Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran besar tentang Revolusi Indonesia di Rijksmuseum Amsterdam.
Pameran ini menyodorkan masa revolusi 1945-1949 dari beragam sudut pandang.
Sempat terjadi polemik menjelang pameran digelar.
BEGITU masuk, pengunjung disambut dengan ruangan yang praktis kosong. Pada dinding besar hanya diproyeksikan foto figur yang dikenal semua orang Indonesia, Sukarno, yang berbaju putih dan berkopiah, berdiri dengan khusyuk, pada 17 Agustus 1945 pagi di halaman rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Ia membacakan naskah Proklamasi di tangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalau foto jepretan fotografer Frans Mendur ini adalah satu simbol terpenting dalam ingatan kolektif Indonesia, tidak demikian halnya di Belanda. Belanda sampai sekarang masih belum resmi mengakui 17 Agustus 1945 sebagai Hari Kemerdekaan Indonesia. Bahwa sebuah pameran besar di museum nasional Belanda, Rijksmuseum, dibuka dengan imaji Sukarno membacakan teks Proklamasi, hal itu menandakan pameran ini memiliki sikap lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran “Revolusi! Indonesië Onafhankelijk” (“Revolusi! Indonesia Merdeka”) dipersiapkan kurang-lebih empat tahun. Pameran ini mendatangkan dua kurator tamu dari Indonesia, yakni pendiri dan pemimpin redaksi majalah online Historia.id, Bonnie Triyana; dan pengamat seni rupa Amir Sidharta. Rijksmuseum dikenal sebagai museum seni papan atas dunia dengan koleksi lukisan setaraf Rembrandt dan Vermeer. Kini museum ini menyajikan sebuah pameran besar tentang masa revolusi Indonesia pada 1945-1949 bukan dari perspektif Belanda, melainkan dari sisi yang lebih beragam, terutama dari sudut pandang Indonesia.
Pameran ini menyodorkan masa revolusi 1945-1949 lewat 23 cerita pribadi orang-orang dari beragam latar belakang etnis, sosial, umur, dan profesi. “Agar periode ini dilihat dari berbagai sudut pandang, bukan hanya dari satu pihak,” kata Harm Stevens, kurator sejarah Rijksmuseum. Sepuluh ruangan sayap Phillips digunakan Rijksmuseum untuk menggelar pameran ini. Tiap ruangan menyodorkan tema tertentu. Semua ruangan ini menyajikan lebih dari 200 obyek dari koleksi Rijksmuseum sendiri serta pinjaman dari Belanda, Indonesia, Belgia, Australia, dan Inggris, dari popok bayi, poster, sampai karya para maestro seperti Affandi dan Hendra Gunawan.
Sejarawan dan penulis Anne-Lot Hoek berdiri disebelah kemeja Cokorda Rai Pudak, di Rijksmuseum, Amsterdam, 10 Februari 2022. Linawati Sidarto
Obyek yang disajikan jauh dari seputar foto serdadu atau benda kemiliteran. Obyek itu berasal dari berbagai kegiatan sehari-hari dan personal, seperti buku bayi yang disusun Letty Kwee untuk anaknya yang lahir di kawasan Pintu Air di Jakarta pada Agustus 1945; body tag milik Petrus Akihary dari Maluku yang menjadi bagian dari pasukan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL); dan baju buatan Jeanne van Leur-de Loos, yang ditahan di kamp selama masa pendudukan Jepang, dari peta berbahan sutra yang dipakai tentara Inggris yang datang ke Indonesia pada Oktober 1945. Dari benda-benda ini, pengunjung dapat membayangkan suasana di Indonesia saat itu secara lebih intim.
“Tidak perlu bambu runcing dan pistol untuk menunjukkan masa itu. Itu malah bisa membangkitkan trauma, misalnya untuk para veteran dan warga Indo,” ucap Aminuddin Siregar, dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung yang sedang mengambil kuliah S-3 di Universiteit Leiden, Belanda, kepada Tempo. Aminuddin, yang menjadi konsultan pameran tersebut, menekankan bahwa seni dan obyek sehari-hari adalah medium ampuh untuk menceritakan sejarah ini.
•••
SEBULAN menjelang pameran, terjadi polemik besar di Belanda berkenaan dengan pameran ini. “Selama sebulan penuh terjadi pro dan kontra. Belum pernah di Belanda terjadi begini. Tapi pameran tetap berlangsung dan apa yang kita rencanakan untuk disajikan tetap ada semua,” ujar Bonnie Triyana. Polemik ini bermula dari artikel opini Bonnie di harian NRC Handelsblad pada 10 Januari lalu. Bonnie mempersoalkan istilah “Bersiap” yang di Belanda merujuk pada peristiwa pembantaian warga Belanda dan Indo di Indonesia setelah Agustus 1945. “Tim kurator memutuskan untuk tidak memakai kata ‘Bersiap’ sebagai istilah umum untuk periode kekerasan semasa revolusi 1945-1950,” tulis Bonnie (lihat wawancara Bonnie Triyana). Sebab, “Pengertian ‘Bersiap’ selalu menampilkan pelaku kekerasan semata hanya orang Indonesia yang dipersepsikan biadab, tak beradab, serta disulut api kebencian ras.”
Reaksi keras langsung bermunculan, termasuk dari organisasi Indo, Federasi Hindia Belanda (FIN), yang melaporkan Bonnie ke polisi dengan tuduhan penyangkalan “Bersiap”. Entah khawatir entah karena hal lain, Direktur Rijksmuseum Taco Dibbits, dalam wawancara dengan harian Het Parool dan NRC beberapa hari kemudian, menyatakan istilah “Bersiap” tetap akan digunakan dalam pameran. Dia juga mengatakan tulisan Bonnie adalah pendapat pribadi dan tidak seiring dengan kurator-kurator lain.
Pernyataan tersebut mengakibatkan gelombang kritik kedua, tapi kali ini mengecam sang Direktur yang dianggap tidak mendukung Bonnie. Pada 21 Januari lalu, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)—yayasan yang gigih memperjuangkan hak korban penjajahan kolonial Belanda—melaporkan Rijksmuseum, Taco Dibbits, dan kurator Harm Stevens ke polisi karena mereka akan tetap menggunakan istilah “Bersiap”.
Instalasi ‘Luka dan Bisa Kubawa Berlari’ karya seniman Yogyakarta Timoteus Anggawan Kusno, di Rijksmuseum, Amsterdam. Rijksmuseum
Istilah “Bersiap”, yang hampir tidak dikenal di Indonesia, diambil dari seruan yang banyak dipakai pemuda yang bertarung untuk kemerdekaan Indonesia. Istilah ini dipakai di Belanda untuk menunjuk periode setelah proklamasi kemerdekaan sampai Maret 1946, ketika ribuan orang Indo (berdarah campuran Indonesia-Eropa) dan Belanda terbunuh di Indonesia.
Dalam wawancara dengan NPO Radio, 1 Januari lalu, penulis keturunan Indo, Lara Nuberg, menjelaskan bahwa istilah “Bersiap” penting untuk komunitas Indo. “Saya telah mewawancarai banyak orang Indo yang menjadi saksi kekejaman yang luar biasa: perempuan yang diperkosa, anak kecil yang dibunuh,” katanya. Menurut dia, banyak korban yang masih hidup sekarang dan merasa trauma mereka tidak diakui. “Itu menyakitkan, dan karena itu istilah ‘Bersiap’ menjadi simbol yang jauh lebih besar artinya untuk komunitas Indo daripada sekadar pendekatan sejarah.”
Profesor emeritus sejarah Universiteit Leiden, Henk Schulte Nordholt, menuturkan, dari 40 ribu orang yang meninggal pada periode ini, sekitar 5.000 adalah orang (Indo) Belanda. Sejarawan dan penulis Kees Snoek dari Rotterdam tidak heran jika tulisan Bonnie memancing begitu banyak reaksi. “Di Belanda, periode ‘Bersiap’ dikaitkan dengan citra kekejaman ekstrem yang dilakukan oleh orang Indonesia,” tulis Kees Snoek lewat surat elektronik kepada Tempo pada Kamis, 10 Februari lalu. “Saya pikir ini akibat kurangnya pengetahuan orang di sini tentang apa yang sesungguhnya terjadi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.”
•••
TOH, akhirnya Ruangan 6 pameran “Revolusi” yang digelar di sayap Phillips ini kini diberi tema “Geweld” atau kekerasan. “Istilah ‘Geweld’ saya yang usulkan dalam rapat-rapat kurator sejak dulu untuk mengganti kata ‘Bersiap’,” tutur Bonnie Triyana. Dalam caption di bawah judul tersebut tertulis: “Kedatangan tentara Inggris dan beberapa tentara Belanda pada akhir September 1945 membakar api revolusi, dan kekerasan merebak di berbagai wilayah mulai Oktober 1945. Pemerintah Republik Indonesia tidak sanggup mengontrol kelompok revolusioner bersenjata”.
Kelompok militan Indonesia menyerang warga Indo-Belanda, Tionghoa, dan Ambon. Belanda menamakan periode kekerasan ini, yang berlangsung sampai awal 1946, “Bersiap”. Orang-orang Indonesia yang diduga berkolaborasi dengan bekas penjajah juga menjadi korban kekerasan. Di Indonesia, istilah “ngeli”, “gedoran”, dan “dombreng” dipakai di beberapa daerah untuk menyebut peristiwa kekerasan yang terjadi pada masa revolusi.
Dan memang beberapa obyek yang kelihatan amat “biasa” menyimpan kisah bersimbah darah, seperti foto kakak-adik Uhlenbusch: empat gadis Indo yang berpose dengan senyum cerah. Di dalam kaca display di sebelah foto tersebut tersemat secarik kertas dengan sederet nama yang diketik rapi dengan deskripsi: “Nama orang-orang yang dibunuh di Tegal oleh orang Indonesia antara 10 dan 12 Oktober 1945”. Nama keempat gadis Uhlenbusch ada di daftar tersebut.
Suasana ameran Revolusi! Indonesië Onafhankelijk (Revolusi! Indonesia Merdeka) di Rijksmuseum, Amsterdam. Linawati Sidarto
Juga album kenangan mungil milik Sutarso Nasruddin, serdadu muda Tentara Nasional Indonesia dari Divisi Siliwangi. Album itu, yang penuh dengan foto keluarga dan teman-temannya serta goresan tulisannya, ada padanya ketika dia ditangkap Belanda pada 1948. Pada sampul buku kenangan Nasruddin tertempel sebuah stiker dengan tulisan tangan dalam bahasa Belanda: “Disita, Jawa Tengah, 3-11 ri. Pemilik dieksekusi”. Dalam caption pameran tertulis: “Seperti album Nasruddin, banyak obyek dan dokumen dalam pameran ini datang ke Belanda karena mereka disita oleh militer Belanda antara 1945 dan 1949”.
Sejumlah barang sitaan kini tersimpan di Arsip Nasional Belanda. Untuk pameran “Revolusi”, Arsip Nasional meminjamkan 130 obyek, dari foto dan bendera sampai poster dan dokumen. Barang-barang tersebut, menurut Arsip Nasional, terutama diambil dari simpanan arsip badan intelijen militer Belanda (NEFIS). “Kebanyakan obyek tersebut dipamerkan untuk pertama kalinya.” Dalam buku pengantar pameran ditulis bahwa obyek dari revolusi Indonesia yang tersimpan di Belanda “mungkin datang dari sumber yang guram, dan ini menggelisahkan”.
Akan halnya di ruangan eksposisi dengan tema “Perang Informasi”, terpampang banyak poster, album foto, dan berkas sitaan tersebut. Salah satunya album foto milik wartawan Rosihan Anwar—editor harian Merdeka saat itu—yang disita NEFIS pada April 1946. Dalam album tersebut terdapat catatan NEFIS: “Kekasih Anna Latuasan, adik AE Latuasan, sekretaris Partai Komunis Maluku”. Tapi dalam buku pengantar pameran “Revolusi” diterangkan bahwa Anna Latuasan bukanlah kekasih Rosihan. Informasi intelijen saat itu sering dipelintir untuk kepentingan politik. Keterangan bahwa seseorang dekat dengan pihak komunis adalah taktik yang kerap dipakai untuk mengintimidasi.
Ada juga kemeja yang dikenakan Cokorda Rai Pudak, pejuang kemerdekaan dari Ubud yang ditangkap milisi Bali pro-Belanda dan ditembak mati pada 9 Oktober 1946. “Saya mengunjungi rumah keluarga Pudak di Ubud sekitar 2018 untuk riset buku saya, dan mereka memperlihatkan kemeja yang penuh lubang peluru itu. Kemeja tersebut mereka simpan dengan rapi di dalam lemari selama ini,” ujar Anne-Lot Hoek, penulis buku De Strijd om Bali (Pertarungan Memperebutkan Bali), kepada Tempo saat mengunjungi pameran pada Kamis, 10 Februari lalu.
•••
UNTUK pencinta seni, bagian pameran yang paling penting adalah Ruangan 7, “Seniman dan Revolusi”. Di sana tergantung 11 lukisan karya Otto Djaja, Basoeki Abdullah, Trubus Soedarsono, Affandi, Hendra Gunawan, dan Soerono. Juga satu karya Sudjojono: sebuah kepala patung berjudul Potret Pejuang. Di alas patung terpahat kata-kata: “Repolusi Indonesia/Rakjat dan Pemuda Berdjuang/Pemuda ambil initiatief/17 Ag. 1945”. Dinding terbesar diperuntukkan bagi Pengantin Revolusi karya Hendra Gunawan, yang dipinjamkan oleh Museum Seni Rupa dan Keramik di Jakarta. Terlihat pula banyak orang berhenti di depan Mata-mata Musuh karya Affandi.
Marion Anker, salah satu kurator pameran ini, datang ke Yogyakarta untuk menjemput lukisan tersebut di Museum Affandi. “Kami berdiri bersama Ibu Kartika (putri Affandi), dan melihat bagaimana lukisan ini dibungkus dengan begitu hati-hati,” ucap Anker kepada Tempo. Lain lagi kisah Iboekoe karya Trubus Soedarsono. “Saya kebetulan diminta satu rumah lelang di Den Haag meneliti beberapa lukisan sekitar Agustus 2019, dan saya menemukan lukisan ini,” tutur Aminuddin Siregar. “Pertama-tama, pihak Rijksmuseum kurang mengerti kenapa saya begitu antusias. Lalu saya menunjuk kebaya yang dikenakan perempuan di lukisan itu: ada sebuah peniti kecil bendera merah-putih.”
Banyak pengunjung tidak sadar bahwa ruangan ini sebetulnya direncanakan berisi lebih banyak lukisan. Tujuh lukisan koleksi Istana Kepresidenan Indonesia yang tadinya akan dipinjamkan untuk pameran urung datang pada saat terakhir. “Semua diperlambat Covid-19, dan akhirnya tidak bisa berangkat pada waktunya,” kata Direktur Rijksmuseum Taco Dibbits kepada Tempo. Rencananya, lukisan Ratu Juliana karya Basoeki Abdullah akan dipasang berdampingan dengan lukisan Sukarno dari tangan pelukis yang sama. Kini di samping potret Juliana tergantung lukisan Mohammad Hatta yang lebih kecil, juga karya Basoeki Abdullah.
Di dalam ruangan “Seni dan Diplomasi”, sejarah dan seni melebur jadi satu lewat pena Henk Ngantung, yang membuat serentetan sketsa dengan tinta cina selama pembicaraan di Linggarjati, Jawa Barat, berlangsung pada 11 dan 12 November 1946. Satu sketsa menunjukkan Presiden Sukarno dan wakil Belanda, Wim Schermerhorn, berbicara di meja makan. Resminya, pemerintah Belanda menolak berunding dengan Sukarno, yang selama dua hari itu menginap di sebuah rumah dekat dengan vila tempat perundingan berlangsung. “Sketsa ini jelas memperlihatkan bahwa Sukarno bertemu dan berbicara dengan pihak Belanda dan Inggris, walau secara informal,” ucap kurator Harm Stevens.
(Dari kiri) Marion Anker, Bonnie Triyana, Harm Stevens, Timoteus Anggawan Kusno dan Amir Sidharta, pada pembukaan pameran Revolusi! Indonesië Onafhankelijk (Revolusi! Indonesia Merdeka) di Rijksmuseum, Amsterdam, Belanda. Dok. Bonnie Triyana
Karya seni yang menyentuh semua pengulas media Belanda adalah 14 gambar cat air Mohammad Toha Adimidjojo, yang berumur 11 tahun ketika Belanda menyerbu Yogyakarta pada Desember 1949. Toha, murid pelukis Dullah, diberi tugas menggambar suasana kotanya yang sedang dilanda ketegangan. Harian NRC Handelsblad menulis: “Toha yang gesit ini jelas berbakat. Dengan goresan yang pasti dan komposisi yang cerdik, dia menghidupkan pelacakan dan pertarungan yang mengelilinginya.”
Satu-satunya karya kontemporer yang dibuat khusus untuk pameran ini adalah instalasi Luka dan Bisa Kubawa Berlari karya seniman Yogyakarta, Timoteus Anggawan Kusno, yang menggunakan obyek-obyek warisan kolonial koleksi Rijksmuseum. Pigura-pigura kosong Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang berserakan di lantai ruangan menjadi simbol “hantu kolonial yang masih tetap terasa sekarang,” kata Timoteus kepada Tempo. Di langit-langit tergantung sederet bendera yang berasal dari wilayah-wilayah yang menentang kekuasaan kolonial, seperti Aceh. Kerstin Winking, kurator pameran Otto dan Agus Djaja di Stedelijk Museum Amsterdam pada 2018, memuji karya Timoteus yang secara puitis memperlihatkan semangat antikolonial. “Cukup radikal ditampilkan di museum,” ujarnya.
Mungkin bagian yang paling menyentuh adalah penutup pameran: sebuah film yang menampilkan anak atau cucu sepuluh orang yang ditunjukkan dalam pameran, dari Kartika Affandi dan Sukmawati Sukarnoputri sampai Cok Gede Dalem Pudak—anak Cokorda Rai Pudak. Mereka mengenang orang tua mereka dengan penuh bangga dan haru, kadang dengan air mata berlinang.
Kerja sama kurator Harm Stevens, Marion Anker, Amir Sidharta, dan Bonnie Triyana dalam mencari informasi sering membuahkan hasil, seperti ketika menelusuri latar belakang Tanja Dezentjé, seorang perempuan Belanda yang memilih menjadi warga negara Indonesia pada masa revolusi. Awalnya hanya ada informasi tentang Dezentjé di arsip NEFIS sampai permulaan 1950-an. “Di Jakarta saya berhasil menemukan anak teman Tanja. Informasi dari dia lalu saya sampaikan ke rekan di Belanda,” tutur Amir Sidharta. “Berkat informasi Amir, akhirnya kami berhasil melacak putri Tanja Dezentjé di Den Haag,” Harm menambahkan.
•••
PAMERAN ini diliput oleh semua media Belanda, juga koran internasional seperti The Guardian dan The New York Times. Isi ulasan media Belanda beragam, dari acungan jempol sampai kecaman. Rijksmuseum, tulis harian Volkskrant, “Selain menjadi museum seni dan sejarah bangsa, berkembang menjadi museum etika Belanda.” Adapun koran De Telegraaf memuat resensi berjudul “Sejarah dengan Wajah Manusia”. Tapi harian Trouw mengkritik dengan menulis, “Pengunjung yang tidak terlalu mengenal sejarah Indonesia bisa agak bingung menghadapi begitu banyak narasi.”
Harian NRC memperjelas kritik ini dengan menyebutkan, tanpa pengetahuan sejarah, gambaran pembukaan pameran dengan Sukarno memproklamasikan kemerdekaan “terlihat seperti potret lama yang agak buram, memperlihatkan beberapa orang yang sedang menjalankan tugas resmi”. NRC menambahkan, pameran ini “terutama menggarisbawahi penebaran simpati yang berlebihan”.
Poster-poster karya kelompok Seniman Indonesia Muda, salah satunya karya Sudjojono (atas tengah), sekitar tahun 1946-1947. Linawati Sidarto
Sementara itu, kebanyakan pengunjung terlihat antusias. Hong Sien Kwee, yang lahir di Indonesia tapi lama tinggal di Singapura dan Belanda, menilai “Revolusi” berhasil menampilkan berbagai sudut pandang. “Di Belanda, biasanya sisi Indonesia tidak cukup diperlihatkan,” katanya. Pameran ini, menurut Jan Ernst dari Hilversum, juga lain dibanding kebanyakan pameran. “Biasanya saya ke museum untuk diperkaya secara intelektual. Tapi kali ini perasaan saya yang disentuh.”
Yang menarik, tema pameran yang disajikan Rijksmuseum seolah-olah mendapat gaung di museum-museum Belanda lain. Bulan ini, misalnya, Museum Sophiahof di Den Haag membuka pameran tentang migrasi ratusan ribu orang dari Indonesia ke Belanda pada akhir masa kolonial. Adapun Eye Filmmuseum di Amsterdam, seiring dengan pameran “Revolusi” di Rijksmuseum, menampilkan film-film yang berhubungan dengan masa kolonial di Nusantara, di antaranya Tjoet Nja' Dhien dan Lewat Djam Malam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo