Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMUA bermula dari pembicaraan pendek via telepon pada Jumat sore, 24 November 2006. Komunikasi antara Vincentius Amin Sutanto dan wartawan Tempo Metta Dharmasaputra itu kemudian berlanjut melalui berbagai media yang dianggap ”aman” oleh Vincent.
Ketika itu akuntan kawakan yang menjabat group financial controller di Asian Agri Group ini sedang diburu perusahaannya sendiri. Vincent ketakutan setelah penggelapan uang perusahaan US$ 3,1 juta (sekitar Rp 28 miliar) yang dilakukan bersama adik dan seorang kawannya terbongkar.
Menurut cerita Vincent, meski telah mengaku dan mohon ampun, bosnya tak sudi memberi maaf. Ia pun mencoba bernegosiasi dengan menggunakan rahasia perusahaan yang ada di tangannya sebagai senjata. Jika terus ditekan, ia mengancam akan membeberkan berbagai rekayasa pajak di perusahaan induk terbesar kedua di Raja Garuda Mas (RGM) Group milik taipan Sukanto Tanoto itu.
Tapi ancamannya tak mempan. ”Bagi kami, tak ada jalan kompromi seperti itu,” kata Tjandra Putra, Kepala Bagian Legal RGM, ketika dimintai konfirmasi mengenai sikap perusahaannya di belakang hari.
Kekalutan dan rasa sakit hatinya inilah yang kemudian menjadi latar belakang aksi nekat Vincent selanjutnya. Salah satunya dengan menghubungi Metta. Ia juga sempat mengontak wartawan dua media lain, tapi sepertinya tak ada tanda-tanda bocoran informasinya akan berlanjut menjadi berita.
Menurut Metta, di sinilah Tempo punya nilai plus sebagai sebuah tim. ”Ini modal Tempo buat investigasi,” ujarnya pada awal pekan ketiga Februari lalu.
Dukungan tim itu pula, termasuk lampu hijau langsung dari Bambang Harymurti sebagai Kepala Pemberitaan Korporat, yang jadi modal Metta ketika ia terbang ke Singapura, empat hari setelah telepon Vincent pada Jumat sore itu. Rupanya, sang akuntan yang ketakutan itu memilih kabur dan meminta pertemuan dilakukan di negeri tetangga.
Di sana Vincent sempat memikirkan tiga opsi. Yang pertama adalah bunuh diri. Ia ingin melompat dari lantai enam sebuah hotel murah bertarif US$ 30 (sekitar Rp 280 ribu) tempatnya menginap di kawasan Geylang. Apalagi, kata dia kepada Metta yang menemuinya di hotel itu, banyak orang ”sukses” bunuh diri dengan cara itu di Medan, tempat ia dan keluarganya tinggal. Untunglah, opsi ini urung dipilihnya, karena ia masih ingin bisa melihat tiga anaknya tumbuh dewasa.
Opsi kedua adalah menyerahkan diri ke polisi Singapura. Vincent menganggap langkah ini boleh jadi adalah cara paling aman buat dirinya. Ia percaya, paling tidak keselamatan nyawanya lebih terjamin di tangan aparat Singapura. Pada saat itu, ia tengah diburu seorang detektif swasta yang disewa perusahaannya dan mengaku bernama Mr Goh.
Pilihan ketiga adalah hal yang sejak awal tak diinginkan, yakni menyerahkan diri ke polisi di negeri sendiri. Tapi Vincent khawatir akan jadi bulan-bulanan bila pulang tanpa perlindungan. Karena itu, ia berharap dapat jaminan sebagai saksi kunci dengan cara melaporkan dugaan manipulasi pajak di Asian Agri senilai Rp 1,1 triliun ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pilihan terakhir yang diambil Vincent itu memang tak bisa membuatnya terhindar dari hukuman. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat memberinya vonis 11 tahun penjara pada 9 Agustus 2007. Upaya hukum terakhir melalui peninjauan kembali, dengan dibantu Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, pun ditolak Mahkamah Agung. ”Putusannya tetap 11 tahun, kan? Tak ada pengaruh Satgas,” kata Ketua Mahkamah Agung Harifin Andi Tumpa, 3 September 2010.
Bagi Tempo dan Metta secara pribadi, situasinya tak kalah pelik. Laporan utama majalah Tempo edisi 15-21 Januari 2007, dengan cover berjudul ”Akrobat Pajak?”, berilustrasi gambar Sukanto Tanoto, ternyata berbuah gugatan. Komunikasi Metta dengan telepon Flexi-nya disadap dan printout SMS-nya selama periode Maret-Juli 2007 beredar luas di tangan media. Demikian pula percakapannya melalui Internet.
Bersama seorang pengusaha, Metta juga dituduh telah berkonspirasi dan mengongkosi pelarian Vincent ke Singapura dengan motif persaingan bisnis melawan Sukanto Tanoto. Ia bahkan dianggap menggunakan data gelap/palsu untuk melakukan kampanye hitam terhadap Asian Agri, lalu menjual data itu dengan imbalan Rp 70 juta.
Penggalangan opini yang masif dan sistematis pun digelar dengan arah yang jelas: membuktikan bahwa Tempo dan Metta tak layak dipercaya. Untuk membuatnya tampak meyakinkan, beberapa mantan awak Tempo dilibatkan dalam usaha ini. Ada yang bikin seminar, berkomentar di media, sampai membiayai penelitian di kampus-kampus ternama.
Dalam salah satu forum yang disponsori kelompok itu, Toriq Hadad, yang saat itu masih menjabat Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, pernah diundang sebagai salah satu pembicaranya. ”Mereka bertanya, mengapa media sekelas Tempo mempercayai sumber seperti Vincent, yang jelas-jelas melakukan tindak pidana dan mereka sebut sebagai penjahat,” kata Toriq bercerita. Tapi, katanya, Tempo menganggap Vincent sebagai akuntan yang kapabel dalam posisinya yang penting di sebuah perusahaan besar. Dalam hal itu, ia sumber yang kredibel.
Mendadak banyak pula mahasiswa datang ke kantor dan mengaku sedang menulis skripsi atau tesis mengenai pemberitaan Tempo. Tema yang dipilih pun mirip-mirip, yakni berkisar pada apa yang mereka sebut sebagai ”telaah kritis” dan ”teori framing” terkait dengan berita atau kasus-kasus tertentu, terutama soal Asian Agri.
Beberapa orang yang dekat dengan perusahaan itu juga membisikkan bahwa data menyangkut pribadi dan keluarga Toriq serta Metta sudah ada di tangan mereka. ”Ya, kita tahu itu semacam ‘warning’ yang ingin disampaikan dengan cara halus,” kata Toriq. ”Saya hanya agak terkejut, kenapa sampai sejauh itu. Sebab, Tempo tidak pernah menulis atau mengkritik dengan tujuan untuk menjahati pihak tertentu.”
Operasi di jalur resmi melalui Dewan Pers, kepolisian, hingga pengadilan juga berlangsung gencar. Bersamaan dengan beredarnya salinan komunikasinya, Metta diminta datang ke Polda Metro Jaya untuk diperiksa sehubungan kasus pencucian uang, pemalsuan, dan penipuan oleh Vincent. ”Dalam situasi begitu, saya tak ditinggal sendirian. Para bos Tempo malah bilang akan ikut camping di Polda kalau saya sampai ditahan,” Metta menegaskan betapa kuat dukungan yang ia rasakan.
Tentu saja dukungan tak hanya datang dari dalam. Banyak individu serta lembaga di luar Tempo yang dengan tegas membela dan tanpa ragu membantu.
Namun tak sedikit yang tak malu melompat dan mengambil posisi berseberangan karena godaan sejumlah imbalan. ”Sedih juga, mengingat sebagian dari mereka sebelumnya berdiri bersama kita memperjuangkan kebebasan pers,” ujar Toriq.
Tekanan serupa diakui oleh Darmin Nasution, Direktur Jenderal Pajak yang saat itu berkukuh melanjutkan penyidikan atas Asian Agri. ”Dari pihak dan orang-orang yang saya tak menyangka akan tega melakukannya,” kata Darmin. Ia enggan menyebut siapa saja yang coba-coba mengancamnya.
Hasil serangan bertubi di hampir semua lini itu memang segera terbukti. Empat kali berturut-turut kelompok Sukanto Tanoto menang perkara di pengadilan tingkat pertama. Yang paling awal melawan Vincent di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Lalu melawan Direktorat Jenderal Pajak dalam gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Melalui PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), kelompok ini juga menang melawan Koran Tempo atas gugatan pemberitaan tentang kasus pembalakan hutan Riau di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terakhir, mereka dimenangkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam gugatan melawan majalah Tempo pada 9 September 2008.
Namun, tak sampai setahun kemudian, angin dengan cepat berbalik. Pada 27 Juli 2009, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menerima permohonan banding Tempo dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan yang segera berkekuatan hukum tetap lantaran tak ada lagi perlawanan dari Asian Agri. Tahun berikutnya giliran Koran Tempo yang menang banding melawan RAPP.
Setelah melalui jalan berliku dan berkas yang berulang kali dikembalikan Kejaksaan Agung, penyidikan atas sebagian tersangka dari Asian Agri pun rampung dan mulai disidangkan. ”Perbuatan terdakwa mengakibatkan kerugian terhadap pendapatan negara sebesar Rp 1,25 triliun,” kata jaksa Agus Prastowo dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 16 Februari 2011. Sang terdakwa adalah Tax Manager PT Asian Agri, Suwir Laut, yang terancam pidana maksimal enam tahun penjara.
Buat Tempo, sejauh ini semua berakhir mulus. ”Tinggal Vincent yang belum dapat keadilan. Peluangnya hanya tersisa melalui upaya permohonan grasi,” kata Metta, yang kini membantu Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT). ”Tapi setidaknya dia selamat sampai hari ini. Dia sudah memberi sumbangan pada negara dalam membongkar salah satu kasus pajak terbesar.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo