Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengenang Lempad

4 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH buku luks mengenai I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978) diterbitkan di Bali. Ditulis oleh tiga pengamat seni, Ana Gaspar, Antonio Casanova, dan Jean Couteau, buku berjudul Lempad: A Timeless Balinese Master itu mendokumentasikan kehidupan Lempad dan karya-karya kreatifnya.

Lempad telah menjadi bagian dari seni lukis Bali. Sejarah dan pengembangan seni lukis Bali tidak bisa dipisahkan darinya. Lempad adalah gambaran lengkap seorang seniman. Ia pelukis, pematung, arsitek, pembuat bangunan, penari, dan koreografer. Dia merancang pura serta memahat topeng dari kayu, relief, dan patung batu. Dia juga menjadi motor sebuah grup tari di kampung halamannya.

Lempad hadir sebagai motor penggerak seni lukis modern Bali pada 1930-an dengan menjadi salah satu anggota dewan pembina Pita Maha, bersama Tjokorda Gde Raka, Gde Agung Sukawati, Walter Spies, dan Rudolf Bonnet. Dia tampil menjadi pribadi yang kukuh. Lempad juga tidak terpengaruh oleh gaya lukisan Spies dan Bonnet.

Tempo menelusuri kehidupan Lempad dan menelaah karyanya, termasuk lukisan erotisnya, yang kini bertebaran hingga mancanegara dan menjadi buruan para kolektor. Juga mewawancarai anak-cucu Lempad, yang meneruskan kesenimanan Lempad.

EKITAR 200 meter ke arah timur Puri Ubud di Jalan Raya Ubud, Bali, sebuah plang nama sederhana terpampang: "Rumah Pelukis dan Pematung I Gusti Nyoman Lempad". Seperti umumnya rumah tradisional Bali, kompleks kediaman Lempad yang berada di area seluas sekitar 800 meter persegi itu terdiri atas beberapa bangunan. Di tengah terdapat Bale Dangin, yang kerap digunakan untuk upacara keagamaan. Lalu Gedong Rata, dulu tempat Lempad berkarya. Juga bangunan keluarga, pura, dan sebuah bangunan menghadap jalan raya yang disewakan sebagai rumah toko.

Di kompleks rumah yang dirimbuni aneka ta­naman, seperti kemboja dan bunga-bungaan, itulah sang maestro Lempad melewati hari-harinya hingga wafat pada 25 April 1978 pada usia 116 tahun. Lempad wafat pada sebuah pagi ketika dia meminta sang putri, I Gusti Putu Oka, memandikannya. Setelah mandi, dia bertanya apakah matahari telah terbit. Lempad kemudian melanjutkan tidurnya. Ternyata saat itulah dia mengembuskan napas terakhir. Kematian Lempad dan upacara ngaben atau kremasinya yang megah diabadikan dalam film dokumenter Lempad of Bali karya sutradara Australia, John Darling dan Lorne Blair.

Lempad sepertinya dengan sadar memilih hari kematiannya. Dalam dokumenter Lempad of Bali, putra sang maestro, I Gusti Made Sumung, menuturkan, "Ayah saya mendengar dalam banyak diskusi di berbagai istana bahwa saat terbaik untuk meninggal adalah ketika matahari muncul di timur laut. Maka ia menunggu munculnya momen itu. Banyak orang bertanya kepadanya mengapa ia menunggu begitu lama untuk meninggal. Jawabnya: 'Saya belum melihat jalan yang benar. Saya harus menunggu hingga matahari muncul di timur laut. Barulah saya bisa meninggal'."

Lempad of Bali, yang dirilis pada 1980, ditayangkan di jaringan stasiun televisi ABC, Australia, dan kemudian disiarkan secara internasional. Sejak itulah nama Lempad kian terkenal hingga mancanegara. Rumahnya dibanjiri wisatawan dalam dan luar negeri hingga sekarang. Sebagian dari rumah Lempad kini difungsikan sebagai art shop untuk menjual lukisan dan barang kerajinan.

Kamis malam, 19 Juni lalu, sebuah acara sederhana mengenang almarhum Lempad digelar di Museum Arma, Ubud. Dalam acara itu diluncurkan buku bertajuk Lempad: A Timeless Balinese Master, yang disusun oleh Antonio Casanova, Ana Gaspar, dan Jean Couteau. Buku mewah setebal 312 halaman itu mendokumentasikan kehidupan Lempad dan karya-karya kreatifnya. Dilengkapi pula dengan perkembangan kebudayaan Bali, yang menjadi latar belakang kehidupan Lempad. "Lempad adalah inovator pada periode yang berbeda-beda di bidang kesenian yang berbeda pula," kata Jean Couteau, pemerhati budaya asal Prancis yang menetap di Bali.

Dalam bidang arsitektur, tutur Couteau, peran Lempad sangat mencolok pada periode pra-kolonial. Lempad memperoleh bakatnya karena dia putra I Gusti Sedahan, undagi (arsitek tradisional Bali) terkemuka yang kemudian menjadi abdi di Puri Ubud. Namun, menurut catatan dari salah satu putranya, I Gusti Made Sumung, yang diungkapkan kembali oleh cucunya, I Gusti Putu Gede, keahlian Lempad justru diperoleh bukan dari ayahnya, melainkan dari brahmana lain yang menjadi undagi di Puri.

Ayah Lempad, yang wafat pada 1927, memiliki trauma tersendiri karena menjadi orang terusir dari Puri Sukawati dan harus berpindah ke Ubud akibat kepintaran dia sebagai undagi. Itu pula alasan dia tak pernah memberikan pelajaran tulis-menulis kepada Lempad sehingga anaknya itu benar-benar buta huruf hingga akhir hayatnya. Meski tak bisa membaca, Lempad kemudian bisa menulis namanya di atas lukisannya dengan hanya mencontoh.

Pada 1893, Puri Ubud di bawah Tjokorda Gde Sukawati mengalahkan penguasa dari Puri Negara di dekat Batuan dan menjadi penguasa terkaya di Bali. Prestise kebesaran sang raja kemudian diwujudkan dalam pembangunan gedung dan berbagai upacara. Menurut Couteau, saat itulah yang menjadi acuan antropolog Clifford Geertz menyebut Bali sebagai sebuah negara teater. Saat itu prestise raja tak bisa lagi diwujudkan melalui penaklukan wilayah, karena pemerintah kolonial sudah memasuki Bali.

Kesempatan bagi Lempad benar-benar datang pada 1917, ketika terjadi gempa besar yang melanda Bali sehingga banyak bangunan hancur dan kerajaan pindah dari Bunutin ke lokasinya di Ubud sekarang. Sebagai undagi, Lempad mengkreasi banyak bangunan sehingga dikenal adanya "Gianyar Style", yang masih menjadi acuan dalam arsitektur Bali sekarang. Sampai saat itu, kreativitas Lempad masih menjadi bagian dari kreativitas komunal di bawah kuasa dari pihak Puri Ubud karena dia sebagai parekan (abdi) Puri.

Kreativitas individual Lempad baru muncul setelah ia berinteraksi dengan seniman Jerman, Walter Spies, yang mulai menetap di Ubud pada 1927. Berawal ketika Lempad mendapat tugas dari Puri untuk membangun rumah Spies di Campuhan, Ubud. Saat itu Spies menunjukkan kekagumannya pada karya Lempad, sebagaimana ia terpesona pada seluruh aspek kehidupan orang Bali saat mengelola pertanian, berjualan di pasar, bersembahyang di pura, hingga sedang menghibur diri di arena tajen.

Spies makin terkejut ketika Lempad membuat goresan pensil yang luar biasa pada kertas pemberiannya. Di atas kertas itu, dia membuat lukisan yang mengisahkan Rajapala, ketika tujuh bidadari—yang melambangkan kesucian—turun ke bumi untuk mandi. Saat mandi, ketujuh bidadari itu diintip oleh seorang pemuda, yang kemudian mencuri selendang salah seorang dari mereka. Si pemuda membujuk bidadari itu untuk tinggal bersamanya. Lukisan pertama Lempad itu kini dipajang di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda.

Menurut Couteau, saat itu Lempad mungkin sudah terbiasa melukiskan obyek di atas kain ketika membuat rerajahan sebagai bagian tugasnya menjadi undagi Puri. Ketika ditorehkan di atas kertas pemberian Spies itu, garis-garis Lempad menjadi lebih luwes dan bernyawa. "Garis ala Lempad sepenuhnya garis memori karena mengungkapkan ingatan yang penuh dan tanpa keterputusan ketika mulai ditarik di atas kertas," ucapnya.

Pada 1935, Lempad aktif di Pita Maha (Aspirasi Bangsawan), organisasi seniman yang didirikan Pangeran Ubud, Tjokorda Gde Agung Sukawati, dengan arahan dari Walter Spies dan Rudolf Bonnet. Uniknya, Lempad yang tidak bisa membaca ini tercatat sebagai sekretaris organisasi itu. Pita Maha bertujuan mewadahi interaksi antara seniman Barat yang tinggal di Ubud dan seniman lokal. Pita Maha memperkenalkan gaya lukisan Barat kepada seniman muda Bali dan memperkenalkan karya mereka kepada pengunjung dari mancanegara melalui pameran di dalam dan luar negeri. Organisasi ini juga memberikan konsultasi bagi para anggotanya—sekitar 150 seniman—seperti dalam pendistribusian karya-karya mereka.

Pada masa Pita Maha inilah kreativitas individual mulai dihargai. Karya seni bukan lagi sebagai alat pengabdian kepada komunitas, melainkan juga dimungkinan untuk tujuan bersenang-senang dan mendapatkan uang. Obyek lukisan Lempad berkembang dari lukisan tradisional yang diolah dari cerita wayang, seperti dalam kitab Mahabharata dan Ramayana, sampai cerita tentang kehidupan sehari-hari.

Bagian paling menarik dari relasi itu adalah kedudukan yang setara antara Lempad dan seniman-seniman Barat, sehingga mereka saling menginspirasi untuk menjadi kreator melalui karya mereka sendiri. Menurut Couteau, interaksi itu pula yang membuat Lempad cukup percaya diri membuat lukisan erotis, yang juga mengungkap adanya penyimpangan seksual pada masa itu. Sayangnya, lukisan semacam itu tidak ditampilkan dalam buku Lempad: A Timeless Balinese Master yang diedarkan di Indonesia karena dikhawatirkan mengundang reaksi yang vulgar dari kalangan tertentu.

Budayawan Goenawan Mohamad, yang hadir saat peluncuran buku, menganggap kreativitas Lempad setara dengan perupa Pablo Picasso. Keduanya juga memiliki perhatian khusus pada masalah erotisme. Bedanya, dalam karya Lempad, garis yang ditarik selalu mengingatkan pada suatu tarian seolah-olah semua tubuh menonjolkan keluwesan dirinya. "Lempad menunjukkan tubuh sebagai keasyikan hidup yang natural," ujarnya. "Adapun pada Picasso, tubuh menjadi obyek yang dieksploitasi secara eksotik dan terkadang menjadi terasa brutal."

l l l

LAHIR di Bedulu, Ubud, pada 1862, Lempad adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Desa kelahirannya dilalui Pakrisan, sungai keramat yang di tepiannya terdapat sisa-sisa peninggalan kerajaan-kerajaan kuno. Lempad kecil kerap mandi di mata air di sekitar dinding batu Yeh Pulu. Pahatan pada dinding batu yang diyakini dibuat tokoh legenda rakyat, Kebo Iwa, begitu mengusik Lempad. Pahatan patung yang bentuknya di luar model tradisional itu kemudian mempengaruhi Lempad muda dalam membuat karya patung dan arsitektur.

Lempad tumbuh menjadi seorang undagi. Ini gelar kehormatan yang diberikan kepada pembuat bangunan, arsitek, pematung, pelukis, penari, dan koreografer. Lempad seorang undagi yang komplet. Dia perancang dan pemahat pura serta pemahat topeng kayu, relief, dan patung dari batu. Dia juga seorang pelukis luar biasa dengan garis-garis yang khas dan eksotis. Di desanya, Lempad menjadi motor sebuah grup tari.

Pada 1970, saat ulang tahun kemerdekaan RI ke-25, Lempad menerima penghargaan Piagam Anugerah Seni karena kontribusinya pada dunia seni Indonesia. Penghargaan lain adalah Hadiah Udayana (1975) dan Dharma Kusuma (1982). Lempad pernah mempersembahkan lukisan tentang gerhana Bali kepada astronaut Amerika Serikat, Ronald Evans, sekitar dua tahun sebelum kematiannya pada 1978.

Karya-karya Lempad, khususnya seni lukis, mempengaruhi para pelukis Bali hingga hari ini. Salah satu yang mewarisi gaya Lempad adalah cucunya, I Gusti Nyoman Sudara, pengajar studi Bali klasik di Sekolah Menengah Seni Rupa, Ubud.

Pertengahan Juni lalu, saat Tempo bertandang ke rumahnya di Desa Sanggingan, Sudara tengah sibuk oleh palunya. Siang itu, bertelanjang dada, dia membuat petulangan (kerangka) bade (tempat pengangkut mayat saat upacara ngaben) dan aneka perlengkapan upacara lain. Pada usianya yang telah 67 tahun, Sudara tampak masih sangat sehat dan betah seharian menekuni pekerjaannya. Di sela-sela itu, ia juga masih menyempatkan diri membuat lukisan.

Sudara menuturkan kakeknya tak pernah secara khusus mendidiknya. Dia malah mencuri-curi ilmu sang kakek. Misalnya, saat Lempad melukis—biasanya malam hari—Sudara akan berpura-pura tertidur seperti halnya cucu-cucu yang lain. Tapi diam-diam dia akan membuka matanya untuk melihat gaya sang kakek dan obyek lukisannya. Lukisan yang dibuat pada malam hari biasanya tentang hal-hal serius, seperti mengangkat kisah Ramayana dan Mahabharata. Lempad akan terlihat penuh konsentrasi sebelum menggoreskan pensilnya. Ini berbeda halnya ketika ia melukiskan karya mengenai kehidupan sehari-hari, seperti tokoh Pan dan Men Brayut. "Beliau melukis sambil bersantai dan bercanda dengan cucu-cucunya," katanya.

Mungkin yang pernah diajarkan langsung oleh kakeknya, tutur Sudara, adalah teknik memegang pensil ketika melukis. Sang kakek melarang dia menempelkan tangan di kertas. Hanya jari manis yang boleh menempel di kertas sekaligus menjadi ukuran mengukur proporsi figur. "Ini juga supaya tangan tidak mengotori kertas," ujarnya. Ada juga pelajaran cara membuat garis yang akan menentukan watak figur tertentu. Misalnya garis untuk tokoh Bima tentu sangat berbeda dengan garis tokoh Arjuna.

Tak hanya melukis, Sudara juga mempelajari keterampilan kakeknya, dari cara membuat lembu, bade, hingga relief untuk menghias pura atau rumah. Pada akhir 1960-an, saat kakeknya berusia 90 tahun, Sudara yang masih berumur 15 tahun bekerja sama membuat relief di Pura Samuan Tiga, Bedulu, Gianyar. Relief itu menampilkan sebuah kisah dalam kitab Sutasoma ketika para bhagawan sedang berkumpul dan bermusyawarah. Dia mengenang Lempad waktu itu sudah tak kuat berjalan lagi, tapi masih kuat memahat di atas batu bata merah dengan teknik ngerawang (bayangan). Ini berbeda dengan teknik tampak sida—detail relief harus tampak nyata dengan ukiran yang mendalam. "Waktu itu saya hanya membuat ukiran kasarnya, tapi detailnya masih dikerjakan kakek saya," ucapnya.

Meski begitu, tutur Sudara, kehidupan kakeknya tidak mengandalkan keahliannya sebagai seniman. Sebab, sang kakek berstatus sebagai abdi Puri Ubud yang mendapatkan tanah dan lahan pertanian. Makanya karyanya kadang hanya diberikan begitu saja. Neneknyalah yang menjual lukisan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kini karya-karya Lempad sudah makin dikenal dan banyak juga dipalsukan. Suatu kali Sudara ditemui seorang pengusaha dari Jakarta yang meminta dia menyatakan lukisan koleksinya adalah karya Lempad. Tapi Sudara menolaknya karena lukisan itu ada di kertas Winword, yang di zaman Lempad belum ada dan ukurannya besar. Tamu itu marah-marah. Sudara tak menghiraukannya. "Kalau saya tanda tangani meskipun dapat duit, saya akan berdosa kepada kakek saya," ujarnya.

Lalu ihwal rahasia panjang umur kakeknya, menurut Sudara, karena selalu aktif bergerak. Kalau pagi pasti ada yang dikerjakan di halaman rumah, seperti menyapu dan mencabuti rumput. Lempad juga tidak menggunakan sandal agar pori-pori di telapak kaki cukup latihan dan menyerap udara. Pikiran kakeknya juga berfokus hanya ke masalah seni dan tak pernah memikirkan yang lain. "Zaman sekarang pasti susah karena godaan terlibat di masalah lain sangat besar. Apalagi masalah politik," katanya sambil tersenyum. Bila sudah kehabisan ide, Lempad biasanya mengundang dalang untuk bercerita mengenai wayang, sambil diam-diam membuat sketsanya.

Adapun soal makanan, Lempad bukanlah orang yang sulit. "Yang pasti setiap hari harus selalu makan bubur karena kedua istri kakek berjualan bubur," ujarnya. "Sayurnya berasal dari kebun dan sawah, serta tidak ada tambahan penyedap rasa."

Pelukis lain yang juga disebut-sebut meneruskan gaya Lempad adalah I Gusti Nyoman Darta. Seniman kelahiran 31 Desember 1951 itu masih memiliki hubungan keluarga karena merupakan cucu dari kakak istri Lempad. "Hubungan dengan keluarga Kakek Lempad sangat baik karena keluarga Kakek Lempad cukup mampu, maka kalau perlu bantuan pasti ke sana," kata Darta ketika ditemui di rumahnya di Desa Campuhan, Ubud.

Sewaktu kecil, Darta bekerja di Puri Ubud untuk bersih-bersih dan tinggal di Puri Agung Saren sebagai juru cawis (menyajikan sirih). Saat itu, ia juga sering ke rumah Lempad untuk menjemputnya bila ada panggilan dari Puri. Dari situ, Darta kerap mengamati pekerjaan Lempad sebagai undagi ataupun ketika mengisi waktu untuk melukis.

Suatu kali dia pernah meminta Lempad mengajarinya melukis. Lempad mengatakan yang dibutuhkan sebenarnya niat yang tulus dan ketekunan. "Kakek bilang melukis itu seperti menari, belajarnya harus banyak praktek melatih gerakan," ujarnya. "Bila semua itu dilakukan dengan keyakinan dan selalu mengingat sang guru, yakin pasti akan bisa."

Darta merasa dirinya adalah Eka Lawuya dalam kisah Mahabharata, ketika Begawan Dorna pernah menolak pemuda yang ingin belajar memanah kepadanya. Eka kemudian pergi ke hutan dan membuat patung Dorna. Dia berlatih keras sambil membayangkan dirinya dilatih oleh Dorna. Sampai suatu kali ada sayembara ketika dia bisa mengalahkan Arjuna dan akhirnya Dorna meminta jarinya dipasangkan ke Arjuna.

Setiap kali melukis, Darta selalu membayangkan sedang didampingi Lempad. Saat Darta merasa garis dalam lukisannya kurang maksimal, ia pun berkonsentrasi membayangkan wajah Lempad sampai merasa mendapat petunjuk mengenai apa yang harus dilakukan.

Nurdin Kalim, Rofiqi Hasan (Ubud)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus