Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjanjian tersebut diteken oleh Direktur Utama PD Pasar Jaya, saat itu Prabowo Soenirman, dan Direktur Utama PT Priamanaya Djan International Djan Faridz—kini Menteri Perumahan Rakyat—pada 20 Oktober 2003. Ringkasnya, kedua pihak bersepakat membangun kembali Pasar Tanah Abang Blok A yang rusak berat setelah dilahap si jago merah. Namun kini biduk kerja sama itu mulai retak. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) berpendapat perjanjian tersebut "bolong" di sana-sini dan menyebabkan kerugian bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
BPKP Perwakilan Provinsi DKI Jakarta I saat ini tengah menggelar audit investigatif atas pengelolaan proyek tersebut. Langkah itu merupakan lanjutan atas evaluasi yang dilakukan pada April tahun lalu. Menurut juru bicara BPKP Perwakilan Jakarta, Ikeu Cantika, audit tersebut dilakukan atas permintaan direksi PD Pasar Jaya sekarang. "Sedang diproses, belum rampung," katanya di Jakarta, Kamis pekan lalu.
Pembangunan kembali Blok A dilakukan berdasarkan perjanjian kerja sama nomor 1 tahun 2003. Dalam pokok perjanjian itu, Pasar Jaya menyiapkan lahan kosong seluas 8.900 meter persegi. Adapun Priamanaya menyediakan pendanaan untuk pembangunan proyek yang semula diperkirakan sekitar Rp 800 miliar itu. Priamanaya diminta menyertakan surat pernyataan dari bank bereputasi bahwa perusahaan itu mempunyai kemampuan finansial.
Sesuai dengan perjanjian, PD Pasar Jaya berhak menerima kompensasi Rp 150 miliar, yang dibayar di muka. Perusahaan milik pemerintah Jakarta itu berhak pula menerima 75 persen bagi hasil dari pendapatan pengelolaan pasar dan seluruh bangunan ketika perjanjian berakhir. Adapun Priamanaya berhak memasarkan, menerima hasil penjualan tempat usaha alias kios, mengelola pasar selama lima tahun, serta mendapat 25 persen bagi hasil.
Masalah mencuat belakangan. Dalam laporan hasil evaluasi yang disampaikan kepada Direktur Utama PD Pasar Jaya, 19 Mei 2010, BPKP membeberkan sederet kelemahan perjanjian kerja sama itu, antara lain soal batas waktu pengelolaan yang tidak jelas. Berdasarkan pasal 11.3, perjanjian bisa berakhir bila kios terjual 95 persen. Artinya, tak ada tenggat pasti kapan penjualan sebesar itu akan tercapai. Pasal 7 dan adendum kelima butir 1b, bahwa harga jual dan pemasaran kios ditentukan Priamanaya, menguatkan pasal 11.3 itu.
Dengan dua klausul itu, BPKP menilai Priamanaya dapat mengatur waktu kapan penjualan 95 persen direalisasi. Caranya dengan memasang harga mahal dan/atau tidak mempromosikan penjualan. Nyatanya, ketika BPKP mengevaluasi proyek tersebut tahun lalu, Priamanaya cuma mencatatkan penjualan 40,2 persen, yakni 3.155 unit dari total 7.842 kios, pada 2009. Rupanya manajemen hanya menyewakan kios. Hasilnya dinikmati Priamanaya sendiri karena dianggap bukan pendapatan pengelolaan.
Prabowo membantah perjanjian yang dia teken merugikan pemerintah Jakarta. Menurut dia, masa pengelolaan pasar jelas, yakni lima tahun, "Ada di dalam perjanjian." Payung hukum di atasnya, yaitu Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 39 Tahun 2002, pun mengatur hal itu. Bila lebih dari lima tahun, harus seizin gubernur. Jadi, menurut Prabowo, apa pun yang diatur dalam perjanjian, ada ketentuan yang lebih tinggi yang harus dijalankan.
BPKP menilai pula pemberian kuasa kepada Priamanaya dalam hal pemakaian tempat usaha bertentangan dengan Keputusan Direksi Pasar Jaya Nomor 450 Tahun 2003. Perjanjian pemberian kuasa itu dilakukan melalui adendum pertama pada Desember 2005. BPKP berpendapat, dengan kuasa tersebut, Priamanaya dapat mengatur pokok-pokok perjanjian dengan pembeli (pedagang) yang tidak sesuai dengan standar Pasar Jaya. Akibatnya, Pasar Jaya tidak memiliki data aktual penjualan kios.
Harga jual kios kepada pembeli baru (bukan pedagang yang sudah ada) pun ditetapkan Priamanaya. Masalah ini diatur dalam pasal tujuh perjanjian kerja sama dan adendum kelima pada November 2008. Priamanaya menetapkan lokasi kios yang strategis kepada pedagang baru dengan harga lebih mahal. Akibatnya, pedagang lebih memilih menyewa ketimbang membeli. Hal ini, menurut BPKP, menyebabkan penjualan tak kunjung mencapai 95 persen.
Kuasa hukum Priamanaya, Sartono dari kantor pengacara Hanafiah Ponggawa & Partners, membantah jika dikatakan pihaknya sengaja "mengakali" pemerintah. Ia menilai pemahaman BPKP keliru. Menurut dia, Priamanaya sudah berusaha menjual. "Untuk apa menahan-nahan. Bila bisa dijual lebih cepat, kenapa tidak? Balik modalnya lebih cepat," ujarnya.
Namun simak pula ketentuan lain dalam adendum kelima itu: Priamanaya dapat mengalihkan hak pengelolaan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan Pasar Jaya. Berdasarkan aturan tambahan itu, Blok A dibagi-bagi seperti kue ulang tahun. Urusan listrik, misalnya, dipegang PT Priamanaya Layanan Energy, pemasaran ditangani PT Priamanaya Media Promosi, parkir dikelola PT Priamanaya Parkir. Ada pula PT Priamanaya Telekomunikasi, yang mengurus telepon, dan PT Priamanaya Kelola, yang menggarap servis pemeliharaan. BPKP menilai sederet perusahaan sebagai pihak ketiga alias subkontraktor pengelolaan itu menyebabkan biaya tinggi.
Kelemahan lain, menurut BPKP, adalah perubahan konsep bagi hasil yang dirumuskan dalam adendum kelima. Akibatnya, bagi hasil yang semula berbasis penerimaan kotor berubah menjadi bagi hasil berbasis penerimaan bersih, yakni setelah dipotong biaya pengelolaan, perawatan, dan pajak. Uthand Sitorus, Direktur Utama Pasar Jaya yang melakukan adendum tersebut, mengaku tidak mengubah konsep bagi hasil. Yang dilakukan adalah memperjelas pasal-pasal yang berkaitan, yang tidak sinkron. Dalam perjanjian disebutkan Pasar Jaya mendapat 75 persen bagi hasil dari penerimaan pengelolaan. Pada klausul lain dijelaskan yang dimaksudkan penerimaan pengelolaan adalah pendapatan setelah dikurangi biaya-biaya, misalnya ongkos pemeliharaan dan pajak. "Jadi saya tidak mengubah gross menjadi neto. Tapi meluruskan pemahaman," kata Uthand.
Sartono membenarkan pernyataan Uthand. Menurut dia, adendum terhadap bagi hasil dilakukan karena ada pasal yang tidak jelas. Di mana pun, kata dia, tidak ada praktek bagi hasil berbasis pendapatan kotor. "Investor bisa nombok," dia menambahkan. Celakanya, bagi hasil itu tak pernah terwujud. Setelah delapan tahun kontrak berjalan, Priamanaya Djan selalu mengaku dalam kondisi merugi. Alhasil, tak ada keuntungan yang bisa dibagi kepada Pasar Jaya.
Menghadapi perilaku Priamanaya, giliran Pasar Jaya mengajukan adendum. Intinya, mereka meminta kompensasi minimal Rp 100 juta per bulan, apa pun kondisi neraca Priamanaya. Setoran pertama diberikan pada Januari 2009. Tapi, belakangan, Direktur Utama Pasar Jaya yang baru, Djangga Lubis, menghentikannya. Bukan cuma setoran yang disetop, perjanjian yang berat sebelah itu pun akhirnya diterminasi. "Kalau diteruskan, bisa bermasalah di kemudian hari," kata Djangga.
Retno Sulistyowati, Padjar Iswara, Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo