Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20 di Bali yang diagendakan pada 15-16 November terancam berakhir tanpa leaders' declaration atau komunike bersama para kepala negara. Pasalnya, G20 digelar saat kondisi geopolitik dunia memanas.
"Belum pernah ada G20 dengan situasi dunia sekompleks sekarang. Kalau nanti tidak menghasilkan leaders communique, ya sudah tidak apa-apa," kata Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Bali, akhir pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Leaders' declaration merupakan pernyataan bersama pemimpin G20 yang berisikan komitmen bersama, pernyataan-pernyataan bersama, yang ingin disampaikan kepada publik. Rancangan deklarasi berisikan substansi pembahasan prioritas Presidensi G20 Indonesia, yakni arsitektur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi.
Menurut Luhut, wajar bila pertemuan para kepala negara anggota G20 itu tidak menghasilkan komunike. Musababnya, dunia tengah menghadapi berbagai masalah. Misalnya, eskalasi perang Rusia-Ukraina, krisis global setelah pandemi Covid-19, hingga ancaman krisis karena perubahan iklim.
Sebelum puncak pertemuan kepala negara di KTT G20, pembahasan berbagai isu digelar pada level menteri hingga kelompok kerja. Pembahasan itu terbagi dalam jalur keuangan dan sherpa. Kesepakatan atau komunike dari dua jalur pembahasan itu akan digabung dan dibahas dalam pertemuan para kepala negara alias KTT.
Pertemuan Jalur Keuangan tanpa Komunike
Masalahnya, pertemuan jalur keuangan—puncaknya adalah Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) G20 pada pertengahan bulan lalu—berakhir tanpa komunike. Salah satu ganjalan tercapainya kesepakatan pada pertemuan tersebut adalah poin-poin mengenai perang Rusia dan Ukraina. Karena itu, hasil pembahasan dari jalur keuangan akan dibawa ke KTT bukan dalam bentuk komunike melainkan chair's summary.
Sementara itu, pembahasan jalur sherpa masih berlangsung hingga hari ini. Sekretaris Jenderal Kementerian Koordinator Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, yakin pertemuan sherpa G20 akan menghasilkan dokumen leaders' declaration untuk KTT. Dia mengatakan masih ada waktu untuk mencapai kesepakatan sebelum KTT berlangsung pada 15 November mendatang. "Itu tujuan utamanya. Jadi, sekarang masih berproses, masih berjuang," kata dia, kemarin.
Susiwijono menjelaskan, pertemuan sherpa G20 keempat yang sudah berlangsung sejak November itu berjalan dinamis. Meski demikian, menurut dia, peserta berkomitmen menyesuaikan kepentingan masing-masing di tengah konstelasi geopolitik yang terjadi setelah memanasnya perang Rusia-Ukraina. Indonesia, tutur dia, telah berupaya mewadahi dialog antar-negara. Lobi-lobi itu dilakukan baik melalui jalur formal maupun informal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menkominfo Johnny G Plate mengunjungi salah satu ruangan yang akan digunakan sebagai Media Center KTT G20 di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Badung, Bali, 12 November 2022. ANTARA/Media Center G20 Indonesia/M Risyal Hidayat
Upaya mencapai komunike bersama di KTT G20 juga disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate. "Tim sedang bekerja. Kita harapkan hasil maksimal. Saya tidak ingin mendahului karena (pembahasan) sedang berlangsung," ujar dia. Ia yakin komunike bakal tercapai di tingkat KTT G20 ataupun di jalur sherpa.
Johnny optimistis kesepakatan itu akan terjadi lantaran tiga isu yang diangkat dalam G20 tidak bersinggungan langsung dengan isu geopolitik. Adapun dalam KTT G20, tiga isu utama yang akan dirembukkan para pemimpin negara adalah transformasi digital, arsitektur kesehatan global, dan transisi energi. "Isu geopolitik kan itu bukan isu prioritas G20. Itu bagian dari satu realitas," ucap dia.
Dalam kesempatan lain, Presiden Joko Widodo alias Jokowi mengatakan Indonesia terus memperjuangkan perdamaian dunia, khususnya melalui KTT G20 nanti. "Indonesia juga akan menjadi bagian dari solusi berbagai macam krisis serta pemulihan ekonomi," kata dia. Ia menekankan persiapan acara persamuhan para kepala negara itu sudah paripurna.
Ia menyebutkan telah menerima laporan dari para menteri perihal agenda internasional yang akan berlangsung lusa. "Semuanya sudah siap, 17 kepala negara hadir dan ini menggembirakan di tengah masa sulit seperti sekarang ini," kata Jokowi. Ia memastikan, dari 17 kepala negara itu, Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Presiden Cina Xi Jinping akan hadir secara langsung.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan Indonesia sebagai Presidensi G20 harus tetap mendorong tercapainya komunike bersama meski pembahasan mengenai perang Rusia dan Ukraina dipastikan alot. "Indonesia sebagai juru damai yang tidak punya kepentingan perang di Ukraina seharusnya tetap mendorong adanya komunike. Optimisme tercapainya komunike seharusnya menjadi catatan positif dari penyelenggaraan G20," kata dia.
Bangunan yang hancur di kota Borodianka, Ukraina, yang telah diduduki Rusia, 12 November 2022. REUTERS/Gleb Garanich
KTT G20 Dianggap Gagal jika tanpa Komunike Bersama
Nihilnya komunike, menurut Bhima, bisa disebut sebagai kegagalan dalam penyelenggaraan pertemuan G20 kali ini. Musababnya, tak adanya kesepakatan deklarasi para pemimpin G20 itu menunjukkan hajatan tahunan tersebut tidak mencapai kesepakatan. "Kalau tidak ada komunike di Bali, artinya anggaran yang selama ini dikeluarkan bisa dibilang terbuang percuma untuk penyelenggaraan Presidensi G20," ujarnya.
Total anggaran pelaksanaan Presidensi G20 Indonesia tercatat mencapai Rp 674,8 miliar, yang terbagi pada 2021 dan 2022. Anggaran itu, di antaranya, dialokasikan untuk persiapan dan penyelenggaraan G20, penyusunan dan implementasi kerja sama multilateral, pengamanan acara, serta sosialisasi dan promosi media. Anggaran tersebut belum termasuk duit untuk pembenahan infrastruktur pendukung oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang mencapai triliunan rupiah.
Bhima mengingatkan bahwa pertemuan KTT G20 tahun lalu yang berlangsung di tengah masa pandemi dan perang dagang pun bisa menghasilkan 61 poin pernyataan G20 Leaders' Declaration. "Jadi, kalau tidak ada komunike, ini bisa dibilang G20 paling gelap sepanjang penyelenggaraan G20, belum pernah terjadi sebelumnya," ujar dia.
Sependapat dengan Bhima, Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies, Yusuf Wibisono, mengingatkan bahwa kehadiran komunike dalam pertemuan G20 tidak bisa dipandang remeh meski bukan sebuah keharusan. Musababnya, kehadiran komunike yang dihasilkan dari kesepakatan peserta menjadi penting untuk menunjukkan kesepahaman dan komitmen semua peserta terhadap suatu isu.
Ia memahami Presidensi G20 Indonesia memang dalam situasi yang rumit lantaran adanya perang Rusia dan Ukraina. "Namun, jika tantangan ini bisa dilalui, dan Indonesia mampu menunjukkan peran sebagai negosiator global dengan menghasilkan kesepakatan untuk mengakhiri perang, itu akan menjadi catatan sejarah luar biasa," ujar dia. Pasalnya, ia yakin, dengan atau tanpa komunike, masyarakat dunia berharap forum G20 bisa menelurkan langkah konkret untuk mengakhiri perang.
Namun, dengan sikap Indonesia yang cenderung pasrah dengan ada dan tiadanya komunike, Yusuf melihat pemerintah lebih mengejar target kesepakatan dagang dan bisnis bilateral dengan mitra strategis dalam G20 ini. "Bahkan target jangka pendeknya menjadikan ajang G20 untuk membangkitkan kembali perekonomian Bali yang jatuh luar biasa selama masa pandemi," tutur dia. "Memang kelihatannya kita sulit bisa berharap terlalu tinggi dari forum G20 ini."
CAESAR AKBAR | FRANCISCA CHRISTY ROSSANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo