buku panduan jihad dan khilafah.
Hendra Kurnia, pengasuh Pondok Pesantren Ukhuwwah Islamiyyah Purwakarta, mengatakan Noval hanya oknum. "Dia sendiri, tapi kami yang disalahkan," ujarnya. "Ya masak, misal, ada penjahat di negara ini yang disalahin presidennya?"
Di mata pengamat terorisme Al Chaidar, gerakan yang dilakukan Khalifatul Muslimin agak naif lantaran "melembutkan" konsep khilafah sebagai jemaah. Kelompok ini juga telah menyebut pemimpin mereka sebagai khalifah. "Padahal khalifah itu harus memimpin dua negara. Nabi saja dulu setelah memegang Mekah dan Madinah," kata Al Chaidar. "Mereka terlalu naif. Bahkan memutarbalikkan syariat."
Karena naif itu pula, menurut Al Chaidar, pemerintah tak perlu kelewat khawatir dengan Khalifatul Muslimin. Selain sejauh ini gerakannya belum mengarah ke potensi terorisme, kata Al Chaidar, "Masyarakat yang punya pendidikan yang baik atau pemahaman agama tidak akan percaya."
IMA DINI SAFHIRA | IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo