Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Dokumen Setinggi Lutut

Tempo dibredel karena menulis konflik dua menteri di kabinet Soeharto soal pembelian kapal perang dari Jerman. Sudah cover both sides.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMAT pagi, 3 Juni 1994. Kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, mendadak riuh. Para pegawai keluar dari ruang-ruang kerja. Mereka bertanya satu sama lain. Gerenengan bak suara rombongan lebah menggema.

Toriq Hadad, wartawan Tempo, pagi itu sedang mewawancarai Deputi Analisis Industri BPPT Suleman Wiriadidjaja di ruang kerjanya. Dari kaca jendela, ia melihat keriuhan di lantai gedung yang menjadi kantor Menteri Riset dan Teknologi Bacharuddin Jusuf Habibie itu. Toriq menyela wawancara dengan pura-pura hendak ke toilet.

Di luar ruangan, para pegawai lalu-lalang dengan muka cemas. ”Ada kapal Jerman tenggelam di teluk di Spanyol,” kata seorang pegawai. Dahi Toriq berkerut. Tenggelam? Kapal perang Jerman Timur yang baru saja dibeli pemerintah Indonesia? Kok bisa? Antena wartawan Toriq tersengat. Ini berita besar, pikirnya.

Toriq masuk lagi ke ruangan Suleman. ”Bagaimana bisa tenggelam, Pak?” Toriq langsung bertanya ke pokok masalah. Padahal pembicaraan sebelum ia ke toilet masih seputar tata cara pembelian 39 kapal perang eks Jerman Timur. Tanpa curiga, Suleman menjawab, ”Ada beban kargo yang dicantelkan ke tubuh kapal.”

Suleman menceritakan sebab-musabab kapal perang itu oleng. Ombak datang menghantam saat kapal melintasi Teluk Biscay, sebelah utara Spanyol. Bbbhaannggg...!!! Kargo bergeser ke sebelah kiri. Kapal hilang keseimbangan. Bagian depan kapal hancur, lalu ia perlahan tenggelam.

Cantelan kargo itu milik TNI Angkatan Laut. ”Ini melanggar prosedur keselamatan pelayaran,” kata Suleman. ”Bahaya. Kapal bisa terguling.”

KRI Teluk Lampung nama kapal nahas itu. Ia satu dari 39 kapal perang Jerman Timur yang dibeli pemerintah. Meskipun uangnya belum ditransfer, Teluk Lampung adalah kapal kesepuluh yang sedang dilayarkan menuju perairan Indonesia. Saat itu suhu politik Jakarta sedang hangat karena Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad menolak harga yang diajukan Menteri Habibie.

Habibie mengajukan harga US$ 1,1 miliar. Pada­hal, saat dipesan dua tahun sebelumnya, harganya masih US$ 12,74 juta atau Rp 27,5 miliar atau US$ 189-378 ribu per unit. Perbaikan dan pengiriman membuat harga total menggelembung sampai US$ 760 juta. Menteri Mar’ie tak setuju.

Tenggelamnya kapal itu seolah menjadi konfirmasi temuan Fraksi Angkatan Bersenjata RI di Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelumnya, pada 1992, Fraksi ABRI berkunjung ke Jerman, mengecek kapal yang akan dibeli pemerintah. Anggota Dewan mendapati kapal-kapal itu rongsokan belaka. Besi tua, ini istilah Ketua Fraksi Abu Hartono. Waktu itu Habibie mati-matian meyakinkan bahwa kapal-kapal itu masih berfungsi baik.

l l l

Berbekal informasi berharga dari sumber penting semacam Suleman, Toriq segera meluncur ke kantor Tempo, yang waktu itu berada di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Ia melaporkan informasi yang diperolehnya kepada Isma Sawitri, redaktur rubrik Ekonomi dan Bisnis.

Pada saat hampir bersamaan, Bambang Harymurti, Kepala Biro Tempo di Washington, DC, Amerika Serikat, juga mengirim berita soal tenggelamnya kapal Teluk Lampung. Peristiwa ini segera menjadi berita internasional. Karamnya kapal itu diulas terperinci oleh kantor-kantor berita asing. Kapal memang tak sampai tenggelam ke dasar laut karena sebuah kapal SAR Spanyol keburu mengangkatnya ke Gijon, lalu melayarkannya ke Teluk Ratai, Lampung. Ada 59 awak kapal, plus seorang teknisi dari Jerman, dapat diselamatkan.

Isma ingat, ketika berita kandasnya kapal itu sampai ke telinganya, ia sedang mengedit tulisan soal perseteruan Habibie dan Mar’ie. Cerita pembelian kapal memang disiapkan untuk laporan utama pekan berikutnya. Tenggelamnya Teluk Lampung membuat rencana berubah. ”Rapat memutuskan cerita sampulnya soal pembelian kapal ini,” katanya.

Pembelian kapal Jerman ini pun sudah ditulis Tempo. Pada 1 November 1992, Toriq menulis rencana pembelian itu, satu setengah halaman, di rubrik Nasional, dengan judul ”Kapal Murah dari Jerman”. Presiden Soeharto menunjuk Habibie agar menjajaki pembelian kapal untuk menjaga perairan Indonesia yang luas.

Menyatunya Jerman Barat dan Jerman Timur setelah runtuhnya Tembok Berlin membuat armada perang negara itu berlipat ganda. Jerman be­rencana melelang kapal-kapal bekas Perang Du­nia II itu. Adalah Liem Sioe Liong, bos Grup Sa­lim, yang mencium rencana Jerman ini dan meng­ajukan proposal pembelian kepada Soeharto.

Soeharto menolak harga Salim, yang dinilainya kelewat mahal. Salim mengajukan US$ 1,3 miliar untuk melautkan kapal-kapal itu. Soeharto memilih menugasi Habibie menjajaki dan menawarnya. Berkat lobi Habibie, Kanselir Helmut Kohl setuju menghibahkan 16 kapal Parchim, 14 Frosch, dan 9 Kondor. Pemerintah Indonesia tinggal menyediakan ongkos angkut dan biaya reparasi per unit agar fungsi kapal kembali normal.

Lama berita itu tenggelam dan baru ramai lagi pertengahan 1994. Wartawan Tempo, Max Wangkar dan Reza Rohadian, menuliskan perkembangan pembelian kapal, satu setengah halaman, di rubrik Ekonomi dan Bisnis. Sudah tentu, peristiwa Teluk Biscay membuat perkara ini jadi perhatian lagi.

Menurut Isma Sawitri, semua bahan sudah siap sejak sore. Dokumen kapal sudah dipegang. Komplet. Seorang sumber memasok seluruh data kapal-kapal itu kepada Bambang Aji. ”Tebal sekali. Seingat saya sampai setinggi lutut tumpukan dokumen itu,” kata Bambang Aji mengenang.

Dokumen tersebut didapat Bambang, waktu itu baru dua tahun menjadi anggota staf redaksi Tempo, dari seseorang yang dekat dengan para pemain pengadaan kapal itu. ”Dia bukan orang pemerintah,” katanya. Isi dokumen lengkap sekali: dari spesifikasi kapal, harga tiap unit, rekam jejak, hingga petunjuk teknis mengendarainya.

Bambang Aji, kini Pemimpin Redaksi Majalah Trust, mengenal si sumber sudah lama. Setahun sebelumnya, ia memperoleh selembar kesimpulan hasil rapat rencana pembelian dari sang sumber. Ia mengontak sumber ini untuk minta dokumen lebih lengkap. Sumber ini ternyata paham lika-liku proyek itu. ”Waktu itu saya bilang, bagaimana saya menulis detail kalau dokumen cuma summary,” katanya. Si sumber luluh dan menyorongkan semua dokumen proyek kapal yang ia punya.

Para penulis dan reporter rubrik Ekonomi dan Bisnis memverifikasi dokumen yang dibawa Bambang Aji. Ivan Haris, misalnya, mengontak sumbernya di Departemen Pertahanan menanyakan istilah teknis dan otentisitas dokumen. Yang lain menghubungi para perwira TNI Angkatan Laut. ”Tapi sumber-sumber ini tak mau dikutip namanya,” kata Ivan, kini bekerja di ANTV.

Dokumen sudah oke, verifikasi mantap, cerita lengkap, dan konfirmasi sudah didapat. Prinsip cover both sides dijalankan. Habibie menanggapi friksinya dengan Mar’ie. Dia bilang tak mungkin kementeriannya membengkakkan biaya dan cari untung dari proyek ini. ”Kami tak akan berbuat sebodoh itu,” katanya.

Mar’ie, yang irit ngomong, juga sudah angkat bicara. Keterangan berbagai sumber di BPPT, Fraksi ABRI, dan TNI Angkatan Laut juga kian menegaskan kejanggalan pembelian armada kapal bekas yang oleh media Jerman sendiri disebut tak layak dipakai itu. Kandasnya Teluk Lampung kian meneguhkan praduga awal ini.

Fikri Jufri, pemimpin redaksi, bersorak karena mendapat cantolan (peg) yang kian kuat untuk menurunkan berita itu sebagai cerita sampul.

Kisah Teluk Lampung dan kejanggalan pembelian kapal itu pun terbit pada edisi 11 Juni 1994. Sampulnya bergambar kapal dengan judul amat menohok: ”Habibie dan Kapal Itu”. Ada enam tulisan yang mengurai soal ini. Isma Sawitri membuat pengantar dengan judul ”Klimaks Kapal”. Max Wangkar memasak laporan dari Toriq Hadad, Bambang Aji, Bambang Harymurti, Reza Rohadian, dan Ivan Haris dalam tulisan utama berjudul ”Dihadang Ombak dan Biaya Besar”.

Masih ada menu pelengkap, yakni boks soal ”Habibie & Instruksi Mandataris MPR”, penolakan Mar’ie dengan artikel ”Mar’ie Memangkas Rp 327 Miliar” yang ditulis Toriq, dan boks ”Anggaran Itu” yang diracik Bambang Aji. Ivan Haris menutup laporan ini dengan tulisan ”Plus Minus Armada Bekas”.

l l l

LAPORAN Tempo itu segera menjadi pembicaraan hangat di kalangan politikus, ekonom, dan pengamat. Berkembang kecurigaan, memang ada sesuatu di balik pembelian itu. Belakangan, pada 1998, setelah majalah ini terbit kembali, Tempo kembali melakukan investigasi pembelian kapal perang bekas itu. Laporan ini mengindikasikan ada gelagat pembelian itu melibatkan keluarga dan orang-orang dekat Habibie sendiri.

Pada 9 Juni 1994, angin panas bertiup. Soeharto berpidato tanpa teks meresmikan Pelabuhan Teluk Ratai. Dia menegaskan pembelian kapal itu adalah inisiatif pribadinya dan dilakukan secara diam-diam atas permintaan pemerintah Jerman.

Di akhir pidato, Soeharto berkata, ”Ada pers yang mengeruhkan situasi dan mengadu domba. Ini gangguan pada stabilitas politik dan nasional. Kalau tak bisa diperingatkan, akan kita ambil tindakan karena mengganggu pembangunan sebagai tumpuan kita.”

Pidato itu segera menggegerkan Jakarta. Fikri, yang menonton siaran ulang pidato itu di TVRI bersama puluhan wartawan lain sore harinya, menepuk kepalanya sendiri. ”Habislah kita,” ujarnya. Soeharto jelas marah. Pers yang dimaksudnya jelas Tempo, karena tak ada media lain yang memberitakan soal itu. Tindakan yang akan diambil Soeharto sudah pasti: bredel. ”Minimal pemimpin redaksi dan pemegang sahamnya pasti diganti,” kata Fikri.

Zaman itu pidato Soeharto adalah titah tak terbantah. Para menteri melakukan rapat intensif membahas ”pers yang mengadu domba” itu sehari setelahnya. Menteri Penerangan Harmoko mengusulkan Tempo dibredel saja. Tapi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Soesilo Soedarman tak setuju, seperti ia sampaikan langsung kepada Bambang Harymurti sewaktu berkunjung ke Amerika Serikat, sepekan setelah laporan ini terbit.

Celaka, vonis bredel tetap terjadi. Suratnya terbit pada 21 Juni 1994. Tempo ditutup bersama Detik dan Editor. Sehari sebelumnya, Soeharto memanggil Harmoko dan Menteri-Sekretaris Negara Moerdiono ke rumahnya di Jalan Cendana, Jakarta Pusat. Esoknya, Direktur Jenderal Pers dan Grafika Departemen Penerangan Subrata meneken suratnya.

l l l

Galau, limbung, dan sedih mewarnai kantor-kantor yang terkena bredel. Hari itu menjadi salah satu hari tergelap dalam sejarah pers Indonesia.

Kini, Fikri menganalisis, pembredelan itu karena berita Tempo soal pembelian kapal perang terlalu memojokkan Habibie. Isu kedekatan Fikri dengan Benny Moerdani dijadikan alibi untuk menutup Tempo.

Sebab, sepekan setelah bredel, muncul laporan intelijen yang menyebutkan Fikri meloncat-loncat di atas meja kegirangan ketika tahu kapal Teluk Lampung tenggelam di Spanyol. ”Padahal saya gembira karena berita ini jadi mendapat peg yang kuat,” kata Fikri mengenang kejadian 17 tahun silam itu.

Habibie menyangkal menjadi penyebab bredel. ”Saya tak tahu dari mana khayalan indah itu,” ujarnya dalam jumpa pers di Jepang saat surat pencabutan SIUPP—surat izin usaha penerbitan pers—untuk Tempo, Detik, dan Editor itu diteken di Jakarta. Habibie lebih senang bertempur di meja hijau. Ia sudah menyiapkan pengacara untuk menggugat Tempo senilai US$ 1 miliar.

Ketika itu, dalam susunan redaksi, Fikri Jufri tercantum sebagai wakil pemimpin redaksi. Tapi sehari-hari ia menjalankan fungsi pemimpin redaksi menggantikan Goenawan Mohamad. Fikri ”belum resmi” memimpin Tempo karena belum mendapat izin Menteri Penerangan Harmoko. Harmoko menilai Fikri terlalu dekat dengan Jenderal Benny Moerdani dan kelompok Center for Strategic and International Studies.

Benny adalah jenderal kepercayaan Soeharto yang belakangan dikucilkan. Keduanya sering bersitegang. Di sisi lain, Habibie sedang naik pamor dan digadang-gadang menggantikan Soeharto jika jenderal bintang lima ini sudah rela melepas jabatan presiden. Siapa yang dekat dengan Benny dicurigai bakal menjegal jalan mulus Habibie menjadi presiden.

Soal kubu-kubuan yang kemudian mencuat, Fikri menjawab ringan setiap kali ditanya apakah ada yang memanfaatkan kedekatannya dengan Benny. ”Wartawan itu harus dekat dengan siapa saja,” katanya. Ia heran mengapa ia yang disangkutkan dengan Benny. Padahal ada tujuh wartawan yang bisa mengontak langsung Benny kapan saja. Dari Tempo hanya dua: Susanto Pudjomartono dan A. Margana. ”Saya enggak masuk hitungan,” ujarnya.

Sementara Teluk Lampung bisa diangkat sebelum tenggelam, kapal Tempo benar-benar karam pada 21 Juni 1994 karena menuliskan cerita sang armada bekas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus