Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dipaksa Tabah di Tanah Sabah

Buruh migran Indonesia mendapat perlakuan tidak manusiawi selama ditahan di rumah detensi imigrasi Sabah. Setidaknya 149 WNI diduga meninggal dalam tahanan sepanjang 2020-2022.

27 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja Migran Indonesia (PMI) bermasalah bersiap untuk turun dari truk Imigresen Malaysia saat tiba di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, 28 April 2022. ANTARA/Jessica Helena Wuysang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ribuan buruh migran Indonesia mengalami perlakuan buruk di tahanan imigrasi Malaysia.

  • Sedikitnya 149 pekerja migran Indonesia dilaporkan meninggal di tahanan imigrasi.

  • Mereka disiksa, harta bendanya dirampas, dan tidak mendapat layanan kesehatan.

JAKARTA – Menjadi penghuni rumah detensi imigrasi (Depot Tahanan Imigresen/DTI) Papar Kimanis, Sabah, Malaysia, adalah kenangan terburuk bagi Rose—bukan nama sebenarnya. Di tempat itu ia dan ribuan buruh migran Indonesia mendapat perlakuan tidak manusiawi. Bahkan ayahnya meninggal dalam kondisi yang mengenaskan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rose bersama suami dan kedua orang tuanya tinggal di Sabah sebagai buruh migran. Tiga anaknya turut dibawa ke sana. Bibinya juga ikut serta dengan mereka. Pada Maret 2020, satu keluarga itu ditangkap kepolisian Malaysia yang tengah menggelar operasi besar-besaran. Mereka langsung dijebloskan ke penjara selama tiga bulan tanpa putusan pengadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebulan menjalani hukuman, Rose mendengar kabar bahwa ayahnya sakit. “Jari kaki ayah diamputasi di klinik DTI,” kata perempuan berusia 29 tahun itu, kemarin. Rose tidak bisa menjenguk karena dilarang oleh petugas. Pada April 2020, sehari selepas hari raya Idul Fitri, Rose mendengar bahwa ayahnya meninggal. “Satu minggu kemudian, ayah saya baru bisa dikebumikan. Itu pun setelah suami saya memaksa meminta jenazah dari petugas.”

Menurut Rose, semua penghuni rumah tahanan mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari petugas. Mereka hanya mendapat jatah makan siang dan malam. Sedangkan pada pagi hari, mereka hanya diberi satu roti kering. Bahkan ketika wabah Covid-19 sedang ganas-ganasnya, para tahanan hanya mendapat makanan satu kali sehari.

Ruang tahanan yang mereka tempati hanya berukuran 8 x 12 meter. Jumlah penghuninya tidak kurang dari 200 imigran. “Untuk tidur, kami memakai alas plastik hitam yang dibeli seharga RM 2 atau sekitar Rp 6.700,” kata Rose.

Keluarga Rose merupakan segelintir dari ribuan warga negara Indonesia (WNI) yang mendapat perlakuan buruk di rumah detensi imigrasi Malaysia. Tim Pencari Fakta Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) mencatat, pada periode 2020-2022, otoritas pemerintah Sabah menangkap 12.800 imigran dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Penangkapan ini sejalan dengan pidato Menteri Dalam Negeri Malaysia Hamzah Zainudin yang menyatakan bakal melakukan operasi besar-besaran untuk menangkapi para imigran gelap pada 2020.

Dari ribuan orang yang ditangkap, hanya 7.673 imigran yang dideportasi dan sekitar 1.700 di antaranya dipulangkan ke Indonesia. Sementara itu, ribuan imigran lainnya mendekam di DTI Sabah yang tersebar di lima wilayah. Kelimanya adalah DTI Papar Kimanis, DTI Sandakan, DTI Tawau, DTI Menggatal, dan DTI Kota Kinabalu. Setiap wilayah memiliki 10-14 blok yang diisi oleh lebih dari 12 ribu imigran.


Anggota Koalisi Buruh Migran Berdaulat (kiri), Abu Mufakhir, dan JPIC Divina Prufidentia Kupang, Suster Laurentina, dalam konferensi pers kasus penyiksaan buruh migran Indonesia, di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, 25 Juni 2022. TEMPO/Magang/Muhammad Syauqi Amrullah

Koordinator KBMB, Abu Mufakhir, menyatakan, berdasarkan dokumen Pejabat Atase Imigresen Jakarta Kedutaan Besar Malaysia untuk Indonesia, setidaknya 149 WNI meninggal dalam tahanan sepanjang 2020-2022. “Mereka sebagian besar sakit, lalu sekarat tanpa pengobatan,” kata Abu.

Berdasarkan data yang sama, Abu merinci, sebanyak 19 WNI meninggal di DTI Tawau pada medio Januari 2021-Maret 2022. Mereka terdiri atas 9 laki-laki di Blok-9, 3 perempuan di Blok-4, 1 laki-laki di Blok-1, 3 laki-laki di Blok-6 Karantina, 1 laki-laki di Sel Isolasi, dan 1 laki-laki di Rumah Sakit Umum Daerah Nunukan, Kalimantan Utara. “Seluruh deportan yang kami wawancarai mengatakan bahwa tahanan hanya akan dibawa ke rumah sakit ketika sudah dalam kondisi sudah sangat parah,” kata Abu.

Fakta ini terungkap ketika Abu dan kawan-kawannya menerima 1.700 WNI yang dideportasi dari Malaysia pada 2020. Waktu itu, ia mendapati banyak imigran pulang dalam kondisi sakit. Abu mengajak sejumlah organisasi kemanusiaan melakukan penelusuran. Mereka mewawancarai ratusan korban di lima DTI Sabah. Hampir semuanya mendapat perlakuan tak manusiawi, seperti makanan yang tidak layak, mengalami sakit kudis hingga mengakibatkan kelumpuhan, serta penyiksaan di dalam penjara.

Sudirno, buruh migran Indonesia, juga pernah menjadi korban penyiksaan ketika ditangkap oleh kepolisian Malaysia pada medio 2001-2002. Di dalam penjara, pria berusia 43 tahun itu mengaku kerap menerima pukulan rotan. “Penyiksaan dan kondisi penjara yang tak manusiawi itu terus terjadi sampai sekarang. Bahkan saya saat itu sering diberi makanan basi,” katanya.

Nur Ismi Ramadani, psikolog KBMB, menyebutkan kasus penyiksaan terhadap imigran di dalam tahanan Malaysia sudah berlangsung puluhan tahun. Sebagian besar korban sebelumnya bekerja sebagai buruh perkebunan sawit di Malaysia. “Mereka rata-rata ditangkap tanpa dokumen. Kalaupun punya, biasanya dokumen itu ditahan majikan,” katanya. Mereka dipenjara dalam rentang 3-6 bulan, bahkan sering melebihi masa tahanan.

Ketika ditangkap, para imigran memang diberi kesempatan dua hari, menunggu majikan datang membawa dokumen. Jika majikan tidak datang, imigran diadili di pengadilan. Pengadilan menghakimi semua imigran, dari anak-anak, perempuan, orang dewasa, hingga orang lansia, dengan rentang masa hukuman yang berbeda. Selepas diadili, tahanan dipenjara di sebuah lokasi yang disebut “Dewan”, merujuk pada suatu bangunan seperti aula atau gedung serbaguna.

Di gedung itu, tahanan laki-laki diborgol satu dengan yang lain selama 24 jam selama 14 hari. Setelah itu, mereka dipindahkan ke DTI Sabah untuk menjalani hukuman dan dideportasi. “Hampir seluruh deportan mengatakan kondisi di tahanan penuh sesak, kotor, bau, tidak terkena cahaya matahari, tanpa ada air bersih, bahkan mereka minum dari air keran,” ucap Ismi.


Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) menggelar aksi terkait dengan nasib pekerja migran Indonesia di Malaysia, di depan Kedutaan Besar Malaysia, Jakarta, 24 Juni 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Tempo berupaya meminta tanggapan dari Kedutaan Besar Malaysia untuk Indonesia di Jakarta. Salah satunya melalui First Secretary Embassy of Malaysia, Ammil Afiq bin Jasimi. Kepada Tempo, Afiq menyebutkan sedang menanyakan berbagai tuduhan tersebut kepada pelaksana tugas Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Adlan Mohd Shaffieq. Adapun Duta Besar Malaysia, Datuk Tajuddin Abdul Rahman, belum dilantik. “Besok kami akan tanyakan. Sekarang, kan, hari Minggu,” ucap Afiq.

Adapun Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, membantah seluruh laporan yang dibuat KBMB. “Laporan ini tidak akurat dan jauh dari kebenaran,” katanya. Ia menyarankan agar Tempo menghubungi Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kota Kinabalu, Malaysia, Rafail Walangitan. “Jadi, angka 149 WNI meninggal, kami tidak tahu diperoleh dari mana,” kata Rafail ketika dimintai konfirmasi ihwal penyiksaan dan kematian WNI di Malaysia. “Kami harap pihak KBMB bisa menjelaskan dan mempertanggungjawabkan angka tersebut.”

Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, tak menepis bahwa banyak imigran WNI yang meninggal di Malaysia. “Dalam dua tahun kepemimpinan saya, sudah ada 1.400 pekerja migran Indonesia (PMI) yang meninggal, terbesar berasal dari Malaysia,” kata Benny. “Suatu kali saya pernah menerima 30 jenazah dalam sepekan dari Malaysia.”

Benny merasa miris melihat kenyataan ini. Dia tak memungkiri, di dalam penjara, buruh imigran Indonesia mendapat perlakuan buruk dari pemerintah Malaysia. Para imigran itu mendapat penyiksaan, makanan busuk, ruangan di penjara yang penuh sesak, bahkan imigran harus menjalani double penalty atau masa tahanan lebih lama dibanding putusan. “Kami sudah sampaikan protes ke Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia agar mereka mengubah sistem dan perilakunya.”

AVIT HIDAYAT
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus