Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wulan Danoekoesoemo geram ketika di lini masa media sosialnya berseliweran meme dan lelucon yang terkait dengan sebuah kasus pemerkosaan yang sedang hangat pada 2011. Ia bersama beberapa temannya lalu mengadakan diskusi. "Fenomena yang saya temukan itu menggambarkan betapa parahnya kondisi sosial di masyarakat, yang menganggap kasus pemerkosaan sebagai peristiwa biasa, bahkan lelucon," kata Wulan, Kamis lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari diskusi itu, Wulan menemukan masalah lain yang tak kalah serius: banyak perempuan korban pemerkosaan dan kasus kekerasan atau pelecehan tak mendapat penanganan seperti seharusnya, baik secara hukum maupun medis dan psikis. Wulan, yang juga seorang psikolog klinis, resah melihat kondisi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan latar belakang keilmuannya, Wulan kemudian mengajak dua rekannya, Sophia Hage dan Driana Rini Handayani, membentuk kelompok untuk membantu para penyintas kekerasan seksual. "Tujuan utamanya adalah membantu menyembuhkan trauma para korban, tapi kemudian gerakan ini membesar dan aktif dalam berbagai kampanye antikekerasan."
Saat pertama kali hadir, organisasi yang diberi nama Lentera Sintas itu mencoba merangkul para korban kekerasan seksual untuk berbagi cerita. Di luar dugaan, acara pertama yang digelar pada pertengahan 2011 itu diminati banyak orang. Waktu itu, kata perempuan 38 tahun tersebut, memang belum ada lembaga di Indonesia yang fokus menjadi support group (kelompok dukungan) bagi para penyintas kekerasan seksual.
Sebelum ada Lentera, Wulan menyebutkan, mayoritas para penyintas memendam sendiri pengalaman buruknya. Padahal hal ini akan menghambat proses pemulihan trauma psikologi mereka. Keengganan penyintas untuk bercerita dapat dimaklumi. Sebab, untuk mengungkit kembali kenangan buruk itu sangatlah menyakitkan. "Ibarat luka lama yang sudah hampir kering, dikorek-korek kembali hingga berdarah."
Faktor lainnya, menurut Wulan, rata-rata penyintas kekerasan seksual malu untuk bercerita atau mengadu kepada orang lain. Sebab, masyarakat Indonesia begitu patriarkis sehingga para korban selalu ditempatkan dalam posisi salah. "Contohnya, korban pemerkosaan dianggap ikut bersalah karena cara berpakaian. Malah ada yang beranggapan korban ikut menikmati. Ini cara pandang yang sangat keliru," tuturnya.
Terapi pemulihan trauma yang diadakan Lentera bentuknya sederhana. Para penyintas dipertemukan dalam forum kecil beranggotakan maksimal 10 orang dan didampingi satu atau dua fasilitator. Pertemuan dilakukan secara tertutup dan rahasia untuk menjaga identitas serta membuat para korban merasa aman dan nyaman bercerita.
Sebetulnya, Lentera mempublikasikan acara pertemuan ini secara luas melalui akun Instagram, Facebook, ataupun Twitter mereka. "Tapi kami tak pernah menyebutkan lokasi acara," ujar Rhesya, salah seorang penyintas yang juga fasilitator Lentera. "Orang yang mau bercerita harus mendaftar melalui surel, dan lokasi pertemuan baru kami informasikan sehari sebelumnya."
Toh, dengan cara ini pun, peminatnya banyak. "Kami terpaksa membatasi pertemuan ini sebulan sekali dengan jumlah peserta terbatas," kata Rhesya.
Untuk meyakinkan para penyintas agar mau bercerita, fasilitator Lentera menyampaikan bahwa pemulihan sangat mungkin terasa berat dan menyakitkan. Namun itu bagian dari proses. Sebab, cara kerja otak bukanlah menghapus memori, hanya mengkompartemen sehingga memorinya tetap ada. "Yang coba kami bantu dalam pemulihan bukan melupakan yang terjadi, melainkan mereka tidak lagi tersakiti saat teringat akan kejadian buruk itu," tuturnya.
Selain menggelar pertemuan tertutup, sejak beberapa tahun lalu Lentera rutin berkeliling ke puluhan sekolah menengah pertama (SMP) dan atas (SMA) di Jabodetabek. Mereka mengkampanyekan topik relasi yang sehat dan edukasi remaja untuk mengenali bentuk-bentuk kekerasan seksual. "Kami mengedukasi remaja untuk lebih sadar akan tubuh mereka sendiri. Ketika punya pacar, tidak otomatis harus mau ketika dipeluk, digandeng, dan dicium. Penting bagi mereka untuk bisa bilang tidak," kata Wulan.
Lentera juga meluncurkan kampanye #MulaiBicara pada 2016 untuk mencegah tindak kekerasan seksual. Kampanye tersebut dirancang dengan luwes sehingga bisa diadopsi siapa saja, baik oleh perempuan maupun laki-laki, dengan latar belakang apa pun. "Kampanye ini kami lakukan di kantor-kantor dan kalangan profesional."
Wulan menyebutkan, meski kegiatan Lentera berfokus pada perempuan, bukan berarti kaum pria tak dilibatkan. Justru, menurut dia, peran laki-laki sangat besar untuk menyetop tindakan pelecehan ataupun kekerasan seksual di masyarakat. "Laki-laki bisa berperan aktif dengan bersikap tegas terhadap tindakan pelecehan perempuan," ujarnya. Contohnya, kata Wulan, seorang pria bisa mengingatkan temannya yang menggoda perempuan dengan cara bersiul atau catcalling. "Laki-laki biasanya lebih mendengarkan opini temannya sesama laki-laki."
Selain Lentera, di Jakarta terdapat Yayasan Pulih, yang mendampingi para korban kekerasan. Malah, menurut Wulan, ada beberapa penyintas di Lentera yang dirujuk ke Yayasan Pulih karena traumanya sangat berat. "Yayasan Pulih memberikan layanan pendampingan one on one antara penyintas dan psikolog," tutur Wulan.
Ada pula Lembaga Bantuan Hukum Apik, yang aktif mengadvokasi para penyintas kekerasan seksual secara hukum. Tak hanya memberikan advokasi, LBH Apik juga beberapa kali menggelar pentas teater yang melibatkan para penyintas. Teater para penyintas ini menggunakan naskah yang diambil dari cerita nyata para penyintas. PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo