Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang penggunaan Undang-Undang Antiterorisme pada peristiwa peledakan bom Bali mendapat pujian sekaligus kecaman.
Pemerintah, di antaranya Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra, mengatakan keputusan itu membuat Indonesia jadi kehilangan pijakan dalam memberantas terorisme. Di ujung yang lain, MK dipuji karena telah mengedepankan asas keadilan dan hak asasi manusia.
Ketua MK Jimly Asshiddiqie tenang-tenang saja. Katanya, lembaga yang ia pimpin telah membahas masalah ini dan memperhitungkan berbagai aspek yang bisa muncul akibat pembatalan itu. Berikut ini penjelasan Jimly kepada wartawan TEMPO Hanibal W.Y. Wijayanta dan Sukma N. Loppies pada Selasa pekan lalu.
Apakah pembatalan UU No. 16/2003 itu berarti seluruh UU Antiterorisme tidak berlaku lagi?
Itu salah persepsi. Asas retroaktif yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 16 itu yang dipersoalkan. Kita memang harus menegakkan prinsip-prinsip yang mulia. Tapi upaya mewujudkan cita-cita mulia itu tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak mulia. Bahayanya jauh lebih besar dan bisa menjadi preseden buruk.
Apa landasannya?
Putusan Mahkamah Konstitusi sudah memperdebatkan semua mazhab berpikir di dunia. Kami sudah membaca semua dokumen, konvensi internasional, literatur, mazhab pemikiran di Amerika, di Eropa Kontinental. Karena itu, putusan kami sangat elaboratif. Masing-masing hakim melakukan riset dengan dibantu para asistennya.
Termasuk soal pengadilan Nuremberg (pengadilan terhadap pemimpin Nazi pasca-Perang Dunia II)?
Tidak hanya itu. Termasuk soal kasus-kasus perdata. Asas retroaktif itu memang tidak mutlak. Retroaktif bisa dipakai pada beberapa hal. Pertama, pada kasus yang bukan pidana. Kedua, pada kejahatan luar biasa. Kejahatan luar biasa mengacu pada konvensi Roma (kejahatan genosida, hak asasi manusia, perang, dan agresi). Di luar itu, tidak bisa. Semua sudah kami baca.
Hakim MK membahas dan mengkaji referensi yang sama, tapi kenapa ada dissenting opinion?
Karena cara berpikir orang berbeda-beda. Mazhab berpikir ada yang liberal, ada yang konservatif. Itu kan biasa. Jadi, sepanjang perbedaan bisa diterangkan secara metodologis, tak jadi soal. Kalau bisa, jangan terjadi perbedaan karena kepentingan. Tapi karena kesetiaan dalam metodologi berpikir.
Berapa kali majelis Mahkamah Konstitusi bersidang?
Lama. Ini kan perkara yang sebelum Mahkamah Konstitusi berdiri sudah didaftarkan di Mahkamah Agung. Ini perkara limpahan. Sekiranya kami mau main hantam kromo dan mau cepat-cepatan, sudah dari dulu selesai. Tapi kan kami harus matang betul membahas ini. Sambil memperhitungkan juga berbagai aspek yang berkaitan dengan.... (Jimly berhenti bicara). Enggak usah saya singgunglah. Tapi kami tahu dampaknya dan sudah kami perhitungkan.
Bagaimana dampak putusan ini terhadap para terpidana kasus bom Bali?
Kami tidak boleh mencampuri urusan pengadilan, karena itu menyangkut independensi majelis hakim yang menangani. Namun sebenarnya hal ini tidak perlu menimbulkan kebingungan.
Bagaimana dengan reaksi internasional?
Pembatalan ini tidak ada hubungannya dengan persoalan antara Indonesia dan negara asing, negara berkembang dan negara maju, bangsa Timur dan bangsa Barat, atau lebih spesifik lagi antara Islam dan non-Islam. Ini perbedaan cara berpikir antara politisi dan hakim. Legal will of thinking berbeda dengan political will of thinking.
Maksudnya?
Politisi di seluruh dunia itu sama: mau mudahnya saja. Hantam kromo. Tapi cara berpikir hakim tidak bisa begitu. Contohnya, hakim Mahkamah Agung di Amerika punya aturan yang berbeda dengan langkah Presiden Bush mengenai tahanan di Guantanamo. Karena hukum yang tertinggi, para politisi seharusnya tunduk pada hukum. Itu ciri peradaban. Kami pun berharap politisi di Indonesia sama. Jangan mau mudahnya saja.
Lalu bagaimana jika putusan ini masih dipertanyakan para aparat hukum?
Kita sudah membentuk sebuah mahkamah untuk mengawal konstitusi, maka keputusan yang dibuat mahkamah ini harus dihormati. Bukan hanya dengan rasa hormat, tapi juga dengan sikap tunduk. Itulah inti supremasi. Jadi, kalau kita pandai membuat dan pandai menghormati keputusan yang kita buat dan pandai pula melaksanakan keputusan yang kita buat, insya Allah, orang lain pun akan hormat kepada kita. Ukurannya pun jelas, keadilan yang universal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo