Wanita seusia Tariyem, 71 tahun, harusnya lebih banyak berada di rumah. Namun, di usia magribnya, ibu delapan anak ini?di antaranya terpidana bom Bali Amrozi, Ali Imron, dan Ali Gufron?masih harus menyiangi rumput di antara rerumpunan jagung. Kesibukan merawat sepetak lahan di Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur itu dilakoninya setiap hari untuk membunuh sepi.
Tak bisa dielakkan, setiap kali Tariyem menatap cucu-cucunya, bayangan ketiga putranya yang kini mendekam di sel dingin dengan kawalan ketat polisi selalu melintas. Perjalanan waktu telah mengajarinya berserah. Dia tahu bahwa dua anaknya, Amrozi dan Ali Gufron, kini sedang menanti eksekusi hukuman mati. Adapun Ali Imron harus menghabiskan sisa hidupnya di dalam penjara. ?Dungakno Mbahe kuwat momong putu (Doakan Mbah kuat momong cucu),? katanya kepada TEMPO.
Berita besar keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Undang-Undang No. 16/2003 tentang penggunaan Undang-Undang Antiterorisme terhadap pelaku bom Bali tak memberikan harapan baru bagi Tariyem.
Mengharap ketiga anaknya bisa bebas nyaris mustahil. Para pengacara terdakwa bom Bali memang masih berkeras mengajukan peninjauan kembali (PK) melalui keputusan MK itu. Tapi Tariyem sudah mengubur impian suatu hari nanti anak-anaknya akan muncul di balik pintu rumahnya.
Bukan hanya Tariyem yang tidak terusik dengan berita yang menjadi perhatian dunia ini. Menantunya juga tidak banyak berharap keputusan Mahkamah Konstitusi itu bisa mengembalikan suami mereka. Mereka memilih diam dan pasrah pada takdir.
Mungkin sikap dingin keluarga trio Tenggulun bersaudara itu juga disebabkan mereka tidak paham benar situasi yang sedang terjadi. Mohammad Chozin, kakak tertua sekaligus juru bicara keluarga itu, mengaku mendapat kabar keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi itu dari televisi dan koran. Namun dia tidak tahu pasti, apa arti dan akibat dari keputusan itu bagi adik-adiknya. ?Saya tahunya hanya samar-samar,? kata Chozin, yang juga Kepala SDN Tenggulun.
Jika saja putusan vonis yang menimpa trio Tenggulun bisa dibatalkan lewat peninjauan kembali seperti yang dimuat koran, Chozin berharap kelak hukuman bagi adiknya bisa lebih ringan. ?Kalaupun manusia menentukan adik saya dihukum mati, jika Allah belum menghendaki, kematian tidak akan menjemput adik saya,? katanya.
Suasana dingin juga tampak di rumah keluarga Imam Samudra, salah satu terpidana mati dalam kasus pengeboman Bali ini. Sejak Imam tertangkap, keluarga yang tinggal di Serang, Banten, ini mengabaikan semua berita seputar kasus bom bali. Bahkan kabar dibatalkannya UU Antiterorisme itu pun baru diketahui saat TEMPO bertandang ke rumahnya, Kamis pekan lalu.
Saat mendengar kabar tersebut, tidak tampak perubahan emosi di raut wajah mereka. ?Vonis untuk Imam Samudra penuh dengan rekayasa politik,? kata Lulu Jamaludin, adik kandung Samudra. Menurut Lulu, saat Imam dijatuhi vonis mati, keluarga sempat kaget dan tidak bisa menerima kenyataan itu. Namun kini mereka memilih berserah pada keadaan.
Kalaupun kini ada pintu hukum baru yang terbuka, Zakiyah Derajat, istri Imam, mengharapkan adanya keringanan hukuman terhadap vonis yang dijatuhkan kepada suaminya. Harapan yang sama disampaikan Embay Badriyah, ibu Imam Samudra. ?Saya sangat berharap ada ampunan dari pemerintah buat anak saya,? katanya datar.
Reaksi yang berbeda muncul dari keluarga korban peledakan di Bali. Keputusan Mahkamah Konstitusi meruapkan emosi mereka. Seperti yang ditunjukkan Haji Bambang, yang dikenal karena keberaniannya bersama kelompok Fardhu Kifayah ikut mengevakuasi korban pada peristiwa pengeboman dua tahun lalu.
Di depan puluhan tokoh masyarakat Bali, Bambang menangis tersedu-sedu dan mengaku sulit tidur sejak keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi itu. ?Keputusan itu merendahkan pengorbanan anak-anak dan janda korban bom,? katanya, Jumat lalu di Gedung DPRD Bali. Reaksi senada diungkapkan tokoh-tokoh Bali yang hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka merasa kerugian dan derita masyarakat Bali yang ekonominya terpuruk sejak pengeboman itu kurang dihargai.
Pertemuan itu akhirnya sepakat mengajukan petisi kepada Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden. Mereka meminta para petinggi negeri agar mencopot lima hakim Mahkamah Konstitusi yang meluluskan keputusan tersebut. Selain itu, mereka meminta agar keberadaan mahkamah ini ditinjau kembali. Wewenang mahkamah ini juga diminta untuk dibatasi hanya untuk menguji dan mengeluarkan fatwa dan pembatalan hanya untuk peraturan di bawah peraturan pemerintah.
Tokoh-tokoh yang hadir dalam pertemuan sepakat memanggil I Dewa Gede Palguna, salah satu hakim Mahkamah Konstitusi asal Bali, yang dalam pengambilan keputusan menolak pembatalan UU Antiterorisme itu. ?Ia akan kita minta penjelasan mengenai proses keluarnya keputusan itu dan apa konsekuensinya,? kata Nengah Dasi Astawa, yang memimpin pertemuan itu. Tetapi mereka juga akan mengusahakan adanya hakim dari mahkamah tersebut yang menyetujui pembatalan Undang-Undang Antiterorisme itu agar mendapat informasi yang seimbang.
Para penggugat itu kini sudah ancang-ancang untuk terus memantau perjalanan hukum setelah keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Karena bisa jadi para terpidana bom Bali akan mengajukan peninjauan kembali (PK) keputusan kasus mereka. Atau mereka yang masih dalam pengajuan kasasi bisa dikabulkan permohonannya dengan memasukkan keputusan Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum para hakim di MA
Upaya hukum tengah dipersiapkan tim pengacara para pelaku bom Bali yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim. Menurut salah satu anggotanya, Achmad Michdan, dasar hukum yang dipakai Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya sebenarnya sudah mereka cantumkan dalam eksepsi para terdakwa. Namun hakim Pengadilan Negeri Denpasar saat itu mengabaikannya.
Kini tim pengacara ini akan segera mengupayakan pembebasan bagi semua tersangka dan terpidana. Sebab, keputusan menahan mereka dengan dasar UU Antiterorisme menjadi tidak lagi berlaku setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan undang-undang tersebut. Michdan memakai analogi Undang-Undang Subversif yang dicabut saat pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Saat itu orang-orang yang ditahan dengan dasar undang-undang tersebut langsung dibebaskan. ?Kali ini juga harus mendapat perlakuan yang sama,? kata Michdan.
Namun, bagi Imam Samudra, vonis hukuman mati baginya bukan sesuatu yang menakutkan. Dalam wawancaranya dengan wartawan TEMPO Nezar Patria akhir tahun lalu, Imam mengaku siap menghadapi hukuman mati itu. ?Tak ada keraguan dan ketakutan dalam hati saya,? kata Imam. Sikap serupa juga ditunjukkan oleh trio Tenggulun bersudara.
Entah apa yang akan terjadi dalam hari-hari mendatang. Tariyem pun belum berani bermimpi ketiga putranya akan pulang dan bersujud mencium kakinya. Sementara rumput-rumput liar yang terus tumbuh di antara tanaman jagung masih harus dibersihkannya. Sendiri.
Agung Rulianto, Sunudyantoro (Lamongan), Faidil Akbar (Banten), Rofiqi Hasan (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini