Pengacara senior Muhammad Assegaf seperti menemukan energi baru. Setelah hampir satu jam meladeni siaran langsung wawancara di sebuah radio swasta, Senin pekan lalu ia ngebut ke Markas Besar Polisi di kawasan Blok M. Di sana telah berkumpul rekannya sesama pengacara yang tergabung dalam Tim Pembela Kasus Abu Bakar Ba?asyir. Mereka sepakat bertemu untuk mendesak agar Polri membebaskan K.H. Abu Bakar Ba?asyir, pimpinan Pondok Pesantren Ngruki, Sukoharjo, yang sejak April lalu mendekam di Penjara Cipinang. ?Polisi menggunakan Undang-Undang No. 16/2003 itu untuk menahan Abu Bakar Ba?asyir. Jadi, sekarang dia harus dibebaskan,? ujar Assegaf.
Sampai akhir pekan lalu polisi memang belum mengabulkan tuntutan Assegaf. Kepolisian, seperti dikatakan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Irjen Pol. Paiman, sedang sibuk menyusun sejumlah ?jurus? untuk mengantisipasi keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang No. 16/2003. Ba?asyir sendiri, selain diperiksa lantaran tuduhan pelanggaran Undang-Undang Keimigrasian, belakangan juga diperiksa karena ditengarai terlibat kasus peledakan bom pada 12 Oktober 2002 itu. ?Yang jelas, kami bisa memakai undang-undang pidana untuk menangkap pelaku teror,? ujar Paiman.
Pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jugalah yang bakal dijeratkan polisi kepada empat orang yang kini mendekam di sel tahanan Polda Bali. Sejak sebulan lalu, kepolisian Bali memeriksa Sunarto, Ruslan, Rahmat Puji Prabowo, dan Usman Binsef alias Fahim yang diduga keras terlibat pengeboman yang menelan korban nyawa 202 orang itu. Menurut juru bicara Polda Bali, Kombes Pengasihan Gaut, para warga Jawa Tengah itu diduga ikut menyembunyikan Dr. Azahari dan Noordin M. Mereka berdualah tokoh yang disebut-sebut sebagai otak peledakan sejumlah bom di Sumatera, Jawa, dan juga Bali. ?Kalau tak bisa dengan Undang-Undang Teroris, alternatifnya adalah KUHP atau Undang-Undang Darurat,? kata Kepala Polda Bali, Irjen Pol. I Made Pastika.
Tak hanya Assegaf yang ?menggugat? setelah Jumat dua pekan lalu Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang No. 16/2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2/2002 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom Bali. Tuntutan senada diteriakkan pula oleh Tim Pengacara Muslim, gabungan sekitar 30 pengacara yang secara sukarela membela mereka yang dituduh terlibat kasus bom Bali.
Menurut Luthfie, salah satu anggota tim itu, konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi sangat luas, yakni semua proses peradilan mereka yang didakwa pelaku dan terlibat bom Bali harus dimulai lagi dari awal. Ini berarti, kata dia, termasuk Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron, yang semuanya sudah divonis mati dan kasasinya ditolak. ?Mereka tidak harus dilepaskan, tapi proses hukumnya harus diulang dari awal,? ujarnya.
Soal akibat hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi itu, Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra tak sependapat dengan Luthfie. Menurut Yusril, pembatalan Undang-Undang No. 16/2003 tidak akan mempengaruhi mereka yang sudah mendapat keputusan hukum berkekuatan tetap (in kracht van gewijsde). Artinya, Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Gufron tetap harus dieksekusi mati, kecuali mereka mempunyai novum?bukti baru?lalu mengajukan peninjauan kembali (PK).
Tim Pengacara Muslim (TPM) sampai kini memang belum mengajukan PK. ?Kami sedang mempersiapkan,? ujar A. Wirawan Adnan, anggota TPM yang menjadi pengacara Amrozi, Samudra, dan Ali Gufron. Mereka menilai keputusan Mahkamah Konstitusi itu adalah novum, atau bukti baru, yang bisa digunakan sebagai peluru untuk membebaskan kliennya.
Menurut Luthfie, pihaknya berpijak pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 263. Di situ disebut siapa pun diberi kesempatan mengajukan PK jika terdapat keadaan baru. ?Keadaan baru ini bisa berupa hukum atau peristiwa hukum,? kata Luthfie. Namun, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan menolak penafsiran novum seperti itu. Menurut Bagir, novum adalah sesuatu yang sudah ada pada saat pemeriksaan, tapi tidak terungkap dalam pemeriksaan. ?Jadi, bukan sesuatu yang baru ditemukan, lantas kemudian dijadikan novum,? kata Bagir.
Sementara Samudra ataupun ?the smiling bomber? Amrozi kecil kemungkinan ketiban untung atas pembatalan undang-undang tersebut, jalan cerita bisa berbeda bagi terdakwa yang kasusnya belum diputus di tingkat banding. Di tingkat ini, bisa saja para terhukum kasus bom Bali bakal menghirup udara bebas. Itu akan terjadi bila para hakim menolak perkara atau putusan dari pengadilan sebelumnya. ?Begitu dakwaan jaksa adalah dakwaan tunggal yang hanya berdasar Undang-Undang Terorisme, terdakwa harus bebas demi hukum,? ujar pakar pidana dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Aji. Menurut Indriyanto, jika jaksa hanya melakukan dakwaan tunggal, ?Itu berarti jaksanya sangat teledor,? ujarnya.
Sampai kini ada 33 kasus berkaitan dengan bom Bali yang ditangani Pengadilan Negeri Denpasar. Dari jumlah itu, 25 kasus sudah berkekuatan hukum tetap, dua kasus di tingkat kasasi, dua di tingkat banding, dan dua lainnya sudah diputus di tingkat pengadilan negeri. Selain vonis hukuman mati seperti dialami Amrozi, Imam Samudra, dan Muchlas alias Ali Gufron, rata-rata mereka dijatuhi hukuman penjara 3 sampai 20 tahun. Tuduhannya beraneka ragam. Dari yang seram seperti merampok untuk biaya ?proyek? bom Bali, hingga yang ?ringan? seperti karena menemani mencari kos. Yang terakhir ini, misalnya, menimpa Makmuri. Lelaki ini divonis tujuh tahun penjara karena andilnya, antara lain, ikut mencarikan kos untuk Ali Gufron.
Persoalan serius memang bisa muncul jika mencermati tuduhan yang ditimpakan pada mereka. Dari 33 kasus yang sudah disidangkan, ternyata sebagian besar dakwaan jaksa hanya bersandar pada pelanggaran berbagai pasal Undang-Undang No. 16/2003. Tak ada tuduhan berlapis seperti, misalnya, melanggar Undang-Undang Darurat atau KUHP. ?Hanya satu yang dilapisi dengan Undang-Undang Darurat, yaitu Ali Gufron,? ujar A. Wirawan Adnan. Nah, jika hakim menolak dakwaan yang hanya berdasar Undang-Undang No. 16/2003, itu berarti sebagian besar para terdakwa akan bebas.
TPM sebenarnya sejak awal sudah menolak penggunaan Undang-Undang Terorisme. Saat Imam Samudra diajukan ke ruang sidang pertama kali pertengahan tahun lalu, misalnya, TPM sudah memperingatkan hakim agar tidak menggunakan Undang-Undang No. 16/2003. ?Aparat polisi dan kejaksaan ketika itu juga terlalu PD (percaya diri) menggunakan undang-undang itu. Mereka tidak menggunakan tuduhan berlapis,? kata Adnan.
Pertanyaannya, apakah jika sudah ?bebas demi hukum? kelak para terpidana bom Bali itu bisa dijerat kembali dengan undang-undang lain. Di mata Indriyanto, sesuai dengan asas hukum ne bis in idem?seseorang tak bisa diadili dengan perkara yang sama untuk kedua kalinya?tak mungkin ?menjerat? mereka. ?Menurut saya, memang persoalan ne bis in idem ini yang akan menjadi perdebatan nanti,? kata Indriyanto.
Tampaknya, sejumlah PR berat bakal dihadapi para penegak hukum pasca-pembatalan Undang-Undang No. 16/2003 itu. Tak hanya masalah seputar ne bis in idem atau definisi novum yang berdampak bebasnya terpidana bom Bali, tapi juga upaya lanjutan penuntasan kasus bom yang banyak pelakunya masih belum terjerat aparat itu.
Yusril Ihza Mahendra, misalnya, sudah membayangkan betapa sulitnya menjerat mereka yang terlibat bom Bali jika memakai KUHP. Alasan Yusril, KUHP hanya bisa menjerat aktor intelektualnya. ?Jaringannya tidak,? kata Yusril. Tapi, Indriyanto tak sepesimistis Yusril. ?Untuk menangkap jaringannya, bisa menggunakan Pasal 55 atau 56 KUHP,? kata Indriyanto menyebut pasal yang bisa ?menyeret? mereka yang diduga ikut serta atau membantu melakukan tindak pidana itu.
L.R. Baskoro, Hanibal, dan Martha W. (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini