SIMON Quayle tak kuasa menyembunyikan kekecewaannya mendengar berita dari televisi. Apa lagi kalau bukan karena keputusan Mahkamah Konstitusi Indonesia yang membatalkan penggunaan Undang-Undang Antiterorisme terhadap terdakwa kasus bom Bali yang belum disidangkan. Maklum, tujuh anggota klub sepak bola Kingsley, Australia Barat, yang ia latih termasuk di antara 202 korban tewas dalam peledakan di Kuta dan Seminyak.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terasa tak adil bagi mereka. ?Jelas yang terjadi, tujuh kawan kami tewas, 20 luka-luka, dan total 202 orang tewas oleh bom itu. Ini sangat mengecewakan,? katanya dengan nada geram. Menurut Quayle, perkembangan terbaru kasus bom Bali akan lebih banyak menguak luka lama.
Di Sydney, Eric De-Haart, yang selamat dari serangan bom Bali, marah mendengar keputusan itu. Pemain rugbi dari Coogee Dolphins League Club ini menyatakan keputusan MK itu akan membuat putus asa keluarga korban. ?Akan lebih banyak amarah dan frustrasi,? katanya.
Warga negara dan pemerintah Australia memang sangat berkepentingan dengan penanganan kasus bom Bali. Ini tak cuma karena negeri itu dalam satu malam kehilangan 80 warganya, di samping 60 korban luka-luka yang masih punya trauma?di antaranya ada yang luka bakarnya masih belum pulih benar atau ada yang harus memakai lengan palsu akibat amputasi. Bali bak beranda rumah sendiri bagi kebanyakan orang Australia. Pantai Kuta kayak kampung kedua bagi mereka.
Perhatian ekstra pemerintah Australia terhadap kasus bom Bali terlihat sejak bom meluluhlantakkan Sari Club di Jalan Legian, Kuta, dan melumatkan pengunjungnya pada pukul 10 malam, 12 Oktober 2002. Pemerintah Perdana Menteri John Howard segera menerbangkan tim medis ke Bali dan mengirim tim forensik untuk menelisik jasad-jasad gosong. Sembari melarang warganya mengunjungi Bali, ia menekan pemerintah Megawati agar menemukan dan menghukum orang-orang di balik serangan bom itu. ?Dia (Megawati) sudah berjanji kepada saya lewat telepon akan mengambil tindakan keras,? ujar Howard saat itu. Dia juga tak sungkan menagih Megawati agar melunasi janjinya menghabisi kelompok teroris?tak peduli apa pun ideologi dan agamanya.
Sejak saat itu, pemerintah Australia bak anjing penjaga pengusutan bom Bali, sembari menuai simpati dunia sebagai korban serangan teroris ?11 September Kedua?. Segenap mata, telinga, dan hati warga Australia mengikuti perkembangan pengusutan hingga putusan vonis mati bagi terpidana aktor utama bom Bali. Senyum Amrozi yang sangat terkenal itu mampu mengaduk-aduk emosi warga Benua Selatan.
Tak aneh, ketika MK menganulir penggunaan UU Antiterorisme terhadap sisa-sisa terdakwa kasus bom Bali, perdana menteri yang temperamental itu segera berjanji akan berupaya habis-habisan agar pelaku peledakan dihukum setimpal. ?Kami akan bekerja sama dengan pemerintah Indonesia dalam upaya ini,? ujarnya. Sedangkan Mark Latham, pemimpin Partai Buruh yang beroposisi, menyarankan agar Howard menggunakan semua jalur diplomatik.
Tapi orang di kantor Kementerian Luar Negeri Australia, Alexander Downer, membungkus rapi reaksi bosnya dengan ungkapan teknis hukum. ?Saya percaya betul bahwa para pelaku bom Bali akan menjalani hukuman yang layak. Kami sudah diberi tahu oleh Indonesia bahwa yang sudah divonis tetap akan menjalani hukumannya,? kata Downer. Tapi ia mengingatkan, Australia juga harus siap menghadapi kenyataan bahwa keputusan MK itu akan membuka ruang ketidakjelasan hukum, yang berpotensi menimbulkan masalah bagi kasus pelaku bom Bali lainnya.
Senada dengan Downer, kebanyakan korban hidup bom Bali dan keluarganya masih percaya kepada Dewi Keadilan. Jake Ryan, pemain sepak bola dari Southport, Queensland, salah satu korban terluka, percaya bahwa pelaku bom Bali tak akan lolos dari hukuman. ?Saya percaya, hukum apa pun yang digunakan untuk mengadili mereka, hukumannya akan sama beratnya,? ujar Ryan.
Adapun Jason McCartney, mantan pemain sepak bola kelompok Kangaroo dari Melbourne, mengaku bahwa rasa marahnya sudah terkuras habis. Namun ia percaya, apa pun yang terjadi, pelaku bom Bali tak akan lolos dari jerat hukum. Padahal korban selamat ini mengalami penderitaan tak tertanggungkan. Sebagian besar tubuh McCartney terselimuti luka bakar. Ia beruntung karena petugas medis Australia sigap menanganinya. Ia baru saja menjalani operasi pengaktifan gerak jari tangannya. Pengalaman buruk di Kuta dia tuangkan dalam buku After Bali. ?Saya sempat memberikan kesaksian dalam peradilan Amrozi. Waktu itu, saya merasakan itikad baik Indonesia untuk mengadili pelaku dengan layak,? katanya kepada Dewi Anggraeni, koresponden TEMPO di Melbourne.
Menurut McCartney, pandangannya lebih jernih pada kasus bom Bali karena ia sudah akrab dengan Pulau Kahyangan. Dalam usia 23 tahun, ia sudah 12 kali mengunjungi ?beranda? rumahnya itu. Ia tak lagi melihat tragedi bom Bali lewat kacamata hitam-putih. ?Saya sudah punya cukup waktu untuk merenungkannya.? Ia ingat, selama 45 menit di pengadilan, ia ingin sekali berserobok tatapan mata dengan Amrozi. ?Tapi dia tidak berani menatap saya. Saya rasa di dalam dirinya ada rasa takut dan kacau,? katanya.
Pendapat yang sama diungkap Rick Elliot, konsultan bisnis di Melbourne, yang luka di tubuhnya sudah sembuh tapi ia masih berusaha mengatasi trauma bom Bali. ?Saya mengerti bahwa suatu hukum tak bisa berlaku surut karena punya implikasi serius. Tapi saya tahu ada hukum lain yang bisa digunakan untuk mengadili mereka,? katanya. Lebih dari itu, Elliot percaya peradilan Indonesia bisa mengatasi masalah yang timbul dalam kasus hukum bom Bali.
Lebih menarik lagi reaksi Brian Deegan, hakim Pengadilan Negara Bagian Australia Selatan. Deegan kehilangan anak sulungnya, Joshua, dalam peristiwa bom yang dikutuk seluruh rakyat Indonesia itu. ?Tentu saja saya kecewa. Bisa Anda bayangkan, anak sulung saya menjadi korban mereka,? katanya menanggapi putusan MK. Tapi Deegan mengaku tidak kaget. Sebagai seorang yang kenal hukum, ia sejak semula menyimpan kekhawatiran melihat pengadilan di Bali menggunakan UU Antiterorisme yang berlaku surut. Deegan mafhum, UU Antiterorisme Indonesia merupakan produk perundangan baru dan belum pernah dicoba. Apalagi kala itu Indonesia mendapat tekanan cukup berat untuk segera menuntaskan proses pengadilan terhadap para pelakunya. ?Mungkin karena itu UU Antiterorisme digunakan, agar cepat,? katanya.
Apa sikapnya sekarang? ?Saya menunggu. Saya tidak mau terlalu berharap atau berspekulasi,? ujar Deegan. Dibandingkan dengan korban atau keluarga korban lainnya, Deegan lebih memahami situasinya. ?Jika saya sama sekali tidak punya kaitan emosi dengan kasus bom Bali, saya akan menyambut keputusan Mahkamah Konstitusi ini dengan optimistis. Sebab, ini tanda baik bagi perkembangan yudisial di Indonesia,? katanya. Tapi tak urung ia menanti dengan perasaan galau dan pertanyaan besar menggelayuti benaknya: bagaimana pengadilan di Indonesia mengatasi risiko ganda jika pelaku bom Bali berhasil dalam proses banding, lalu dijerat dengan undang-undang kriminal?
Namun pola pikir orang semacam Rick Elliot tak serumit cara berpikir Deegan. Elliot bahkan memperlihatkan sikap positifnya dengan berlibur di Bali selama dua pekan untuk mengatasi traumanya dan membuktikan bahwa Bali sekarang aman: ?Orang Australia tak perlu takut untuk berkunjung ke sana. Jika ada kesempatan, saya akan berkunjung lagi.?
Mungkin orang Australia masih akan ?mudik? ke ?kampung kedua?-nya. Tapi masih ada satu pertanyaan yang harus dijawab: akankah keputusan Mahkamah Konstitusi itu memperburuk hubungan resmi Indonesia dengan Australia, yang cukup sering dirundung masalah?
Raihul Fadjri, Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini