BELAKANGAN ini kamar tahanan polisi di Kecamatan Raya,
Simalungun, "hidup" oleh tawa dan teriakan dua orang anak. Llah
bergurau, Jan dan saudara sepupunya, Mul - keduanya berumur 8
tahun tertidur di dipan dalam sel. Seperti di rumah saja
layaknya. Padahal kedua anak dari Desa Tanggoranlogo itu
mendapat tuduhan gawat: membunuh teman sendiri gara-gara uang Rp
50.
Yang dibunuh tak lain Hadi Suhamto Damanik, 7 tahun, teman
sekolah dan sepermainan. Mayat Hadi ditemukan, Sabtu dua pekan
lalu, dalam kubangan kerbau di tengah sawah. Baju sekolah masih
melekat di badannya. Tapi, buku dan peralatan sekolah lainnya,
entah tercecer di mana.
Cerita tentang terbunuhnya Hadi nyaris tak bisa dipercaya. Anak
pemalu kelas dua SD itu tak kunjung pulang dari sekolah. Padahal
kata ayahnya, Amus Damanik, "dari sekolah dia biasanya langsung
pulang ke rumah." Pencarian dilakukan sampai malam hari.
Orang-orang menoleh kepada Parlin Purba, 8 tahun, yang biasa
pulang sekolah bersama Hadi. Mula-mula, anak itu geleng kepala,
bilang tidak tahu. "Di jalan kami berpisah karena saya mampir ke
ladang," katanya. Tapi, terlihat dari matanya, kentara sekali ia
menyembunyikan sesuatu. Setelah dibujuk, diiming-iming uang Rp
1.000, baru dia mengaku bahwa Hadi telah "dikerjai Jan dan Mul".
Parlin akhirnya memang menjadi satusatunya saksi dalam perkara
ini. Usai sekolah, katanya, ia dan Hadi berjalan pulang bersama.
Tiba-tiba muncul Jan dan Mul (singkatan nama mereka). Mul, yang
bertubuh agak gemuk dan bersorot mata tajam, langsung
mencengkeram baju Hadi sambil menyergah: "Bayar utangmu!" Di
sebelahnya Jan, yang bertubuh kurus, siap memukul.
Hadi, begitu cerita Parlin, ketakutan setengah mati. Ia dapat
melepaskan diri dari cengkeraman Mul, dan terus mengambil
langkah seribu, menuju bukit yang penuh semak dan pepohonan.
Kedua lawannya mengejar. Parlin menyusul dari jarak sekitar 10
meter. Ternyata Hadi tak bisa jauh berlari dan bersembunyi. Anak
malang itu pun, yang memang penakut seperti dikatakan ayahnya,
dihajar bergantian oleh lawannya. Sedikit pun ia tidak mencoba
melawan - seperti disaksikan Parlin.
Hadi terduduk lemas, tak begitu lama, setelah kepalanya
dibenturkan beberapa kali ke pohon alpukat. Parlin, begitu
tuturnya, sebenarnya sudah mencoba melerai. Tapi dia malah
diancam: "Jangan kau tolong dia, nanti kau yang kami kerjai!"
Parlin segera berlari pulang.
Kesaksian Parlin, tidak dibantah Jan maupun Mul, yang sejak dua
pekan lalu berstatus tahanan. Kepada polisi, keduanya bahkan
bercerita, setelah Hadi lemas tak berdaya - mungkin pingsan -
mereka seret ke tengah sawah. Kebetulan di sana ada bekas
kubangan kerbau, dan tubuh korban pun dibenamkan di situ.
"Kami memang telah membunuhnya," kata Jan dan Mul kepada TEMPO
pekan lalu, tanpa merasa bersalah. Menurut Mul, temannya yang
mereka habisi itu, sering tidak mau membayar taruhan bila
bermain kelereng. "Utang" Hadi, menurut Mul sebesar Rp 50.
Sedangkan Jan, tidak senang kepada korban, "karena sering
dituduh mencuri jagung." Sebab itu mereka sepakat untuk memberi
pelajaran kepada Hadi. "Tapi telanjur . . . Kasihan Hadi," kata
Mul.
Jan, Mul, juga Hadi di SD Negeri Pematang Raya, Tanggoranlogo,
dikenal sebagai anak yang tidak banyak ulah. Paling tidak mereka
belum pernah kedapatan berkelahi atau berbuat onar. "Tapi
ketiganya memang bodoh semua," kata Krista Girsang, kepala
sekolah.
Barangkali karena kebodohannya itulah Jan dan Mul, kedua
tersangka cilik itu, tetap riang dan tidak punya perasaan takut
sedikit pun ketika diperiksa polisi. "Mereka menganggap ditahan
itu seperti pindah tidur saja," kata Komandan Kepolisian
Kecamatan Raya, Pakpahan, sambil geleng kepala. "Padahal,"
katanya lagi, "anak saya bisa tcrkencing-kencing kalau melihat
polisi yang belum dikenal."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini