Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU hari pada 1963. Langkah Benedict Anderson terhenti di sebuah pasar loak di Surabaya. Mata Indonesianis asal Cornell University, Amerika Serikat, itu terpaku pada satu buku usang: Indonesia dalem Api dan Bara terbitan Malang tahun 1947. Buku karangan seorang penulis bernama samaran Tjamboek Berdoeri itu begitu memikat sang profesor. "Ketika membacanya, saya merasa bahwa buku itu memang luar biasa, bisa membuat saya kadang ketawa terpingkal-pingkal dan kadang-kadang menangis," kata Ben dalam pengantar buku tersebut ketika diterbitkan kembali pada 2004.
Indonesia dalem Api dan Bara ditulis dalam bahasa Melayu Tionghoa Pasaran yang dibumbui oleh bahasa Belanda dan Jawa. Isinya menceritakan tentang sejarah dinamika sosial-politik masyarakat Malang, Jawa Timur, pada masa revolusi (1941-1947) yang dialami langsung oleh penulisnya. Buku ini menyuguhkan kedalaman deskripsi dari sudut pandang orang yang langsung terlibat dalam pusaran sejarah dan dituturkan dengan bahasa sehari-hari saat itu.
Buku setebal 222 halaman yang menggunakan kertas merang ini juga memberi gambaran tentang bagaimana etnis Tionghoa menjalani kehidupan di tengah gejolak revolusi. Di bagian akhir buku ini, misalnya, dikisahkan kala itu rumah-rumah di kawasan pecinan di Kota Malang dibumihanguskan. Para penghuninya dibawa ke sebuah tempat untuk diinterogasi. Mereka yang dicurigai sebagai mata-mata musuh langsung dibantai.
Di masanya, buku ini memang tidak populer dan hanya beredar di kalangan terbatas. Namun Ben sangat tertarik pada bahasa yang dipakai penulis buku itu karena lugas, berwawasan luas, dan detail bercerita tentang suatu peristiwa, di samping jiwa ugal-ugalan dan kenakalan si penulis tampak jelas di situ. Setelah membaca, Ben malah sangat penasaran terhadap penulisnya karena di dalamnya cuma tertulis dibuat oleh Tjamboek Berdoeri dan ada sedikit kata pengantar dari Kwee Thiam Jing: "Oleh penoelis dari ini boekoe saja diminta boeat perkenalken Indonesia dalem Api dan Bara pada Pembatja."
Ben pun mencoba menguak misteri di balik nama Tjamboek Berdoeri. Namun, sebelum berhasil mengungkapnya, ia dipaksa harus meninggalkan Indonesia karena dicekal rezim Orde Baru. Sepanjang sekitar 27 tahun, Ben pun menyimpan teka-teki itu. Dan kesempatan membongkar identitas penulis Indonesia dalem Api dan Bara baru terbuka kembali pada 1999.
Bersama kawan-kawannya di Indonesia, Ben membentuk tim peneliti untuk mengungkap jati diri Tjamboek Berdoeri. Ikut bergabung dalam tim adalah Arief W. Djati, aktivis buruh di Yayasan Arek, Surabaya, dan peminat sejarah; Stanley Adi Prasetyo, jurnalis asal Malang dan peminat sejarah; Dede Oetomo, mantan murid Ben di Cornell dan dosen di Universitas Airlangga; juga Oei Hiem Hwie, distributor buku dan kolektor bahan bersejarah. "Tim kami ini ibarat intel Melajoe," kata Arief W. Djati.
Perburuan Tjamboek Berdoeri dimulai pada 2000. Mereka membaca buku Indonesia dalem Api dan Bara. Tim kemudian bergerak ke Malang. Mereka mendapat temuan awal: adanya dua penerbit di Malang pada 1940-an, yakni Paragon Press dan Perfektas. Mereka mencurigai Paragon Press sebagai penerbit buku itu.
Dari koleksi majalah Liberty milik Oei Hiem Hwie, mereka kemudian mencurigai seorang penulis bernama Pouw Khioe An, yang cukup terkenal di Malang, sebagai si Tjamboek. Ben juga mengecek dan mengumpulkan berbagai tulisan Pouw di perpustakaan Cornell dibantu Ben Abel. Tapi tulisan Pouw kurang nakal. Disimpulkan bahwa ia bukan si Tjamboek. Melalui teks buku itu, pada 2001 tim mencoba mengidentifikasi profil Tjamboek. Menurut Arief, dia orang berumur 20-40 tahun pada 1940-an, berpendidikan Belanda, dan pernah tinggal di Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, atau Bondowoso ditilik dari banyaknya dialek Madura.
Perburuan terus berlanjut. Dede Oetomo mengingat, pada 2002, dia bergabung lagi dan mereka berbagi tugas. Arief memetakan nama-nama tempat di Malang. "Dari gambaran Arief, saya dan Oei Him Hwie mencari rumah Tjamboek berada di sekitar Jalan Sulawesi (Celebestraat). Kami menelusuri kayak detektif," ujar Dede. Mereka mendatangi satu per satu pemilik rumah dan menemukan pemilik Paragon Press di sana. Tapi dia pun bukan orang yang dicari.
Mereka bertemu dengan dokter gigi Oei Boen Thong, yang ternyata pernah membaca buku itu. Dia menilai penulis seorang avonturir, berani, berpendidikan, dan tinggal di Malang. Si penulis berani keluyuran ketika situasi tengah bergejolak. Oei Boen Thong kemudian menghubungi kenalannya yang tinggal di Belanda. Dan kenalannya di Belanda itu menyebut Tjamboek Berdoeri tak lain adalah Kwee Thiam Tjing.
Meski begitu, Ben masih belum yakin. Ia lalu memeriksa koran-koran lama yang memuat tulisan Kwee Thiam Tjing. Ben menemukan koran Pemberita Djember, tempat Kwee pernah bekerja. Oei Hiem Hwie, yang membongkar majalah Liberty lama, menemukan sebuah tulisan Basoeki Soedjatmiko yang memuat profil Kwee Thiam Tjing. Hingga akhir November 2001, itulah informasi yang didapat.
Stanley Adi Prasetyo ingat, Ben lalu ingin menemui beberapa orang di Malang. Stanley menyarankan Ben menemui orang tuanya di Malang, yang cukup tahu tentang Malang tempo dulu. Orang tua Stanley juga bermarga Kwee. Ben meminta Stanley menanyakan kepada Oey Hay Djoen, tokoh penting Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Stanley lalu bertemu dengan Oey. "Oey juga bilang ada kemungkinan Tjamboek Berdoeri adalah Kwee Thiam Tjing."
Stanley kemudian menghubungi sejumlah nama dan mendapat informasi bahwa istri pelatih bulu tangkis asal Malang, Stanley Gouw, mungkin adalah anak Kwee Thiam Tjing. "Saya lacak dan ternyata ada nama Oma Margaret, satu-satunya anggota keluarga Tjamboek yang masih hidup." Stanley bertemu dengan Margaret. Oma Margaret memastikan bahwa Tjamboek adalah Kwee Thiam Tjing, dan ia menyimpan buku itu. Dia mengaku masih keluarga jauh Kwee Thiam Tjing. Oma Margaret menyarankan agar menghubungi dokter Liem.
Kabar mengejutkan datang dari istri dokter Liem di Jakarta bahwa dia kenal dekat keluarga Kwee dan mengatakan anak tunggal Kwee Thiam Tjing tinggal di Cinere, Depok. Nama anak itu: Kwee Hing Sien alias Jeanne. Stanley bersama Ben pun berangkat ke Cinere. Pada 2002, mereka bertemu dengan Jeanne. Jeanne mengakui, Tjamboek adalah ayahnya.
"Waktu itu saya diberi tahu istri dokter Liem bahwa ada doktor asal Amerika bernama Ben mencari saya. Saya waktu itu tidak tahu siapa Ben," ucap Jeanne, 86 tahun, kepada Tempo. "Ben senang sekali begitu ketemu keturunan Kwee. Dia banyak tanya tentang kehidupan Kwee, bagaimana masa tuanya," ujar Stanley, mengingat kembali pertemuan Ben dengan Jeanne.
Di rumah Jeanne, mereka mendapati potongan-potongan koran, tulisan-tulisan Tjamboek, dan karbon kopi dari tulisan untuk surat kabar Indonesia Raya. Ada juga uang honor dari Indonesia Raya. "Kami memastikan Kwee Thiam Tjing adalah Tjamboek. Ada tulisan Mochtar Lubis tentang Tjamboek," kata Stanley.
Peristiwa ini sangat menggembirakan Ben. Perburuannya sejak 1963 berakhir indah, meski dia kecewa tak sempat bertemu dengan penulis pujaannya, Tjamboek Berdoeri. Dia hanya menemukan anak semata wayang Tjamboek. "Dia begitu antusias, tanya kehidupan ayah saya di Malang, di Jember. Ben senang sekali melihat tulisan-tulisan ayah saya," ujar Jeanne, yang ditemui Tempo di rumahnya di Cinere, 15 Desember lalu.
Jeanne tak menyangka kertas-kertas yang mulai menguning dengan tulisan bertinta yang mulai luntur dan tak terurus baik itu merupakan "harta karun" yang dicari Ben selama empat dasawarsa. Dia mengakui selama itu tak menaruh perhatian terhadap buku yang ditulis ayahnya tersebut. Jeanne memperlihatkan kumpulan tulisan ayahnya dari sebuah koper kecil.
Dia pun mengizinkan Stanley dan Ben merapikan tulisan dan potongan koran ayahnya. Selama setahun, mereka merapikan arsip-arsip itu. Akhirnya Ben menerbitkan kembali buku itu pada 2004 dan 2010. Pada buku terbitan kedua, Ben memilih foto Tjamboek yang nangkring di sepeda motor bersama seorang perempuan sebagai gambar sampul.
Sekian lama tak berkabar, Ben diketahui Jeanne datang ke Indonesia dua pekan lalu. Biasanya, jika ke Jakarta, Ben selalu mengunjungi keluarga Jeanne atau setidaknya meneleponnya. Jeanne ingat, suatu ketika Ben berjanji ingin menerbitkan puisi-puisi serta buku Indonesia dalem Api dan Bara ke berbagai bahasa.
Jeanne pun menelepon Ben. Saat itu Ben sedang menuju Bandar Udara Soekarno- Hatta untuk terbang ke Surabaya. Di telepon, Ben—yang memanggil Jeanne dengan sebutan Tante Jeanne—berjanji akan mampir ke rumah Jeanne sepulang dari Jawa Timur. Ternyata percakapan di telepon itu percakapan terakhir Jeanne dengan Ben Anderson. Ben tak bisa mampir lagi.
Dian Yuliastuti, Moyang Kasih Dewimerdeka, Nurdin Kalim (Jakarta), Artika Rachmi Farmita (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo