MBAH Kasiyem, 65 tahun, tukang pijat dan dukun bayi di Desa
Sanan Wetan, Blitar, dikenal sebagai orang berada. Enam tahun
yang lalu suaminya meninggal. Satu-satunya anaknya pun kini
tinggal di luar kota. Hidup sorangan dl rumah gedongan, si mbah
rupanya kesepian.
Tanpa tedeng aling-aling Janda kaya itu minta bantuan comblang
untuk mencarikan suami baginya. Sekitar sepuluh peminat
menjajaki - dan mereka mundur. Nenek Kasiyem belum putus asa.
Tiap malam ia bersemedi memusatkan pikiran minta bantuan roh
suaminya. Hingga pada suatu malam ia bermimpi dapat sebilah
keris. "Dalam kepercayaan Jawa, keris itu lambang laki-laki,"
kata Kasiyem yang percaya mimpi itu sebagai restu untuk bersuami
dari mendiang suaminya.
Jantan yang datang kemudian tak kepalang tanggung, seorang
perjaka berusia 24 tahun. Djito namanya, berasal dari Desa
Karang Tengah, Blitar juga. Si pemuda sudah telanJur menyatakan
setuju mengawini Kasiyem sebelum melihatnya. Akhir Maret lalu
Kasiyem dan Djito sepakat menikah.
Di hari baik itu pun tata cara peradatan dilakukan. Djito
diantar keluarganya. Penghulu pun siap. Namun pernikahan gagal,
karenaJiyo, 60 tahun, adik Kasiyem yang sedianya jadi wali, tak
mau datang: mogok karena tak disediakan uang Rp 30 ribu. Jiyo
perlu duit itu untuk memperbaiki rumah gedeknya. Sekalipun belum
resmi menikah, Djito sudah tinggal di rumah Mbah Kasiyem. Samen
leven, kata orang. Mulanya pemuda nganggur itu berperawakan
ceking, kini mulai gemuk. Ia tak kerja apa-apa, sebab Mbah
Kasiyem melarannya bekerja. Malahan pemuda buta huruf itu
dibelikan sepeda motor dan kalung emas.
Bagaimana kalau Djito jatuh hati pada wanita lain? Begitu
suara-suara tetangga Mbah Kasiyem. "Tidak, Mas Djito setia
sekali kok," sahut si Mbah. Lalu ada lagi tetangga yang usil
nyeletuk: "Ah, mosok. Apa dia cuma mau kawin sama sepeda motor?"
Rupanya di antara penduduk desa itu ada yang tak bisa melihat
orang lain senang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini