Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA seperti sudah tahu tulisan-tulisannya akan dibaca orang kelak, bahkan berpuluh tahun setelah kematiannya. Unik sekali, merangkap tulisannya dengan kertas karbon, Soe Hok-gie mengirimkan salinan tulisannya kepada redaksi media massa, kawan-kawannya, sementara naskah aslinya ia simpan baik-baik dalam sebuah map.
Pertengahan 1989, Yosep Adi Prasetyo—akrab disapa Stanley, kini Ketua Dewan Pers—menemukan map itu di rumah Arief Budiman, kakak Gie, di kawasan Kemiri Candi, Salatiga, Jawa Tengah. Map hijau lusuh, diikat sebuah tali rafia hijau, dalam keadaan tertutup, di atasnya tertulis nama Soe Hok-gie. Hati Stanley berbunga-bunga, sudah bertahun-tahun ia mengumpulkan tulisan Hok-gie, baru kali ini, tanpa sengaja, ia menjumpai sesuatu yang istimewa.
Dokumentasi surat-menyurat, juga artikel pendapat, yang belum pernah dipublikasi itu terimpit di antara buku-buku di dalam perpustakaan pribadi sang kakak. Masih menjadi dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, kebetulan Arief harus bertugas ke Korea Selatan selama dua pekan. Stanley bersedia menjaga rumah kosong tersebut asalkan diizinkan melihat koleksi buku Arief. "Kalau tidak dikasih, saya tidak mau jaga," katanya.
Kini map hijau berisi dokumentasi tulisan itu di tangan Stanley. Di dalamnya ada sejumlah artikel, catatan harian, dan surat-menyurat Hok-gie dengan beberapa temannya. Dari Indonesianis Ben Anderson, Herbert Feith, Daniel S. Lev, hingga teman sesama aktivis di luar poros Universitas Indonesia seperti M.T. Zen asal Institut Teknologi Bandung atau Thung Hok Jang, aktivis dari Universitas Parahyangan. Juga surat "cinta" ke Nurmala Kartini Panjaitan, adik kelasnya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Beberapa surat juga ditujukan Hok-gie untuk kakaknya, Arief Budiman, dan sesama anggota Mahasiswa Pencinta Alam UI, Herman Lantang dan Boediono.
Selama ini Arief Budiman melarang Stanley menerbitkan surat-surat itu. Surat-surat ini dikhawatirkan menimbulkan kegaduhan dan masalah bagi nama-nama yang disebut Hok-gie. Atas alasan kepercayaan, Arief bersedia memberikan map itu kepada Stanley. Ia bersedia memberikan sejumlah surat kepada Tempo.
Hok-gie mencurahkan perasaan dan pemikirannya dalam "surat-surat cinta"-nya kepada beberapa perempuan yang dekat dekatnya. Salah satunya kepada Nurmala Kartini Panjaitan.
Jakarta, 15 Juli 1969
Kartini yang manis,
Gue udah terima surat lu kemarin. Waktu gue baca "Hok-gie yang manis," langsung gue jilat tangan gue. Eee asin. Maklum, gue kan baru saja pulang dari Rawamangun. Kalau lu mau rasa gue yang bener…gue ini asin kalau baru keringatan. Coba lu jilat jidat lu manis nggak. Tapi terserah dah, lu gue anggap manis. Jadi gue boleh bilang Ker yang manis. Nggak keberatan kan???
Maaf ya gue minta maaf dulu. Gue sih mau nawarin lu tapi gimana. Ceritanya gini. Tadi jam setengah dua gua ngantuk lalu gue tidur. Sekarang gue baru bangun tidur. Iseng jadi akhirnya gue beli es kelapa/kacang ijo yang meyakinkan dekat rumah gue. Bibi gue suruh beli. Lu bayangin aje lu lagi minum es yang meyakinkan itu. Buat meyakinkan lu, nih gue taruh sedikit kacang hijaunya. Sedaaaaaap.
Cerita-cerita tentang Kerajaan Sastranesia dengan rakyatnya biasa aje. Hari Selasa yang lalu mahasiswa-mahasiswa tingkat 1 Sastra dan Ekonomi berontak di Walawa. Soalnya senior-senior Walawa yang baru-baru sok jago. Mereka dihukum (karena berebut minum dari tempat cewe) 200 push-up dan scott-jump (loncat kodok). Digecek dengan popor senapan waktu push-up. Akhirnya mereka berontak dan bikin petisi, bikin surat kiriman. Akhirnya jadi ramai terakhirnya mereka berontak dan bikin petisi. Senior-senior Walawa nggak berani menghukum seenak-enaknya.
Gerombolan-gerombolan anak-anak mulai berpecahan. Si Mamam dan santapan rohaninya (dkknya) pergi ke Banten. Si Satrio dengan cewe-cewenya pergi ke Bali. Dan kita pergi ke Lapangan Banteng saja. Luki pulang ke Bandung sebentar dan Hendro dkk mulai aktif menyusun rencana-rencana untuk ke Yogyakarta. Keadaan fakultas menjadi sepi, tetapi selalu indah.
Gerombolan kita tetap berjalan sebagaimana biasa. Setelah gue ke airport hari Selasa yang lalu, sorenya gue ke Bandung sama Jopie Lasut. Ada soal-soal pelik kewartawanan. Besoknya gue nonton drama sama Luki. Di belakang tempat lenong ada pementasan drama-drama 3 kota. Hari Jumatnya gue nonton drama lagi. Sama Luki lagi. Juga ada Om Benny Mamoto dan Tuan Badil. Dramanya drama lucu deh. Ceritanya acak-acakan dan seenaknya. Kaya hidup aje deh. Ada copet yang sial, karena kalau copet tangannya gemetar. Ada tukang minyak wanita tua yang mandul. Ada jembel yang mau jadi orang kaya. Ada orang pincang (yang dulu main waktu Nimrod... lu inget nggak) yang punya filsafat hidup semau gue dan kaya Josinggak ada tujuan hidup. Dan pelacur tua. Lalu ceritanya mereka mimpi. Dan mimpinya nggak karuan. Mimpi dari jembel yang ingin kaya. Benar-benar lucu. Tiba-tiba si jembel kena lotre dan lalu mereka makan enak. Beli baju, naik kuda, jadi raja dllnya. Jembelnya namanya si Kojal. Dan setiap nyebut nama uang atau lotre dia bilang... haaa. Lucu deh. Si Benny Mamoto mulai tiru-tiru dia lagi. Kita ketawa dan gue sedih. Habis di bibir atas gue ada sariawan gede. Tiap mulut gue lebar sedikit aduh sakitnya. Gue nggak mau ketawa deh. Tapi kadang-kadang lupa... aduh sakit (Sekarang udah baik dan gue puas-puasin ketawa gue).
Hari Minggu gue ke Si Benny Mamoto lagi. Si Badil mau naik gunung sama Wijana tapi turun lagi lantaran kakinya masih sakit. Akhirnya tidur-tiduran di rumah Benny. Oom kita ini lagi senang. Dia baru terima surat dari rumah. Dia disuruh kawin sama siapa aja. "Biasanya gue dimaki-maki kalau terima surat dari babe. Eh, dia baik sekarang. Katanya siapa aje yang dipilih jadi bininya akan diterima dengan senang hati." Si Opa Benny cerita-cerita sama gue tentang asal-usul keluarganya. Lu tahu darimana asal nama Mamoto.
Tadinya gue pikir dia Manado turunan Jepang. Bukan. Itu bukan nama klan. Kakeknya adalah penjaga perbatasan di Minahasa dulu. Kalau ada orang daerah lain masuk tanpa izin ditangkap oleh kakeknya. Dan kepalanya dipotong. Jadi nama kakeknya Sebastian Mamoto(ng). Sebastian pemotong orang. Gelar kakeknya masih diteruskan sama dia sekarang. Jadi hati-hati lu, si Benny tukang potong orang.
Kemarin gue nonton lagi di Taman Ismail Marzuki. Team lamaDahana, Hendro, Benny, Badil, dan Luki. Film Jerman Barat tentang sex education. Filmnya bagus sekali. Mereka bertitik tolak dari prinsip... "apa yang Tuhan sendiri tidak malu ciptakan, mengapa kita sendiri harus malu melihatnya." Dan secara sangat terbuka lewat kamera diperlihatkan soal-soal sex dengan segala kekompleksannya.
Seks bukan soal biologis semata-mata. Juga tercangkup soal-soal emosi. Tentang sikap dingin dari pria dan wanita. Pendeknya terbuka sekali. Kelahiran manusia (close up). Saya baru pertama kali melihat film yang menggambarkan kelahiran manusia begitu jelas dan juga operasi kandungan. Si Luki duduk di sebelah saya. Kadang-kadang ia menutup matanya karena ngeri. Saya suruh dia melihatnya terus. Sayang Ninies dan Maria—bukan nama sebenarnya, mengacu dalam Catatan Seorang Demonstran—tidak ada. Dan lu juga karena film ini bagus sekali. Kalau lu ada kesempatan nonton deh...The Miracle of Life.
Cerita lain tentang santapan rohani tidak banyak perubahan. Saya tanyakan sama si Badil kepada dia nggak datang. Jawabnya karena ketiduran. Dia bangun jam empat. Lalu dia tidur lagi dan baru bangun jam 7. Saya kira soal ini adalah soal masa lampau. Seperti yang saya tulis pada buku untuk diary kamu. Santapan rohani saya juga begitu. Saya tidak melihat masa depannya. Saya sayang padanya kadang-kadang kasihan, tetapi yang harus menentukan dirinya terutama adalah dirinya sendiri. Waktu saya ajak dia nonton The Miracle of Life dia berhalangan. Ada janji katanya. Saya suruh tunda janjinya tapi dia segan. Akhirnya saya pergi sendiri, padahal filmnya bagus sekali. Dia juga tidak ikut ke Jogjakarta. Dan yang membuat lebih sedih adalah bahwa selama masa liburnya dia menambah frekuensi les Prancisnya menjadi 3x pada tiap pagi.
Saya bilang padanya bahwa masa mahasiswa cuma sebentar dan mengapa tidak menjalani hidup yang penuh dengan keramaian dan sedikit petualangan pada waktu masih mahasiswa.
Saya tambah menyadari bahwa Maria dan saya berasal dari dua sistem sosial yang berbeda. Bahkan dua dunia yang berbeda. Keluarganya adalah keluarga pedagang. Keluarga saya adalah keluarga penulis (ayah saya adalah seorang pengarang roman). Dua dunia ini dapat dijembatani jika kami mempunyai satu cita-cita di masa depan. Dan keberanian untuk mengubah masa lampau masing-masing. Dalam hal ini saya kira saya gagal untuk meyakinkannya. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Mungkin dia masih terlalu muda dan biasa hidup dalam bayang-bayangan perlindungan keluarga. Sedangkan saya telah terlalu banyak melihat kenyataan-kenyataan sosial yang pahit sehingga saya tidak dapat bergaya seperti yang diharapkannya. Kalau dia lebih dewasa (atau saya lebih muda) kita barangkali bisa bertemu. Kenang-kenangan yang manis akan selalu manis, asal kita tidak memimpikan masa lampau kembali lagi.
Sudah lama saya tidak menulis. Sejak saya lulus praktis saya tidak menulis artikel yang berarti di koran. Tetapi entah mengapa sejak Hari Minggu saya banyak sekali menulis. Rasanya seperti ada tanggul yang pecah dalam diri saya. Dan terus-menerus keluar menjadi artikel-artikel, berita-berita, dan ulasan-ulasan. Di samping itu saya masih punya beberapa proyek penulisan tentang beberapa soal bagus untuk Sastranesia. Dia juga menulis sebuah cerpen yang 'mengharukan' dalam Sastranesia. Kalau lu belum kembali dan Sastranesia telah terbit akan saya kirim satu copy untukmu.
Hok-gie juga sempat menulis beberapa surat kepada Daniel Lev. Dalam suratnya, ia mengeluhkan soal kondisi pergerakan di Indonesia dan bagaimana militer serta partai memanfaatkan mahasiswa demi kepentingan mereka. Berikut ini petikan surat itu.
Dan Lev yang baik,
Jakarta, 26 Februari 68
Yang suka mengganggu pikiran saya juga soal lama—konsenterasi kamp. Saya dengar selentingan bahwa T.W. Kamil telah gila dalam penjara. Ia tertangkap basah ketika melakukan perbuatan seks (onani, homoseks saya kurang jelas) lalu dijemur dan orang yang telah "miring" ini akhirnya ambruk. Kabar2 tak resmi menyatakan bahwa Chalid (teman Asrul Sani dari Prancis—tokoh teater yang nekad menyembunyikan saudaranya yang PKI) telah meninggal, tetapi kepastiannya belum ada. Orang2 yang mati karena TBC juga bertambah. Lalu saya ingat sebaran yang saya baca di AS bahwa mereka yang berdiam diri ketika kekejaman2 terjadi pada hakekatnya juga berdosa. Saya jadi ikut2an takut dosa kalau nggak bicara.
Yang paling hangat di Jakarta sekarang adalah soal pembubaran KAMI. Tokoh2 SOMAL sangat getol mempropagandakan pembubaran KAMI. Padahal satu tahun yang lalu saya masih bertengkar dengan mereka tentang soal ini. Mereka tuduh saya anarkis nihilis, persis seperti mereka dituduh sekarang. Saya sendiri tadinya agak "senang" karena mengira bahwa ide2 gila saya telah mulai jalan. Tetapi sekarang saya sangat reserve, walaupun saya tetap setuju dengan ide pembubaran KAMI.
Dari sumber2 yang amat mengetahui saya mendengar daftar nama2 dari tokoh2 Orde Baru yang telah terima honor dari Opsus. Mengejutkan, termasuk tokoh2 yang tidak pernah saya duga. Mereka ingin bubarkan KAMI karena mereka merasa bahwa KAMI tidak dapat dikuasai seratus persen oleh merekaterutama anak2 HMI yang anti mereka. Jika KAMI bubar mereka akan mencoba mengusahakan agar terbentuk wadah NUS yang baru di mana pimpinan2nya telah mereka "beli" dan kemudian menjalankan garis mereka. Jika Dan membaca karangan kakak saya yang setuju pembubaran KAMI tetapi tidak mau membentuk NUS (karena memang kenyataannya mahasiswa2 Indonesia belum bisa bersatu) adalah berlatarkan pendirian tadi. Sikap saya adalah setuju KAMI bubar tetapi NUS tidak dibentuk cepat2, karena berbahaya dimakan oleh Opsus.
Tetapi sebaliknya yang pro mempertahankan KAMI sama bajingannya, karena mereka ingin mengeksploatasikan KAMI untuk kepentingan2 politik dan status sosial mereka. Saya dengar ada grup2 tentara yang diduga ingin agar KAMI dipertahankan.
Saya agak ngeri melihat tokoh-tokoh "intelektual" muda yang telah kejangkitan ideologi macroisme. Suatu hari saya bertemu dengan wartawan kenalan gelandangan dahulu waktu zaman2nya Sukarno. Sekarang ia tokoh "gedean". Dia tanya... "Gie, lu nyikat2 koruptor, nyebut2 nama jenderal apa sih gunanya?" Setiap saya ditanyakan soal ini, saya sedih sendiri tetapi berusaha untuk menjawabnya dengan jujur dan terbuka. Mereka melihat bahwa terlalu banyak soal2 kecil dan soal2 ini akan beres sendiri kalau soal pokoknya telah diselesaikan. Yaitu perubahan struktur politik (betapa nonsense-nya) dan modernisasi (yang sekarang jadi jimat baru).
Selain berkorespondensi dengan sejumlah rekan di luar negeri, Hok-gie berkirim surat dengan beberapa kawan aktivis di luar rekan-rekan seperjuangan di Universitas Indonesia. Sebagian besar surat Hok-gie justru ditujukan bagi Thung Hok Jang. Dengan Thung, ia banyak membahas soal kekecewaan terhadap Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa. Nama lain yang disebut adalah Mudaham Taufick Zen dari Institut Teknologi Bandung. Dengan M.T. Zen, Hok-gie "curhat" tentang perilaku para pejabat serta pembunuhan massal.
Petikan Surat untuk Thung Hok Jang, 3 Januari 1966:
Barangkali di dunia ini ada suatu golongan masyarakat yang dari lahir sampai mati selalu "bernasib malang." Gol itu adalah gol intelektual dalam arti sebenar2nya. Karena mereka berbicara dan bertindak tidak atas dasar siapa yang kuat, tetapi atas dasar APA YANG BENAR. Mereka adalah terlalu baik ataupun terlalu jujur sehingga selalu menjadi mangsa permainan politis2. Saya melihat sebagai contoh konkret-Mochtar Lubis. Tahun 1944-1945 dia masuk gerakan bawah tanah menentang Jepang. Setelah proklamasi dia kerja di Antara dan dia adalah wartawan satu2nya yang disuruh tinggal di Batavia selama tahun2 1947-1949. He is the last stronghold of RI. Sesudah agresi ke II dia pernah ditangkap dan dipukuli oleh NICA. Tetapi bagaimana nasibnya setelah 1950. Dia tetap melarat dan ditipu. Antara 1950-1956 dia berkelahi melawan Sukarno dan selama itu banyak kawan2nya berkhianat padanya dan membela Sukarno.Tahun 1969-1966 masuk kamar tikus. Dan sampai sekarang dia adalah tetap dianggap sebagai "orang gila yang berani." Apakah nasib kaum intelektual akan selalu seperti itu?
Petikan surat untuk M.T. Zen, Jakarta 21 Juni 1967:
Kau minta cerita2 yang lucu? Banyak sekali untuk tertawa, untuk mentertawakan kebodohan pemimpin2 bangsa kita. Atau meringis sedih karena ketololan, kemunafikan dan keras kepala mereka? Menteri Pangan kita diminta ceramah tentang Hak2 Asasi Manusia, yang dia berikan adalah tentang hak2 warga negara seperti memilih, dipilih. Kalau kepala polisi nasional kita tak dapat membedakan human rights dan civil rights bagaimana bawahannya? Dutabesar kita di Bangkok lebih aneh lagi. Hobinya ialah main kartu dan hobi ini telah terkenal di seluruh KBRI. Suatu hari seorang sekretarisnya datang melapor bahwa dari Jakarta telah tiba kapal untuk KBRI dan isinya adalah kartu domino. Sang Dubes tidak marah dan senyum2 saja. Penjudi yang humoris.
Petikan surat untuk Herman Lantang, 26 November 1967:
Herman, saya dapat membayangkan betapa menariknya kehidupanmu di tengah2 Irian Barat. Melihat sisi2 lain dari dunia yang tak pernah dipikirkan di Jakarta. Bagi saya kehidupan di Jakarta membosankan. Dalam empat minggu saja tiga kali naik gunung. Dan dua minggu yang lalu saya pergi ke kawah Salak bersama2 rombongan Don, Jukiko, Lieke, Josi, dllnya. Saya tidak tahu rencana untuk bulan Desember. Saya ingin merayakan ulang tahun saya di salah satu puncak gunung yang baru. Dan karena itu saya akan cari uang. Mungkin berdua dan bertiga saya akan pergi.
Sepuluh dari total 90 surat Hok-gie yang belum terpublikasi ditujukan untuk Indonesianis Ben Anderson. Berikut ini petikan surat untuk Ben, Jakarta, 13 Januari 1968.
Saya mendapatkan kesan bahwa revolusi itu agak aneh warnanya. Keinginan yang meluap2 dari sekelompok pemuda untuk "revolusioner dan berbeda" apa saja dengan suasana yang konvensionil. Rambut panjang, menganggap bahwa perkawinan adalah adat feodal dll yang aneh2. Saya melihat bahwa revolusi adalah usaha dari sekelompok pemuda untuk reidentifikasi diri pemuda2 dan kemudian berakhir dengan kegagalan. Hampir semuanya kembali pada arus lama yang kuat sekali. Sebagian menjadi pemuda2 Tan Malaka, sebagian lagi Syahrir dengan jimat2nya dan sebagian lagi jadi penyembah dewa Stalin. Mungkin saya akan melihat suasana 47-48 dalam pola kegagalan tadi. Tahun 45-46 adalah suasana optimisme dan 47-48 adalah suasana kacau balau dan usaha untuk reidentifikasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo