Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kertas-kertas Kuning, Kesaksian Sudjojono

12 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Autobiografi S. Sudjojono diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Dihimpun dari catatan-catatan lepas yang selama ini disimpan keluarga. Beberapa hal penting tersingkap. Misalnya bagaimana reaksi D.N. Aidit setelah Sudjojono menikah dengan Rose Pandanwangi

Bersamaan dengan itu, KPG juga meluncurkan biografi janda Sudjojono, Rose Pandanwangi, yang menceritakan perjalanan kariernya sebagai penyanyi seriosa. Salah satu fase yang sering terlupakan, ia bersama Sudjojono pernah membuat kelompok opera.

Kertas HVS itu telah menguning dan beberapa terlihat sedikit sobek. Alexandra Pandanwangi, putri sulung Sudjojono dan Rose Pandanwangi, mengeluarkan hati-hati kertas-kertas tersebut dari dalam map. "Semua telah kami fumigasi," katanya. Kertas-kertas itu berisi tulisan tangan Sudjojono dalam huruf tegak bersambung yang rapi dan cukup jelas terbaca. Tulisan tangan menggunakan pulpen bertinta biru itu penuh coretan dan koreksi sendiri oleh Sudjojono.

Sore itu Pandan memperlihatkan "harta karun" almarhum ayahnya. Berbagai kertas lepas bahkan robekan kalender berisi coretan tangan Sudjojono tentang apa saja. Solilokui, percik pemikiran, kesan, surat, sampai coret-moret harga bensin naik. Beberapa di antaranya masih memakai ejaan lama. "Bapak memang begitu. Kalau ingin menulis, kertas apa saja di dekatnya langsung diambil untuk ditulisi," ujar Mariao Dara Putri atau akrab dipanggi Maya, putri ketiga Sudjojono dan Rose Pandanwangi.

Beberapa tulisan tangan berisi sambutan terhadap karya sesama pelukis. Antara lain sambutan terhadap pameran pelukis Soedibio, yang tinta hitam tulisannya masih terlihat tebal. Lalu pengantar untuk buku Basoeki Abdullah. Kalimat penutupnya: Selamat kerja, Bas. Beranilah hidup. Bangsa kita masih jauh ketinggalan. Salam. "Orang sering menganggap Bapak bermusuhan dengan Pak Basoeki. Padahal sangat akrab," kata Maya.

Pandan ingat, hingga satu tahun setelah kematian S. Sudjojono pada 25 Maret 1986, sewaktu masih tinggal di Pasar Minggu Kilometer 18 Nomor 11, Jakarta, ia dan adik-adiknya masih enggan memasuki studio lukis. Setelah duka sedikit reda, barulah mereka berani merapikan benda-benda yang ditinggalkan sang bapak. Ada ratusan sketsa dan berlembar-lembar kertas yang berisi tulisan tangan Sudjojono. Segala macam berkas itu dikumpulkan dalam satu tempat dan baru dicermati kembali isinya lama kemudian.

Pada 2006, putri-putri Sudjojono menyadari bahwa banyak dari tulisan itu adalah rancangan Sudjojono akan otobiografinya. Setelah memeriksa kembali berkas-berkas peninggalan Sudjojono, putri-putri Sudjojono menemukan segepok kertas yang sudah berisi ketikan rapi di dalam sebuah map. Ternyata itu adalah tulisan lengkap autobiografi Sudjojono yang sudah rampung.

Total ada 49 halaman yang bahkan sudah diberi judul Cerita tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya. "Kayaknya saya yang diminta Bapak mengetik tulisan ini dengan mesin tik, tapi saya sendiri sudah lupa," kata Pandan, yang pernah bekerja sebagai sekretaris. Bahkan mereka menemukan, di beberapa potongan lembaran kalender, Sudjojono membuat bagan dan kerangka tulisan autobiografi. Itu artinya tulisan tersebut telah lama dipersiapkan.

Penuturan Sudjojono dalam manuskrip itu runut dan jelas. Ia telah memberi judul tiap bab secara berurutan. Dari bab "Tentang Sejarah Nama Saya", "Pada Waktu Militer Jepang Berkuasa di Indonesia", "Revolusi Manusia yang Dipimpin Orang-orang Muda", hingga "Partai Komunis Indonesia dan Saya" serta "Lembaran Baru". Tulisan itu ditutup dengan tanda tangan Sudjojono bertanggal 14 Desember 1983, Pasar Minggu.

Manuskrip yang terlupakan itulah yang dibukukan oleh KPG ditambahi beberapa artikel tulisan Sudjojono di kertas-kertas lepas tersebut. "Kami mulanya maunya diterbitkan persis seperti yang tertera di kertas, tapi akhirnya diperlukan editan dalam ejaan agar pembaca zaman sekarang tetap paham," kata Maya. Dan ternyata autobiografi itu dalam beberapa hal menyajikan informasi baru. Catatan personal itu misalnya menjawab banyak keingintahuan orang mengenai hubungan Sudjojono dengan Partai Komunis Indonesia sampai akhir 1950-an.

Sudjojono mengawali pengakuannya tentang PKI dengan keluh-kesah bahwa, meski sudah lama menjadi anggota PKI, ia tak pernah diajak berembuk apa-apa. Ia merasa tak dihargai. PKI senantiasa menganggap dia seniman yang tak mengerti politik. "Saya dianggap oleh partai sebenarnya hanya sebagai anggota nomer sekian, titik," tulisnya.

Ia kesal, misalnya, karena pada 1945, meski banyak bergaul dengan aktivis mahasiswa progresif, sama sekali tak pernah diberi tahu soal bakal ada proklamasi. Padahal pada 1945 Sudjojono sudah bisa dipandang sebagai tokoh kuat. Ia mendirikan Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada 1937. Masa-masa menjelang revolusi pun ia memimpin laskar gerilya di Yogyakarta. Kekecewaannya tersebut pernah ditumpahkan kepada Wikana, tokoh pemuda yang pada 1948, sekitar Peristiwa Madiun, berkunjung ke rumah Sudjojono di Pakuningratan 40, Yogyakarta. Sudjojono saat itu bertanya mengapa yang memproklamasikan Bung Karno. Wikana menjawab, "Karena orang lain yang dipercaya rakyat tidak ada." Sudjojono menyergah, "Itu tidak benar. Mengapa tidak pemuda sendiri yang berbuat itu. Umpamanya Chaeroel, Soekarni, Adam, apa Mas Wik sendiri?

Pada 1946, bersama sejumlah seniman progresif, Sudjojono mendirikan perkumpulan Seniman Indonesia Muda (SIM). Organisasi inilah, seperti pernah dituturkan pelukis Basuki Resobowo, sesungguhnya yang menjadi embrio organisasi kesenian rakyat pada 1950: Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pada 1956, Sudjojono menjadi wakil PKI di parlemen. Saat itu ia menjalin hubungan dengan wanita lain selain istrinya, Mia Bustam, yaitu penyanyi lagu klasik Rose Sumabrata-yang kemudian dipanggil Rose Pandanwangi oleh Sudjojono. Comite Central (CC) PKI saat itu gerah atas perilaku Sudjojono tersebut karena PKI adalah partai penentang poligami paling gigih.

Dalam desas-desus yang beredar, beberapa kali Sudjojono ditegur, tapi Sudjojono tak berubah. Akhirnya, pada 1958, PKI resmi memecat Sudjojono dari keanggotaan PKI. Dengan demikian, jabatannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat pun turut hilang. Gosip-gosip inilah yang dijawab di manuskrip. Benarkah ia dipecat atau mengundurkan diri? Sudjojono menulis ada tiga hal yang membuatnya tidak sreg dengan PKI: 1 Adanya Tuhan atau tidak; 2. Sikap anggota Partai Komunis terhadap partai-partai lain; Dan yang ke-3 ini yang istimewa-soal: cinta.

Soal Tuhan, Sudjojono menuangkan percakapannya dengan Wikana lagi tentang proses penciptaan alam semesta. Bagi Sudjojono, penjelasan logis untuk lahirnya kosmos tak memadai. Sementara itu, kebanyakan orang komunis, menurut Wikana, menganggap otak adalah barang paling penting dalam hidup. Semua harus bisa dinalar secara logis. Sudjojono menulis: "Mas Wikana, mana paling penting, si mesin tik, apa tukang tiknya? Mesti saja pengetiknya! Mas Wik, buat saya otak itu sebenarnya paling banyak hanya sebuah mesin tik." (Salah satu tulisan Sudjojono di atas kertas yang menguning itu berjudul: God in a Reality. Tulisan dalam bahasa Inggris ini menyatakan goresan dan sapuan kuas yang hidup dibuat oleh Pencipta yang hidup.)

Tentang sikap PKI terhadap partai lain, Sudjojono ingin menekankan bahwa kebenaran ada di mana-mana. Sudjojono menulis, baginya kebenaran bisa datang dari Masjumi, Muslimin Indonesia, Partai Nasional Indonesia, Nahdlatul Ulama. Dalam tulisannya ia tampak ingin mengatakan bahwa PKI terlalu memaksa anggotanya agar hanya mendengar kebenaran dari dalam partai sendiri. Disipliner partai terlalu keras.

l l l

Yang panjang-lebar memang soal cinta. Setelah bertemu dengan Rose, agaknya memang Sudjojono mabuk kepayang. Sudjojono untuk pertama kali berjumpa dengan Rose di Belanda dan Berlin Timur pada 1951. Saat itu Sudjojono bergabung dengan delegasi Indonesia untuk Festival Pemuda di Jerman Timur. Tatkala menjadi anggota DPR kemudian pada 1956, Sudjojono tinggal di Jakarta tanpa membawa istrinya, Mia. Dia menumpang di rumah Soerjono dan Naibaho, wartawan Harian Rakjat, di Jalan Cilosari, Cikini.

Tanpa diduga, rumah Rose di Jalan Madura tak begitu jauh dari Cikini. Karena sudah kenal di Eropa, Sudjojono lalu bertandang ke rumah Rose. Lalu dia semakin sering mertamu. Sebuah sketsa pada 1957-dengan coret-moret kerinduan dalam bahasa Belanda-yang disimpan putri-putrinya sekarang, menggambarkan seorang lelaki yang duduk sendiri kesepian di atas bukit. Lelaki itu menggambarkan Sudjojono sendiri. Agaknya kasmaran terhadap Rose sudah tak bisa dibendung.

"Ketika pimpinan partai tahu bahwa ada hubungan saya dengan Rose, padahal dia sudah punya anak tiga orang dan masih punya suami, partai menyuruh saya memutuskan hubungan tadi. Saya harus pulang ke Yogya dan partai akan mengusahakan perpindahan keanggotaan saya dari parlemen ke DPRD Yogya. Saya tidak mau. Cinta Rose pada saya tidak bisa diputuskan, sebab saya tidak mau menjadi orang munafik dan terus-terusan berzinah...."

Sudjojono menceritakan bagaimana suatu pagi ia bertemu dengan D.N. Aidit di gedung CC PKI. Dan ia tersinggung saat Aidit menyindir hubungannya dengan Rose: "Ini kan cuma macam air..., Mas Djon." Mendengar kalimat Aidit ini, Sudjojono langsung menatap mata Aidit dan berkata tajam: "Tidak adakah rupanya dalam benak Das Kapital perkataan cinta?"Lalu Aidit menjawab: "Ada!" seraya matanya ditundukkan.

Tatkala bertemu dengan Wikana lagi, Sudjojono memperingatkan Wikana tentang bahaya Aidit dan orang-orang Aidit. Ia bahkan menganjurkan Wikana agar melawan Aidit. "Mas Wik, Aidit ini berbahaya sekali. Orang-orangnya menulis di koran-koran yang tidak-tidak tentang saya. Seakan-akan saya een vrouwenjager (seorang pemburu wanita) dan orang jelek. Ini berbahaya pada waktu-waktu kritis. Kick him out. Wikana saat itu menjawab: "Dia orang baik, Mas Djon!" Dan Sudjojono langsung menukas: "Saya tidak bisa bilang apa-apa lagi, Mas Wik, saya bukan anggota lagi."

Sudjojono dan Rose menikah pada 14 Juli 1959. Menurut Sudjojono, sesudah ia keluar dari PKI, acara Rose Pandanwangi di Radio Republik Indonesia selalu diganggu. Rose memiliki jadwal rutin seminggu dua kali menyanyi di RRI. Tapi kemudian sering tidak disiarkan lantaran penanggung jawab siarannya adalah orang PKI. Ini membuat Sudjojono mangkel. "Dalam hati saya bilang. Kunstkring Belanda tak berdaya musuh saya, dan bagian seni rupa Keimin Bunka Shidosho Jepang berantakan, masak kamu akan menang, PKI! Mari kita coba!" Dan, menurut Sudjojono, prediksinya tentang kepemimpinan Aidit yang gegabah itu benar.

Satu malam setelah Letnan Kolonel Untung menyiarkan peristiwa G-30-S di RRI, Sudjojono masih mengantar Rose Pandanwangi ke RRI. Saat itu ia melihat anggota Resimen Para-Komando Angkatan Darat (RPKAD) mengepung gedung RRI. "Di dalam gelap saya lihat anak-anak RPKAD berdiri di balik tiap pohon asam siap dengan senjata otomatisnya menghadap ke Monas. Saya meluncur pulang dengan Narto (pianis), saudara Tasroen (penyanyi), Sri, dan Rose dalam mobil Ford hitam kami. Orang-orang RRI heran kami berani, tetapi kami lebih heran lagi sebab tidak tahu apa-apa. Kami selamat pulang sampai ke rumah di Pasar Minggu."

Setelah 1965, terjadi banyak penangkapan anggota PKI dan simpatisannya. Sudjojono, yang pernah menjadi wakil PKI di DPR, tak termasuk yang dicokok. Ia selamat. Dalam autobografinya, Sudjojono tidak menuliskan catatan bahwa istri pertamanya, Mia Bustam, tertangkap masuk penjara Wirogunan, Yogyakarta; sampai Kamp Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Adapun anak sulungnya dari Mia Bustam, Tedjo Bayu, juga ditahan di Pulau Buru.

Sudjojono menulis hidupnya bersama Rose sangat produktif. Seolah-olah ia kurang waktu 24 jam untuk melukis. Larut malam ia tetap memiliki energi melukis sampai pagi. Hidup bersama Rose, ia masih melukis tema perjuangan dan kenangan era revolusi. Di antaranya lukisan Pangeran Diponegoro pada 1979 dan yang monumental adalah lukisannya mengenai Pertempuran Sultan Agung dan Jan Pieterszoon Coen sepanjang 3 x 10 meter di Museum Fatahilah, Jakarta. Sketsa-sketsa studi Sudjojono tentang serdadu Belanda dan Mataram termasuk "harta karun" paling berharga yang kini masih disimpan keluarga.

"Masih banyak tulisan tangan Bapak yang tak masuk buku," kata Pandan. Keluarga juga menyimpan rekaman suara Sudjojono yang melengkapi tulisan-tulisannya di atas kertas. "Bapak pada 1980-an memiliki tape recorder. Lalu merekam sendiri suaranya," ujar Pandan. Di situ Sudjojono berbicara sendiri tentang riwayat dan pengakuan-pengakuannya. Rekaman suara ini juga sangat bermakna. Kita bisa mendengar intonasi suara Sudjojono saat menceritakan semua itu.

Seno Joko Suyono, Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus