Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta – Tiga hari setelah video yang berisi rekaman kemarahan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terhadap Pertamina viral di media sosial, ia langsung dipanggil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Lewat media sosial Instagram, Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) ini mengakui bahwa dirinya ditugasi Erick Thohir menjaga solidaritas tim kerja dan melakukan transformasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Tadi habis bertemu dengan Menteri BUMN. Kritik dan saran yang saya sampaikan diterima dengan baik oleh Pak Erick. Dan saya juga akan menjaga pesan Pak Erick untuk menjaga soliditas team work dan terus melakukan transformasi BUMN,” kata Ahok, Kamis, 17 September 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada hari ini menemui Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir untuk menyampaikan kritik dan saran. Pertemuan tersebut diungkap oleh Ahok melalui akun Instagram @basukibtp, Kamis, 17 September 2020.
Murka Ahok yang tergambar jelas dalam tayangan berdurasi 6 menit 39 detik itu diunggah sebuah akun YouTube, Politik Indonesia atau Poin, pada 14 September 2020. Dalam video ini, Ahok banyak membongkar kebobrokan tata-kelola perusahaan minyak negara tersebut. Seperti ular kena bedal, Ahok mengakui dirinya kesal pada jajaran direksi Pertamina yang membahas utang untuk eksplorasi kilang minyak.
Ahok mengatakan, direksi Pertamina yang membahas utang sebesar US$ 16 miliar, yang akan digunakan untuk melakukan ekspansi ke luar negeri. “Padahal di dalam negeri (ada) 12 cekungan. You ngapain di luar negeri?" kata Ahok menyitir ungkapannya dalam rapat.
Di luar ambisi BUMN itu untuk merambah pasar luar negeri, Ahok juga membahas dugaan manipulasi gaji pejabat Pertamina dengan nilai yang fantastis. Tak tanggung-tanggung, ia mengungkap adanya pendapatan Rp 75 juta yang diterima secara cuma-cuma. “Tidak kerja apa-apa karena gaji pokok dipatok tinggi," ucap mantan Gubernur DKI Jakarta ini.
Tak lama setelah video viral, manajemen Pertamina pun bereaksi. Para petinggi BUMN ini menghargai kritik Ahok. "Kami menghargai pernyataan Pak BTP sebagai Komut yang memang bertugas untuk pengawasan dan memberikan arahan," ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman. Ia mengatakan kritik tersebut juga sejalan dengan restrukturisasi yang tengah dijalankan perseroan agar perusahaan menjadi lebih cepat, adaptif, dan kompetitif.
Namun, bongkar-bongkar "aib" itu ternyata tak hanya ditujukan Ahok ke Pertamina. Dalam video tersebut, Ahok melanjutkan pernyataan kontroversialnya dengan mengusulkan pembubaran Kementerian BUMN—kementerian yang mengangkatnya sebagai bos Pertamina. Ahok yang belakangan minta disapa BTP itu menilai Kementerian yang kini dikomandani Erick Thohir itu tidak efisien. Karenanya, Ahok menyarankan agar perusahaan pelat merah dikelola dengan profesional, jauh dari kepentingan politis.
Ia pun meminta pemerintah membentuk subholding, seperti yang dilakukan pemerintah Singapura yang memiliki Temasek. "Harusnya Kementerian BUMN dibubarkan. Kita membangun semacam Temasek, semacam Indonesia Incorporation," ucapnya.
Setelah video viral, Ahok mengakui bahwa pernyataan-pernyataan dia yang memantik reaksi massa itu sejatinya ditujukan bagi internal Pertamina. Ahok menilai, ungkapan-ungkapan ini merupakan bagian dari evaluasi perusahaan. Saat itu, dirinya juga tengah menjalankan fungsi pengawasannya sebagai komisaris utama.
Ahok pun menyebut dirinya tak tahu-menahu ihwal terkuaknya video tersebut ke publik setelah ramai. “Bukan saya yang keluarkan (video),” kata Ahok saat dihubungi Tempo, Kamis.
Sebelum murka itu, Ahok mengakui bahwa sejatinya evaluasi terhadap perusahaan telah dia lakukan sejak lama. Tepatnya, sejak dirinya diangkat sebagai bos perusahaan pelat merah pada awal 2020. Menurut Ahok, sejak awal menjadi Komisaris Utama Pertamina, sikap ‘kencang’ terhadap perbaikan tata-kelola manajemen telah ia gembar-gemborkan.
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri BUMN Erick Thohir dan Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama mendengarkan penjelasan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati saat meninjau ke kawasan kilang PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, Sabtu, 21 Desember 2019. ANTARA
Ahok bahkan bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi perusahaan. Ia ingin memastikan berbagai pengadaan berjalan transparan dengan sistem digital. Bahkan, sistem digital ini juga direncanakan merambah ke pelaksanaan tata-kelola manajemen secara keseluruhan.
Bukan sekali Ahok mengeluhkan kinerja Pertamina. Setelah perusahaan itu melaporkan kerugian selama semester I sebesar Rp 11 triliun, Ahok menyatakan bahwa Direktur Pertamina Pertamina Nicke Widyawati tak melaporkan kondisi perusahaan kepada dewan pengawas. Padahal, menurut Ahok, ia telah meminta adanya audit investigasi sejak Januari. “Kami masukkan chief auditor executive dari luar . Sayangnya ada Covid-19. Baru dua bulan kemudian mulai audit,” imbuh Ahok.
Namun, "tembakan" Ahok untuk internal Pertamina ini bagai umpan lambung yang secepat kilat dicaplok sejumlah politikus, sesaat setelah menjadi viral di media sosial. Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Nasional Demokrat alias NasDem, Subardi, misalnya. Dia berkomentar bahwa Ahok sedang mengkritik dirinya sendiri. Ia menilai posisi Ahok sebagai Komisaris Utama tidak mampu mengawasi kinerja Pertamina.
“Yang disampaikan Ahok seperti menceritakan cacatnya sendiri. Jangan karena ketidakmampuannya (mengawasi Pertamina), Ahok lantas teriak-teriak di media,” kata Subardi.
Sebagai Anggota Komisi VI yang bermitra dengan BUMN, Subardi menyayangkan sikap Ahok. Ia khawatir performa Pertamina semakin buruk karena manajemen yang gaduh dan urakan. Padahal, ujarnya, setiap rapat bersama Menteri BUMN, Komisi VI selalu mendukung program perbaikan Pertamina yang digagas Erick Thohir, baik dalam strategi bisnis maupun efisiensi produksi.
Kritik juga datang dari Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro. Ia ia menilai cara yang dilakukan Ahok dengan membeberkan persoalan melalui sebuah tayangan di media sosial perlu dikoreksi. “Ibarat rumah tangga, kalau ada masalah dengan istri ya didiskusikan, diselesaikan. Bukan malah curhat ke infotainment,” tutur Komaidi.
Komaidi mengatakan, sebagai komisaris, Ahok memiliki wewenang untuk memanggil dewan direksi dan memberikan pengarahan secara langsung. Semestinya, kata dia, Ahok menggunakan wewenang itu untuk mengelarkan persoalan perseroan.
Meski memahami bahwa Ahok memiliki tujuan baik, Komaidi menyarankan dia memilih langkah elegan untuk memperbaiki perusahaan pelat merah. Pada masa-masa krisis pandemi, dia juga berpendapat sebaiknya pejabat perserian tak saling menyalahkan karena justru akan memantik munculnya masalah anyar. “Saya tidak tahu pasti motifnya apa. Saya melihat ada yang ganjil,” ucapnya.
Tak sependapat dengan Subardi dan Komaidi, pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, justru menganggap langkah Ahok merupakan bagian dari transparansi. Dia menyebut, sejak awal ditunjuk sebagai bos perusahaan minyak negara, Ahok memang telah membuka data Pertamina untuk publik. “Saya melihat yang dilakukan Pak Ahok akhir-akhi ini masih dalam konteks membuka transaparansi,” katanya.
Fahmy menilai tindakan Ahok wajar lantaran kinerja Pertamina memang terus merosot, bahkan jeblok. Pelemahan kinerja tampak dari rugi perusahaan di sepanjang paruh pertama.
Meski dalam kondisi pandemi, sebagai perusahaan pelat merah, ia memandang semestinya Pertamina tidak sampai menanggung buntung. Apalagi, selama ini Pertamina memperoleh berbagai fasilitas dari pemerintah, baik dari hulu maupun hilir. “Di hulu dia dapat fasilitas pengolahan migas, sementara di hilir dapat monopoli distribusi BBM. Dengan berbagai fasilitas itu kan mestinya pertamina tidak rugi,” ucapnya.
Pelemahan kinerja perusahaan, kata dia, juga tampak dari gagalnya beberapa proyek Pertamina. Ia mencontohkan kerja sama Pertamina dengan perusahaan Saudi Aramco yang gagal untuk mengelola kilang Cilacap. Ada pula beberapa proyek lifting yang tak terealiasi, yang menjadi indikator penurunan kinerja perseroan.
Terkait pembubaran Kementerian BUMN, Fahmy juga menilai ungkapan itu merupakan sikap yang berani. Sebab, Kementerian inilah yang menunjuk Ahok sebagai komisaris. Di luar itu, keberadaan Kementerian BUMN memang dirasa tak efektif.
Pernyataan Ahok juga mengundang atensi mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan. Lewat situs pribadinya, disway.id, Dahlan mengatakan ide pembubaran Kementerian BUMN merupakan pemikiran lawas. Sedari Tanri Abeng menjadi Menteri Negara Pendayagunaan BUMN pada Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan, Dahlan mengatakan wacana itu sudah muncul.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi, didampingi Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat meresmikan program mandatori penggunaan B30 di SPBU Pertamina MT Haryono, Jakarta, Senin 23 Desember 2019. Jokowi juga meminta menteri-menteri terkait dan Pertamina untuk menyiapkan penerapan B40 dan B50 beberapa waktu ke depan. TEMPO/Subekti.
“Sejak Tanri Abeng menjadi seorang BUMN yang pertama, pemikiran itu sudah ada. Tanri sudah mengemukakan itu. Yang baru adalah BTP menyebutkan timeline-nya: sebelum Pak Jokowi turun, pola Temasek-nya Singapura seperti sudah terbentuk,” kata Dahlan.
Pemikiran membentuk jalan superholding pun terus bergulir, siapa pun presidennya. Pada periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lalu, misalnya. Ia membentuk holding Pupuk Indonesia dan Semen Indonesia. Pada periode pertama Presiden Jokowi, terbentuk pula holding perkebunan dan pertambangan. Namun, realisasi superholding seperti Temasek ini berjalan sangat lambat.
Bila satu periode presiden melahirkan dua holding, ia memandang perlu sepuluh periode kepresidenan untuk mewujudkan “Temasek” di Indonesia. Sebab, Dahlan menilai pembentukan holding acap berbuntut keributan dan pertentangan yang keras dari masing-masing perusahaan.
Jalan terjal pembentukan holding di BUMN terjadi karena proses politik yang tak gampang. “Tapi siapa tahu BTP (Ahok) memang bisa,” katanya. “Kalau benar-benar terjadi seperti di video BTP—Presiden Jokowi pun dan BTP akan tercatat abadi dalam sejarah BUMN,” ucapnya.
Staf Khusus Bidang Komunikasi Kementerian BUMN Arya Sinulingga juga menyatakan hal senada. Menurut dia, ide mengenai superholding sebetulnya sudah mencuat sejak lama, bahkan sejak pemerintahan periode sebelumnya. Tapi kementerian saat ini melihat hal yang paling krusial adalah memastikan antar-BUMN dapat sejalan, dalam artian rantai suplai (supply chain) antarperusahaan pelat merah juga sejalan dengan membentuk klaster dan subholding BUMN.
Arya menjelaskan, Kementerian BUMN juga masih akan melihat bagaimana efektivitas implementasi klaster dan subholding karena saat ini masih banyak yang belum sejalan. Untuk itu dia menilai konsep superholding tidak akan terjadi dalam waktu dekat. “Pemikiran mengenai superholding masih jauh sekali, ini sekarang supply chain antara BUMN aja masih belum jalan dengan baik. Gimana kita mau buat superholding kalau belum jalan dengan baik?” ucapnya.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA | CAESAR AKBAR | BISNIS