Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, dijuluki negeri seribu menhir. Ribuan batu Megalitikum itu tersebar di delapan kecamatan di daerah tersebut.
Situs menhir berserak di pedalaman Pegunungan Bukit Barisan, di daerah yang subur. Budaya menhir bertahan dan berkembang dari waktu ke waktu, menjadi tradisi masyarakat setempat.
Ditemukan beberapa rangka manusia yang memiliki ras Mongoloid. Dari sisi tipologi kebudayaan, posisi awal Kebudayaan Maek berada di level Megalitikum, kira-kira 2500-1500 sebelum Masehi. Tradisi kebudayaan ini berlanjut hingga abad ke-7.
RATUSAN batu tegak yang jaraknya tak beraturan dipagari kawat terserak di tanah lapang yang sedikit lebih luas dari lapangan sepak bola. Sepi, tak ada satu pun manusia di sana saat Tempo berkunjung pada Ahad pagi, 21 Juli 2024. Bentuk batu-batu itu tak sama. Ada yang pipih menyerupai moncong burung, ada yang lonjong, ada pula beberapa yang berbentuk batu agak melengkung dan bermotif. Sekeliling kawasan itu dipagari rimbun hijau pepohonan dan perbukitan di kejauhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bagian pintu masuk, sebatang besi dan pelat setinggi 1,5 meter bertulisan "Cagar Budaya Menhir Bawah Parit" menjadi penanda kawasan. Situs Megalitikum Menhir Bawah Parit ini berada di Jorong Koto Tinggi, Nagari Maek, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Kawasan ini hanya satu dari beberapa wilayah peninggalan Megalitikum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menhir Maek baru-baru ini mencuri perhatian masyarakat sekitar Lima Puluh Kota dan Padang. Pada pertengahan Juli 2024, dihelat Festival Maek oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta pemerintah daerah setempat. Festival diramaikan dengan pameran hasil penelitian BRIN tentang peradaban Maek dan diskusi seputar menhir Maek yang berlangsung di Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang, dan ditutup dengan pergelaran seni di kawasan situs menhir di Nagari Maek.
Salah satu menhir di Situs Balai Batu Nagari Maek, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Tempo/Fachri Hamzah
Situs Menhir Maek atau Menhir Mahat di Nagari Maek tercatat hingga di 32 lokasi. Koordinator juru pelihara situs Menhir Mahat, Zulpendri, mengatakan catatan itu berasal dari pemugaran yang dilakukan pemerintah. Jumlahnya ribuan batu menhir beraneka ukuran dan bentuk. Ia mencontohkan Situs Balai Batu dengan 64 menhir, Bawah Parit dengan 375 menhir, dan Padang Ilalang dengan 35 menhir. “Yang kami data ada 1.000 menhir di Nagari Maek,” katanya. Dari banyaknya lokasi itu, baru tiga situs tersebut yang mempunyai juru pelihara.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III Sumatera Barat Undri menjelaskan, temuan menhir di Sumatera, khususnya di Sumatera Barat, yang memiliki sisa peninggalan berupa kebudayaan Megalitikum ada di kawasan Mahek. Di wilayah ini, peninggalan megalitik yang ditemukan berupa menhir, lumpang batu, batu dakon, batu-batu bulat, batu punden, batu-batu besar berlubang, dan batu besar berukir. Yang dominan adalah menhir.
Batu-batu itu ditemukan dalam berbagai bentuk, ukuran, dan pola hias di beberapa situs, seperti Koto Tinggi (Bawah Parit), Ronah, Ampang Gadang, Kayu Kaciak, dan Bukit Dompu. Menhir-menhir di Nagari Maek tersebar di dataran tinggi perbukitan dan dataran rendah, seperti lembah dan tepi sungai. Setiap situs juga memiliki pola persebaran berbeda. Misalnya tanda kubur yang berada di Situs Bawah Parit serta Ronah I, II, dan III. Begitu juga di Bukit Domo I, II, dan III.
Undri mengungkapkan, menhir di Lima Puluh Kota diperkirakan memiliki berbagai fungsi di masa lampau. Batu yang berada di Menhir Kampung, misalnya, diperkirakan menjadi sarana pemujaan. Selain itu, menhir di Balai Batu dan Ampang Gadang I diduga menjadi tempat musyawarah. Tentu bukan hanya itu. Ada yang juga menjadi tanda kebesaran pangulu atau pemimpin adat. Menhir juga disebut didirikan agar terhindar dari wabah penyakit serta untuk meminta dimurahkan rezeki, melindungi diri dari bencana, memohon kesuburan, dan menolak kekuatan jahat.
Ekskavasi rangka manusia yang ditemukan di Situs Sati, Desa Belubus, Kecamatan Guguk Nunang. Dok. BRIN
Menurut Undri, ada kepercayaan bahwa arwah leluhur berkumpul di suatu tempat, seperti gunung atau bukit. Karena itu, kebanyakan menhir di Lima Puluh Kota berada di perbukitan dan lembah. "Bentuk ujung menhir membengkok, umumnya arah hadap menhir di Nagari Mahat berorientasi ke tenggara, yakni Gunung Sago," tuturnya.
Rr. Triwurjani, peneliti madya Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN, menjelaskan bahwa pameran BRIN diselenggarakan untuk warga Sumatera Barat yang ingin mengetahui peradaban Maek. Hasil penelitian BRIN, termasuk rangka hasil penggalian yang selama ini disimpan di laboratorium di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, baru pertama kali dipamerkan kepada masyarakat di Sumatera Barat. Triwurjani mengatakan, dari sisi tipologi kebudayaan, posisi awal Kebudayaan Maek berada di level Megalitikum, kira-kira 2500-1500 sebelum Masehi. Tradisi kebudayaan ini berlanjut hingga abad ke-7, ketika peradaban Islam menguasai jalur Samudra Hindia dan masuk ke Sumatera Barat. “Itu masih tergolong muda,” ujarnya.
Triwurjani mengutip Robert von Heine-Geldern (1945). Pada masa Neolitikum awal (4000 SM), tradisi atau ciri-ciri batu megalit adalah cenderung berbentuk dolmen, menhir, dan punden berundak. Adapun pada zaman Neolitikum akhir (2500 SM), ada arca berukir, kubur kepingan batu, serta kubur atau peti batu, bahkan ada juga yang disertai ukiran berbentuk citraan hewan atau manusia.
Penelitian terhadap peradaban Maek sudah digelar puluhan tahun lalu. F.M. Schnitger menulis tentang peradaban Maek dalam Forgotten Kingdoms in Sumatra pada 1939. Ada pula tulisan tentang Maek dalam Tjiscrift Bataviaasch Genostchap IV yang tidak diketahui penulisnya dengan judul “Oudehen ter Westkust van Sumatra” pada 1955. Setelah itu, ada inventarisasi oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Sumatera Barat serta penelitian oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada 1970 hingga 1980-an. Penelitian dilanjutkan dengan ekskavasi pada 1990-an hingga 2010.
Proses ekskavasi kuburan rangka manusia di situs menhir Sumatra Barat. Dok. BRIN
Triwurjani menjelaskan, berdasarkan penelitian Haris Sukendar (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1984), daerah Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Lima Puluh Kota, memiliki peninggalan megalitik yang cukup banyak. Bentuk menhir di sana bervariasi dan sudah maju, misalnya dengan pola hias geometris dan flora. Peninggalan itu tersebar di Jorong Balubus, Guguk Nunang, Guguk Sungai Talang, Limbanang, Tanjung Jati, Bawah Parit, Ampang Gadang, dan Balai-balai Batu. Bawah Parit adalah situs penguburan dengan menhir sebagai penanda kubur atau mejen.
Menurut analisis terhadap rangka manusia, Triwurjani menambahkan, diketahui tengkorak yang ditemukan mempunyai kapasitas 1.589,3 cc dengan bentuk ovoid membulat, berukuran sedang dan tinggi, serta dahi sempit dengan prognatisme sedang. Adapun tingginya 161,2 sentimeter. Hal itu menunjukkan unsur Mongoloid, tapi masih ada pengaruh Austromelanesoid. Temuan itu berbeda dengan rangka dari Situs Balubus dan Ronah yang mempunyai masa 200 tahun lebih muda dan mungkin berasal dari masa peralihan Islam. Saat itu ditemukan tujuh rangka manusia yang posisinya menghadap barat laut-tenggara. Dalam ekskavasi, tim tidak menemukan tembikar. “Tradisi penguburan yang tidak menyertakan bekal kubur,” ujarnya.
Triwurjani bersama koleganya di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar melanjutkan penelitian pada 2009 dan 2010 di Lima Puluh Kota serta ekskavasi di Bukit Apar. Pada 2023, bersama koleganya di BRIN dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, Triwurjani melakukan analisis laboratorium rangka Situs Bawah Parit. Hasil penelitian menyebutkan sebaran situs megalitik terdapat di delapan kecamatan di Kabupaten Lima Puluh Kota, yakni Guguak, Suliki, Gunuang Omeh, Pangkalan Koto Baru, Bukit Barisan, Harau, Akabiluru, dan Mungka. Adapun dari identifikasi terhadap 37 situs dari sekitar 840 benda megalitik ditemukan menhir, batu dakon, batu lumping, dan dolmen.
Situs-situs ini, Triwurjani menambahkan, tersebar di pedalaman Pegunungan Bukit Barisan. Dengan bentang alam ini, situs-situs tersebut berada di area yang subur dan kaya sumber air sehingga budaya itu dapat terus bertahan. “Hingga menjadi suatu tradisi yang berlanjut, dengan perubahan atau perkembangan pada fungsi menhir sebagai penanda kubur, batas kampung, dan sebagainya,” ucapnya.
Motif saluak paku di salah satu menhir di Situs Balai Batu, Nagari Maek, Kabupaten Lima Kota. Tempo/Fachri Hamzah
Dalam acara itu juga dipamerkan rangka dan hasil identifikasi biologis individu dari Situs Bawah Parit. Tim Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM saat itu menemukan tujuh individu. “Bukan tujuh rangka utuh, ya, tapi bagian-bagian. Sebagian juga sudah bercampur dengan tanah,” kata Triwurjani. Ada yang berjenis kelamin perempuan, laki-laki, ada pula yang tak diketahui jenis kelaminnya. Usia individu berkisar 24-50 tahun. Ketujuh individu ini diketahui sebagai manusia ras Mongoloid. Pengasahan gigi dilakukan pada labial incisor dan canine secara horizontal, terlihat dari adanya bekas pangur.
Hasil ekskavasi di Situs Sati, Desa Belubus, Guguk Nunang, ditemukan dua fitur kubur yang menghadap barat laut-tenggara. Kuburan primer di bawah batu membujur miring ke kanan dengan ukuran 180 x 95 dan 180 x 84 sentimeter. Ditemukan pula serpihan logam, keramik, dan tembikar. Jika dilihat dari pentarikhannya, Triwurjani menerangkan, rangka pertama diperkirakan berasal dari abad ke-5 hingga ke-8, sementara rangka lain dari abad ke-1 sampai ke-4. “Jika dilihat waktunya, sama dengan era pembangunan Candi Borobudur pada abad ke-8,” tuturnya. Menhir Sati adalah tanda kubur dari akhir masa prasejarah hingga sejarah sebagai sebuah tradisi.
Adapun dari identifikasi rangka manusia Mahat, dengan menganalisis umur karbon dari Australian Centre for Ancient DNA—analisis pertanggalan radiokarbon C14 dan DNA—diketahui sampel hanya mengandung 0,47 persen dan 0,59 persen asam deoksiribonukleat atau DNA manusia. Hasil ini umum didapati pada sampel arkeologi dan forensik yang telah terdegradasi, yang sebagian besar mengandung DNA dari lingkungan tempat sampel tersebut ditemukan atau digali. “Dari analisis metagenomik dan membandingkan dengan basis data nukleotida NCBI yang menggunakan metode KrakenUniq, secara keseluruhan kami tidak dapat menemukan sekuens yang dipetakan ke manusia. Tidak ada DNA manusia di kedua sampel,” ucap Triwurjani.
Mereka juga menganalisis forensik arkeodontologi dan CBCT Situs Bawah Parit pada empat rangka manusia. Hasilnya, empat rangka merupakan individu ras Mongoloid. Rangka keempat dan keenam berjenis kelamin perempuan berusia 41-42 dan 22-25 tahun. Sayangnya, tidak segarnya sampel tulang yang telah tersimpan beberapa dekade ini mempengaruhi analisis DNA. Analisis pada rangka kedua dan ketujuh hanya dapat menemukan jenis kelamin laki-laki.
Triwurjani gembira karena kini masyarakat Sumatera Barat cukup terbuka dan punya rasa ingin tahu terhadap sejarah mereka. Ia mengingat betapa sulitnya penelitiannya belasan tahun lalu karena masih adanya penolakan dan penyangkalan dari masyarakat saat itu.
•••
DARI seminar tentang peradaban menhir Maek, guru besar arkeologi Universitas Andalas, Herwandi, menilai motif menhir Maek mirip dengan ukiran-ukiran di rumah gadang, rumah adat masyarakat Minangkabau. Dia mencontohkan, motif kaluak paku yang ada di menhir ditemukan persis di ukiran rumah gadang. "Ada juga motif saik kalamai di menhir Maek," katanya.
Motif saluak paku di salah satu menhir di Situs Balai Batu, Nagari Maek, Kabupaten Lima Kota. Tempo/Fachri Hamzah
Herwandi menjelaskan, menhir di Kabupaten Lima Puluh Kota tidak hanya ada di Maek, tapi tersebar di beberapa daerah lain, seperti Koto Tinggi dan Balubuih. Pola yang ditemukan hampir sama dengan di Maek. Ia juga menemukan motif lain di salah satu situs menhir di Lima Puluh Kota, yakni Balai Adat, yang hingga kini dijadikan tempat musyawarah. “Berarti ini punya keterkaitan budaya dan adat dari nenek moyang mereka. Buktinya berupa batu sandaran di Situs Balai Adat yang menjadi tempat duduk para niniak mamak.”
Ditemukan pula motif yang sama dengan saik kalamai. Tapi yang menarik ada motif gambar segitiga yang di tengahnya terdapat ukiran burung membawa biji-bijian. Ada pula gambar perempuan yang di bawahnya terdapat tiga garis. Herwandi mengutip salah satu arkeolog bahwa gambar itu adalah simbol matrilineal. “Sebab, burung yang memberi makan anaknya tentu burung betina,” ujarnya.
Melihat literatur bahasa, Herwandi melanjutkan, masyarakat Lima Puluh Kota menyebut Gunung Sago sebagai Gunung Sarugo. Menurut dia, bisa saja sebagian masyarakat berpandangan bahwa Maek merupakan lokasi awal peradaban di Lima Puluh Kota karena temuan ribuan menhir.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dian Yuliastuti berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Menyingkap Menhir Maek di Kabupaten Lima Puluh Kota"