Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UANG Rp 100 juta masuk rekening Perusahaan Daerah Pasar Jaya di Bank DKI Jakarta siang pertengahan Mei tahun lalu. Pesan dari pengirim uang, PT Priamanaya Djan International, menyebutkan duit itu merupakan pembayaran pengelolaan Blok A Pasar Tanah Abang. Anggota staf Pasar Jaya melaporkan transfer dana itu kepada Djangga Lubis, direktur utama perusahaan. Tanpa pikir panjang, bos Pasar Jaya itu memerintahkan anak buahnya mengembalikan uang kepada Priamanaya.
Bukannya berhenti. Bulan-bulan berikutnya, Juni dan Juli, Priamanaya mentransfer lagi uang dalam jumlah yang sama. Djangga pun kembali meminta staf Pasar Jaya mengembalikan uang pembayaran pengelolaan pusat grosir terbesar se-Asia Tenggara itu. "Kami tak konsisten bila menerima uang tersebut," ujar Djangga kepada Tempo di Jakarta, Selasa pekan lalu.
Priamanaya adalah perusahaan properti milik Djan Faridz. Dua pekan lalu, Presiden Susilo Bambang YuÂdhoyono mengangkat Djan menjadi Menteri Perumahan Rakyat. Kerja sama Priamanaya bermula dari terbakarnya Blok A, C, D, dan E Pasar Tanah Abang, Februari delapan tahun silam. Pada 20 Oktober 2003, Priamanaya meneken perjanjian kerja sama pembangunan kembali Blok A Pasar Tanah Abang. Sesuai dengan perjanjian itu, Priamanaya akan membangun kios baru sebanyak 7.842 unit senilai Rp 831 miliar.
Pasar Jaya akan menerima bagi hasil 75 persen dari pengelolaan Blok A, seperti pendapatan iuran kios pedagang, pendapatan parkir, listrik, air, dan telepon. Adapun Priamanaya mendapat bagi hasil 25 persen. Priamanaya juga akan menerima seluruh hasil penjualan kios atau tempat usaha. Selama pengelolaan masih rugi, Priamanaya akan membayar Rp 100 juta sebulan kepada Pasar Jaya. "Itu goodwill (kebijakan) dan iktikad baik dari Priamanaya," kata kuasa hukum Priamanaya, Sartono dari kantor pengacara Hanafiah Ponggawa & Partners.
Perjanjian kerja sama berlaku lima tahun, dan seharusnya berakhir pada 2008. Tapi, dengan berbagai dalih, Priamanaya bisa mengelola Blok A Pasar Tanah Abang sampai 2010. Caranya, mereka beberapa kali melakukan perubahan (adendum) perjanjian kerja sama dengan Prabowo Soenirman dan Uthand Sitorus, Direktur Utama Pasar Jaya pengganti Prabowo. Pada April tahun lalu, Priamanaya mengajukan permohonan perpanjangan kerja sama untuk periode 2011.
Sejak Januari 2009, Pasar Jaya menerima uang Rp 100 juta saban bulan dari Priamanaya karena pengelolaan pasar tersebut masih merugi. Tapi sekarang Pasar Jaya tak mau menerima uang tersebut karena Djangga menolak memperpanjang kerja sama dengan Priamanaya. Djangga telah meneken surat penghentian kerja sama pada 1 April 2011.
Alasannya, kata dia, perjanjian kerja sama cenderung merugikan Pasar Jaya dan pemerintah DKI Jakarta. Selain itu, perjanjian di atas lima tahun harus mendapat persetujuan dari Gubernur DKI Jakarta. "Saya ingin perjanjian lama diakhiri," kata dia, "Jika masih berminat, Priamanaya bisa membuat perjanjian baru yang saling menguntungkan dengan Pasar Jaya."
Djangga punya alasan kuat mengakhiri pengelolaan Blok A Tanah Abang dengan Priamanaya. Dasarnya laporan evaluasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Jakarta. Laporan evaluasi yang diteken Deputi Kepala BPKP Suradji menyebutkan ada kelemahan dalam perjanjian kerja sama yang bertentangan dalam kontrak sehingga merugikan Pasar Jaya. Lembaga audit negara itu menilai perjanjian waktu penyerahan pengelolaan Blok A tidak tegas, bahkan tak jelas (lihat "Mengungkit Perjanjian Berat Sebelah").
Perjanjian menyebutkan Priamanaya berhak mengatur harga jual kios. Priamanaya akan menyerahkan pengelolaan Blok A kepada Pasar Jaya bila penjualan kios telah mencapai 95 persen. Dengan klausul itu, menurut BPKP, Priamanaya bisa mengatur waktu penjualan kios dan menetapkan harga jual tinggi. Fakta di lapangan membuktikan sinyalemen itu. Rata-rata harga jual kios Rp 59-400 juta per meter persegi, sehingga calon konsumen atau pedagang baru cenderung tak mau membeli kios. Calon pedagang maunya menyewa saja.
Sampai 1 April lalu, jumlah kios Blok A yang disewa 2.507 kios. Pendapatan Priamanaya dari penyewaan kios diperkirakan Rp 125-275 miliar. Anehnya, kata sumber Tempo, Priamanaya tidak mau membagi pendapatan sewa kepada Pasar Jaya. Perusahaan pengelola pasar di seluruh Jakarta ini hanya kebagian jatah pengelolaan Rp 100 juta saban bulan.
Sartono mengatakan sewa kios memang tidak diatur dalam perjanjian. Tapi penyewaan kios bisa dilakukan lantaran hal itu bagian dari pemasaran. Priamanaya, kata dia, tak bisa memberikan bagi hasil dari penyewaan kios karena bukan bagian pendapatan pengelolaan Blok A. "Penyewaan bagian dari pemasaran kios. Ini hak Priamanaya," katanya berkilah.
Lantaran ada kios yang disewakan, walhasil, sejak perjanjian diteken pada 2003, jumlah penjualan kios tak pernah bisa melampaui 95 persen. Sampai pemeriksaan berjalan, BPKP melaporkan kios yang terjual baru mencapai 42 persen. Dampaknya, sampai sekarang Pasar Jaya tetap belum bisa mengelola sendiri Blok A Tanah Abang. "Itu karena Priamanaya terus mengatur agar penjualan kios tetap kurang dari 95 persen selama-lamanya," sumber Tempo membisikkan.
Lantaran hal itu merugikan, BPKP merekomendasikan Pasar Jaya meninjau ulang kerja sama dengan Priamanaya. "Bila dipandang perlu, Pasar Jaya bisa mempertimbangkan pemutusan kerja sama dengan Priamanaya," tulis BPKP dalam laporannya.
NIAT Djangga tak memperpanjang perjanjian kerja sama mencuat sejak menjadi Direktur Utama Pasar Jaya pada Mei 2009. Sekitar pertengahan Juli 2009, bekas Asisten Deputi Gubernur DKI Bidang Tata Ruang ini bertemu dengan Djan Faridz di Buddha-Bar, Jakarta. Ditemani beberapa anggota staf Priamanaya, Djan makan malam bersama Djangga.
Di tengah makan malam itu, kata sumber Tempo, tiba-tiba Djangga menyampaikan kabar mengagetkan. Djangga memberitahukan tak akan memperpanjang kerja sama dengan Priamanaya. Djan kaget. Ketua Nahdlatul Ulama Jakarta ini mempertanyakan rencana Djangga menghentikan kerja sama. Suasana makan malam yang sebelumnya santai berubah menjadi kaku, sampai akhirnya Djangga pamit pulang. Djangga, saat dimintai konfirmasi, tak membantah cerita di Buddha-Bar ini. "Betul, saya pernah menyampaikan itu (penghentian kerja sana) di sana," ujarnya.
Djangga, menurut sumber Tempo tadi, ternyata memang serius. Ia meminta stafnya mengevaluasi perjanjian Priamanaya-Pasar Jaya pada 2003. Hasilnya, kajian internal menunjukkan posisi Pasar Jaya kurang menguntungkan. Gara-gara belum bisa mengelola Blok A Pasar Tanah Abang, Pasar Jaya selama 2008-2010 rugi sekitar Rp 300 miliar. Kerugian Pasar Jaya pada tahun ini bisa lebih tinggi lagi. "Itu bukan potensi rugi, tapi Pasar Jaya benar-benar riil sudah rugi," sumber Tempo di BPKP menambahkan.
Priamanaya tak tinggal diam. Sadar kontrak perjanjiannya dengan Pasar Jaya mulai disorot, manajemen Priamanaya meminta pendapat hukum dari SH&R, sebuah konsultan hukum dan investasi di Jakarta. Pada Februari 2010, pendapat hukum SH&R keluar. Isinya menyebutkan perjanjian 20 Oktober 2003 mengikat Priamanaya dan Pasar Jaya. Perjanjian tak bisa dikatakan berakhir karena penjualan kios belum mencapai 95 persen.
Pada pertengahan 2010, Djangga, Djan Faridz, dan sejumlah anggota manajemen Priamanaya menggelar pertemuan di kantor SH&R, Plaza Sentral lantai 9, Jakarta. Mereka membahas hasil pendapat hukum perjanjian kerja sama Blok A Pasar Tanah Abang. Dalam pertemuan hukum itu, kata sumber Tempo, ada Basrief Arief, salah satu konsultan SH&R. Waktu itu, Basrief belum menjadi Jaksa Agung. Presiden Yudhoyono mengangkat Basrief sebagai orang nomor satu di Kejaksaan Agung pada November tahun lalu. Djangga tak membantah pertemuan ini. Namun ia menolak menjelaskan secara terperinci. "Tak etis kalau saya membeberkan pertemuan itu."
Tak puas menerima pendapat hukum SH&R, Djangga meminta BPKP melakukan audit. Hasilnya, BPKP menegaskan, perjanjian dengan Priamanaya merugikan Pasar Jaya. Djangga pun berkirim surat tiga kali kepada Priamanaya. Isinya seragam: Pasar Jaya tak bersedia memperpanjang kerja sama pengelolaan Tenabang—sebutan Tanah Abang—Blok A.
Entah kebetulan entah tidak, setelah Basrief Arief menjadi Jaksa Agung, tiba-tiba Djangga diperiksa aparat adhyaksa. Selasa, 16 Agustus lalu, para jaksa penyidik memeriksa Djangga dari pagi sampai petang. Para jaksa penyidik mencecar Djangga dengan sejumlah pertanyaan. Kejaksaan memeriksa Djangga dengan tudingan terlibat dalam dugaan korupsi dalam kerja sama dengan Priamanaya. Belakangan, para penyidik kaget sendiri setelah tahu Djangga justru bermaksud menyelamatkan aset pemerintah daerah Jakarta.
Djangga justru heran malah diperiksa kejaksaan. "Dia menduga pemeriksaan itu berkaitan dengan sikapnya yang keras terhadap Priamanaya," ujar seorang kolega Djangga. Tapi Djangga enggan berkomentar atas pemeriksaan itu. "Sudahlah, biarkan saja."
Basrief belum bisa dimintai konfirmasi. Sedangkan Kepala Pusat Penerangan Jaksa Agung Noor Rahmad tak mengetahui isi materi pemeriksaan terhadap Djangga. "Saya tak ingat karena pemeriksaannya sudah lama," katanya kepada Bobby Chandra dari Tempo pekan lalu. Noor juga tak mau mengomentari soal Basrief yang pernah bekerja di konsultan hukum SH&H. "Nanti saja kita ketemu."
Tak kapok diperiksa kejaksaan, Djangga jalan terus. Ia berkukuh menghentikan kerja sama dengan Priamanaya. Diputus sepihak, tentu saja Priamanaya menolak keras. Djan kepada Tempo mengatakan masalah pengelolaan Blok A memang semata-mata persoalan hukum. Tapi dia yakin Priamanaya benar. "Pasar Jaya yang default (menghentikan kerja sama)," katanya. Namun Djan enggan berkomentar banyak karena secara hukum tidak terlibat lagi dalam manajemen Priamanaya. "Sejak menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah, saya melepas semua bisnis. Nama saya juga tak ada dalam akta Priamanaya."
Penjelasan terperinci datang dari Sartono. Perjanjian Priamanaya dengan Pasar Jaya, kata dia, tetap berlaku karena penjualan belum mencapai 95 persen. "Kios baru terjual 80-an persen," ujarnya. Kerja sama, kata dia, tetap berlaku karena, sesuai dengan perjanjian awal, Pasar Jaya dan Priamanaya sepakat memperpanjang setahun lagi sampai kios terjual minimal 95 persen. Perpanjangan dilakukan dua kali sejak 2008. "Jadi sekarang kesepakatan yang diatur perjanjian otomatis tetap berlaku," ujarnya. "Perjanjian itu undang-undang buat yang menekennya. Pasar Jaya harus menghormatinya."
Sejuta argumen sudah disampaikan Priamanaya. Toh, Djangga tak mengendurkan rencananya. Justru kini dia malah meminta BPKP menggelar audit investigasi. Audit ini akan menyelidiki nilai penjualan dan pendapatan sewa kios di Blok A yang dilakukan Priamanaya. "Sedang dalam proses," kata juru bicara BPKP Perwakilan Jakarta, Ikeu Cantika.
Dukungan buat Djangga datang dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta Slamet Nurdin. "Kalau benar merugikan pemerintah daerah Jakarta, jangan ragu-ragu, hentikan saja kerja sama dengan Priamanaya," ujarnya pekan lalu.
Padjar Iswara, Wahyu Muryadi, Amandra Megarani
Perjanjian Penuh Revisi
Perusahaan Daerah Pasar Jaya menjalin kerja sama dengan PT Priamanaya Djan International membangun dan mengelola blok Pasar Tanah Abang. Tapi perjanjian ini kerap direvisi. Perubahan dan tambahan klausul (adendum) dilakukan sampai tujuh kali. Revisi itu lebih banyak menguntungkan Priamanaya.
19 Februari 2003
Kebakaran melanda Pasar Tanah Abang, yang disulut percikan api dari listrik gardu PLN. Kerusakan berat terjadi di Blok A, C, D, dan E. Sebanyak 2.420 tempat usaha dan kios ludes.
4 Agustus 2003
Priamanaya mengajukan penawaran kerja sama membangun Blok A. Penawaran juga diajukan PT Maharanita Priyanka, PT Razana Shora, dan PT Citicon Adhinuraha.
15 September 2003
Pasar Jaya memilih Priamanaya.
20 Oktober 2003
Pasar Jaya dan Priamanaya meneken akta perjanjian kerja sama pembangunan Blok A. Masa perjanjian selama lima tahun (berakhir 2008).
29 Desember 2003
Pemancangan tiang pertama.
5 Desember 2005
Adendum dan amendemen akta perjanjian kerja sama I. Perkiraan biaya proyek pembangunan Blok A diubah dari Rp 777,1 miliar menjadi Rp 831 miliar.
23 Juni 2006
Adendum dan amendemen akta perjanjian kerja sama II. Sesuai dengan adendum ini, proyek rampung setelah dipenuhinya pasokan daya listrik 17.500 kilovolt-ampere oleh PLN atau selambat-lambatnya 29 September 2006.
15 Maret 2007
Adendum dan amendemen akta perjanjian kerja sama III. Jangka waktu penyelesaian proyek diubah menjadi selambat-lambatnya 31 Agustus 2007.
15 Mei 2007
Adendum dan amendemen akta perjanjian kerja sama IV. Kompensasi buat Pasar Jaya sebesar Rp 10 miliar akan dibayar paling lambat 7 hari kalender setelah penekenan berita acara serah-terima kepemilikan bangunan.
20 November 2008
Adendum dan amendemen akta perjanjian kerja sama V. Pengubahan antara lain memungkinkan Priamanaya menggandeng pihak ketiga (perusahaan lain). Penegasan pasal yang mengatur bagi hasil didasarkan atas pendapatan bersih.
15 Desember 2008
Serah-terima bangunan Blok A dari Priamanaya ke Pasar Jaya sekaligus adendum dan amendemen akta perjanjian kerja sama VI, yang memperpanjang masa pengelolaan setahun.
4 Mei 2009
Priamanaya kembali mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pengelolaan setahun lagi.
17 April 2010
Direksi Pasar Jaya meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan DKI Jakarta mengevaluasi perjanjian pengelolaan Blok A.
19 Mei 2010
Evaluasi BPKP selesai. BPKP menilai banyak isi perjanjian bertentangan dengan kontrak, dan merugikan Pasar Jaya.
1 April 2011
Pasar Jaya mengakhiri kerja sama dengan Priamanaya alias tidak mengabulkan permohonan perpanjangan waktu pengelolaan sampai Oktober 2011. Keputusan ini merujuk hasil audit internal dan audit BPKP.
28 Juni 2011
Pasar Jaya secara resmi mencabut surat kuasa yang diberikan ke Priamanaya. Terhitung sejak tanggal itu, Priamanaya tidak berhak menandatangani perjanjian pemakaian tempat usaha dengan pedagang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo