Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seniman Landung Simatupang baru saja menggelar pentas ceramah dalam program Salihara International Performing Art di Salihara, Jakarta Selatan.
Hidup sebagai seniman teater tapi menganggap dunia seni peran adalah kesenangan, layaknya olahraga untuk kesehatan.
Mengenal teater sejak kanak-kanak tapi mulai berkiprah saat masuk bangku kuliah hingga kini. Menjatuhkan pilihan berteater yang bertumpu pada kata-kata.
LAKI-LAKI dan perempuan berusia lanjut itu asyik berbincang di bangku taman, seperti dua orang yang baru mengenal. Mereka sebelumnya bertengkar berebut bangku, gara-gara si perempuan terganggu oleh tingkah laki-laki yang membaca buku keras-keras. Sejatinya, mereka adalah sepasang kekasih di masa lalu. Demi ego yang masih menjulang, keduanya menutupi jati diri mereka, menutupi cinta yang masih menggelora. Adegan ini merupakan petikan pentas dari naskah Pagi Bening karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero. Landung Simatupang menyutradarai pementasan Teater Stemka tersebut dua tahun lalu di Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seusai cuplikan pentas tersebut, Landung masuk panggung. Berkain dengan baju atas berwarna putih dan berjubah, lengkap dengan ikat kepala, dia berdiri di hadapan penonton sambil membawa segepok tipis naskah. Malam itu, Selasa, 13 Agustus 2024, ia tengah memanggungkan cerita kehidupannya, pentas ceramah “50 Tahun Seni Peran di Jalur Olahraga Kesehatan”. Pentas ini salah satu program dalam Salihara International Performing Arts Festival di Salihara, Jakarta Selatan. Landung membuka kisah hidupnya dengan kegiatan badminton di lapangan bola di kampungnya. “Ya, dalam perkembangan selanjutnya, akting bisa memberikan pemasukan lewat keribetan sebagai pemain film dalam industri perfilman,” ujarnya. Tapi teater tak sepenuhnya bisa menghidupi keluarganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ceritanya tak linier, tak hanya membacakan naskah. Landung juga “keluar-masuk” lakon yang ia pentaskan atau sutradarai. Misalnya pembacaan naskah Aku Diponegoro dari Babad Diponegoro karya Pangeran Diponegoro dan Pagi Bening di awal pentas. Bukan hanya itu, dibantu dua aktor Teater Garasi dan seorang musikus, ia bahkan mendramakan kisah ketika bertemu dengan ayahnya dalam mimpi saat mengenal sosok komponis Cornel Simanjuntak, sahabat sang ayah. Landung sendiri berakting sebagai ayahnya.
Landung Simatupang membacakan kisah penangkapan Pangeran Diponegoro di Museum Diponegoro, Magelang, Jawa Tengah, 24 November 2013. Dok. Tempo/STR/Suryo Wibowo
Lakon Pengakuan karya Anton Chekov, yang diterjemahkan Koesalah Soebagyo Toer, tentang sepasang kekasih bekas pemain sirkus dan gadis kaya dengan iringan piano, biola, dan selo yang dinamis menutup ceramah yang diakhiri dengan video-video nukilan pementasan aktor sepuh ini. Hal itu membuat pentas menjadi lebih berwarna, tak monoton diiringi musik langsung dan gerak tari, yang ia sebut penyimpangan konsep teater.
Landung Simatupang lahir di Yogyakarta 70 tahun lalu. Ibunya orang Jawa dan bidan, sementara ayahnya dari suku Batak. Sang ayah adalah guru yang mengajar bahasa Indonesia, Inggris, dan Jerman serta seni suara di salah satu sekolah swasta di Yogyakarta. Landung mengenal teater sejak di Sekolah Rakyat Santo Yusuf ketika diajak nonton oleh sang ayah dan gara-gara dipaksa gurunya. Berikut ini “biografi teater” Landung Simatupang seperti diceritakan kepada Tempo di taman dekat gedung Black Box Salihara sebelum pentas dimulai sore itu.
•••
SELEPAS sekolah menengah atas, saya bergabung dengan Teater Stemka dan Mandiri, Yogyakarta, yang konon didirikan oleh Putu Wijaya sebelum pindah ke Jakarta. Tapi, saat saya masuk, Mas Putu sudah di Jakarta. Saya pun ikut bermain drama di Fakultas Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, tempat saya kuliah mulai 1971. Lalu, bersama beberapa teman, pada 1974 saya mendirikan Teater Gadjah Mada, teater kampus yang masih lestari sampai saat ini.
Banyak orang mengira saya pendiri Teater Stemka. Bukan. Saya masuk ketika Teater Stemka sudah empat-lima tahun berjalan. Teater Stemka sempalan dari kelompok teater Mas Jasso Winarto, Teater Starka. Pendiri Stemka adalah Baroto. Teater Stemka tumbuh di lingkungan gereja, walaupun sejak awal anggotanya bukan hanya orang Katolik. Di Stemka, saya pertama kali bermain disutradarai oleh Baroto, mementaskan naskah terjemahan Dijebak Maut karya Munroe. Sementara itu, saat semester I di Fakultas Sastra, saya bermain dalam pementasan yang disutradarai oleh Mochtar Pabottingi, dipentaskan dalam rangka dies.
Saat Mas Mochtar menjadi sutradara di Fakultas Sastra, kelompok teater UGM itu belum berdiri. Setelah Mochtar lulus, saya dan beberapa teman—antara lain Haryoso, Suprapto Budi Santoso, dan Yuwono—mendirikan teater UGM. Yang mempertemukan kami adalah Teater Mandiri. Saat itu kami terlibat dalam pentas Dab-dab, versi awalnya Aduh. Seusai pentas itu, Haryoso kemudian mengajak mendirikan kelompok teater sendiri.
Di Teater Gadjah Mada, saya menerjemahkan dan mementaskan naskah Pencuri, lalu Macbett karya Eugène Ionesco. Zaman itu kuliah masih belum sistem kredit, jadi saya leluasa berteater. Saya lulus dari UGM pada 1983. Bayangkan, 12 tahun. Lulus sudah punya dua anak.
Landung Simatupang menampilkan pentas ceramah berjudul 50 Tahun Seni Peran di Jalur Olahraga Kesehatan di Teater Salihara, Jakarta, 13 Agustus 2024. Tempo/Ilham Balindra
Situasi perteateran di Yogyakarta pada 1970-an sangat hidup karena Mas Willy (W.S. Rendra) mendirikan Bengkel Teater pada 1967 dengan metode latihan akting, yang mengilhami anak-anak muda untuk meniru. Saat itu kelompok teater bermunculan. Mereka terilhami latihan dasar keaktoran di Bengkel Teater, yakni latihan alam, latihan tubuh, olah vokal, dan improvisasi. Saya sering nonton latihan anggota Bengkel Teater, tapi tidak tertarik masuk.
Saya memimpin Stemka karena pimpinan terdahulunya berloncatan ke Jakarta, setelah lulus kuliah, cari kerjaan. Saya memimpin Teater Stemka hampir bersamaan ketika saya ikut Teater Mandiri. Di tempat kami dulu ada latihan reguler. Ada-tidak ada pentas, kami tetap berlatih seminggu sekali. Kami meniru latihan alam ala Bengkel. Kami berlatih di sungai, di Parangtritis, atau lainnya. Juga pernah di Gunung Nglanggeran, tempat latihan pendakian gunung. Dulu kami harus merayap. Malamnya kami bikin pementasan apa pun sambil melatih improvisasi untuk penduduk sekitar. Saya nginep di tempat Lurah Nglanggeran. Lantai rumahnya masih tanah, panenannya ubi kayu. Saya ingat saat itu orang-orang kampung datang membawa obor, orang berjualan kacang. Terus intel datang, menanyakan izin pentas. Orang pada dangdutan, pakai rantang.
Di Yogya dulu ada arisan teater, berpindah dari kampung ke kampung. Tuan rumahnya adalah kelompok teater yang ada di kampung itu. Arisan teater isinya satu kelompok teater mementaskan cuplikan satu lakon yang hendak mereka pentaskan. Di situ ada dewan kurasi yang salah satu pemimpinnya adalah Azwar A.N.
Kalau ada kelompok teater yang mainnya dianggap benar, pentasnya akan dibiayai secara utuh oleh Azwar. Enggak tahu dia dapat uang dari mana. Belakangan, baru ketahuan dia mengetuk pintu ke Karsa, Komunikasi Artis Safari-Golkar. Ketika para teaterawan tahu, mereka berontak keluar karena tidak mau dipolitik-politikkan Golkar. Jadi berhentilah arisan teater itu setelah tiga-empat tahun berlangsung.
Saya juga ingat ketika Pak Umar Kayam mengepalai Lembaga Studi Kebudayaan Indonesia di UGM. Dia berinisiatif mengumpulkan anggota kelompok teater Yogya dalam sebuah pementasan yang disebut Galatama Teater. Itu ide Pak Kayam. Tapi Galatama Teater lama terealisasi karena terjadi saling iri siapa yang akan menyutradarai. Saya akhirnya ditunjuk menyutradarai. Pemainnya dari berbagai kelompok teater. Ada Tertib Suratmo dari Teater Dinasti, ada Moortri Poernomo. Jujuk Prabowo juga ikut main, sekali pentas. Waktu itu saduran saya, The King and the Rebels dari Hugo Betty, tentang revolusi dipentaskan.
Ya, saya memang suka menerjemahkan naskah Barat yang temanya menonjolkan aspek harkat kemanusiaan. Naskah-naskah Barat bagi saya menarik karena membebaskan pemikiran dan perspektif. Di Teater Stemka, saya sering merasa sedikit-banyak gagal dalam pementasan. Yang tingkat kegagalannya paling sedikit itu ketika pentas Kapai-kapai karya Arifin C. Noer. Pentas tersebut saat itu ditonton Umar Kayam dan diberi masukan. Di Stemka, saya juga pernah memainkan naskah Arifin yang lain, Tengul. Naskah Anggun Nan Tongga dari Wisran Hadi pun pernah saya pentaskan.
Naskah terjemahan yang pernah saya mainkan di Stemka, Pembunuhan di Katedral, dari teks T.S. Elliot, Murder in the Cathedral, melibatkan anak-anak gereja sebagai penyanyi kor. Pertunjukan ini sering dikenang karena agak kolosal. Saat naskah itu saya pentaskan di Yogya dan Semarang, ada eksperimen artistik hujan darah dan sebagainya. Saya mencoba menghadirkan layar plastik tipis dengan darah mengucur di depan adegan. Seingat saya, susah sekali menggarap Murder in the Cathedral karena drama ini bersajak. Harus dibaca, bukan diadegankan. Saya membimbing teman-teman pemain mengucapkan. Saat itu saya terilhami Bengkel Teater, yang selalu ada chorus.
Landung Simatupang (kiri) dalam sandiwara komedi karya Wid NS, berjudul "Pak RT" di TVRI Yogyakarta, 1973. Dok. Landung Simatupang
Komikus Hasmi pencipta Gundala dan Wid N.S. pencipta Godam saya ingat adalah anggota Stemka. Hasmi bermain dengan saya disutradarai Baroto dalam lakon Dijebak Maut. Kalau Wid N.S., dia ahlinya bikin kostum dan makeup. Pada 1970-an, Teater Stemka sering mengisi sandiwara televisi dengan naskah pendek karya Mas Hasmi dan Wid N.S.
Di luar negeri, saya pernah bermain di Swan Black Company di Perth, Australia. Saya bermain satu bulan penuh setelah berlatih rutin di Surabaya selama dua bulan. Dari hasil resensi, akting saya dipuji oleh media setempat.
•••
SAYA suka mengerjakan pementasan yang repertoarnya masih bertumpu pada kata. Zaman sekarang banyak teater tubuh, tapi saya katrok teater kata. Dalam perjalanan waktu, hal itu saya sebut pentas kata. Saya merasa pentas kata layak menjadi bentuk seni pertunjukan sendiri dengan didukung unsur-unsur lain, seperti musik dan tari.
Pada 1960-an, di Yogya, sebagai kanak-kanak, saya ingat sering diajak ayah nonton drama. Tapi saya sering tertidur karena, di panggung, kalimat-kalimat pemainnya diucapkan lirih, yang tidak saya dengar dan enggak tahu juga maknanya. Sebaliknya, selepas 1960-an, di Yogya yang menggejala adalah teater yang teriak-teriak, baik di pentas yang mengusung protes politik maupun yang tidak. Nah, saya cenderung berminat mengolah cara pelisanan yang tanpa teriak, dapat didengar dengan jelas dan mampu menampilkan nuansa yang bersumber dari kata sebagai bunyi yang asosiatif dan memancing gambaran visual, parsial, kinetis, atau formal.
Sewaktu SMA, saya beruntung mempunyai guru kesusastraan yang masih muda, energetik, dan kreatif. Namanya Gregorius Sugadi. Suatu hari ia membacakan kami, murid-muridnya, sebuah cerita pendek berjudul “Vickers Jepang” karya Nugroho Notosusanto yang terhimpun dalam Kumpulan Cerpen Tiga Kota. Saya terpesona, ternyata pembacaan cerpen menjadi sesuatu yang sangat menarik.
Landung Simatupang membaca puisi karya Kuntowijoyo bertajuk "Dilarang Mencintai Bunga" di Bentara Budaya Jakarta, 10 Juni 2004. Dok. Tempo/Usman Iskandar
Kemudian saya mendapat keberuntungan lagi setelah Doktor Umar Kayam mengepalai Lembaga Studi Kebudayaan Indonesia, tempat saya pernah ikut bekerja. Suatu hari, di kantor, Pak Kayam memperdengarkan rekaman kaset pembacaan cerpen “Kimono Biru buat Istri” karyanya yang dibacakan aktor Chaerul Umam. Itu membakar api semangat saya menekuni pembacaan cerpen, puisi, atau prosa lain sebagai bentuk pergelaran tersendiri yang bertumpu pada seni peran atau keaktoran.
Ternyata bisa ya cerpen disampaikan ke publik. Lalu saya membacakan cerpen “Sumarah” karya Pak Kayam. Saya senang sekali. Imajinasinya hidup sekali. Itu juga bisa dikasih bumbu, atraksi visual, kinetis yang lain. Dan, waktu itu, pementasan semacam ini belum ada yang menggarap. Ya sudah, ini saya bablaskan. Banyak cerpen lalu saya bacakan, yakni cerpen Danarto “Goldlob”, “Rintrik”; cerpen Pak Kuntowijoyo “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”; petilan novel Ashadi Siregar “Menolak Ayah”; dan cerpen Hamzah Rangkuti “Pispot”. Banyak sekali. Saya yakin yang diucapkan pemeran memang kata-kata, tapi yang disampaikan adalah interaksi, gambar hidup. Pelisanan memancing penonton sebagai pendengar membuat gambaran dari angan-angan mereka.
Saya pernah menulis naskah pementasan seputar biografi komponis Cornel Simanjuntak dan ketokohannya di masa pergolakan. Ayah saya adalah teman sekolah Cornel. Cornel tidak hanya menggubah “Maju Tak Gentar”, “Sorak-sorak Bergembira”, tapi juga menggubah lagu seni dari puisi penyair Sanusi Pane dan Usmar Ismail. Pementasan saya itu menampilkan beberapa lagu ciptaan Cornel yang dinyanyikan oleh kelompok paduan suara, penyanyi tunggal, dan kuintet.
Saat membacakan “Musim Gugur Kembali di Connecticut” karya Umar Kayam di sanggar Teater Populer di Tanah Abang, Jakarta Pusat, saya ingat respons Pak Kayam senang sekali. Waktu itu beliau sudah di kursi roda, sulit masuk ke gang tempat pertunjukan digelar. Tapi beliau bertahan. Di situ saya lega karena Pak Kayam senang. Saat membaca cerpen, saya selalu membawa teks cerpen tersebut agar penonton menyadari bahwa pementasan itu bermula dari teks. Boleh juga bila saya dikatakan sebagai pelopor pementasan baca cerpen yang melibatkan unsur lain, seperti musik dan skenografi.
Untuk urusan film, saya lambat masuk karena film butuh orang ganteng. Saya tidak ganteng, ha-ha-ha.... Film pertama saya Daun di Atas Bantal karya Garin Nugroho, jadi pacarnya Christine Hakim. Agak tua, tapi saya malah payu di film. Jadi dukun, jadi ustad, jadi apa lagi. Sewaktu muda, saya malah enggak laku di film. Saya bermain di video musik Sal Priadi. Setelah itu film Riri Riza, Sang Pemimpi; film Ifa Isfansyah Sang Penari, lalu Gadis Kretek. Nah, untuk film, saya cari yang waktu syutingnya pendek. Saya enggak tahan, enggak telaten menunggu syuting. Waktu kita habis. Apalagi saya pegang disiplin, kalau sudah di lokasi syuting, saya meninggalkan handphone. Pemain sekarang mau take saja masih WhatsApp-an, gimana mau main sungguhan masuk ke perannya? Tapi ada juga yang bisa. Kalau saya tidak bisa.
Untuk pemeranan di teater dan film, saya beruntung karena masih ada TVRI. Saya menulis naskah untuk pementasan sandiwara televisi. Sejak dini saya belajar takaran untuk main di panggung dan di depan kamera. Itu berbeda. Waktu itu pentas di TVRI disiarkan langsung, tidak direkam, tidak boleh salah atau lupa dialog. Benar-benar dag-dig-dug. Enggak boleh ada pembisiknya, kan kedengaran. Yang paling enak itu penataan fisiknya. Ada pohon yang daunnya kering enggak jadi masalah karena hitam-putih. Tapi, sebagai pemain, berat juga waktu itu.
Setiap kali melakukan seni pemeranan, saya melihat pengalaman menemukan sisi diri saya yang sebelumnya kurang atau belum saya sadari.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Seno Joko Suyono berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Landung Simatupang dan Dunia Kata-kata"