Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Kolaborasi Tiga Koreografer di Cagar Budaya Menhir Maek

Pentas koreografi kolaborasi tiga koreografer di antara bebatuan Megalitikum menhir di Nagari Maek, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

25 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pertunjukan dari kawasan Nagari Maek yang memiliki ribuan batu Megalitikum menutup Festival Maek pada Juli 2024.

  • Sebuah pentas koreografi dari kolaborasi tiga seniman dipertontonkan kepada masyarakat Nagari Maek di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

  • Anak-anak muda Nagari Maek dilibatkan dalam koreografi agar mengenal dan mencintai warisan sejarah di sekitar mereka.

DI bawah temaram cahaya, perempuan berbaju putih dengan selendang merah itu memasuki "panggung" di antara menhir Balai Batu, Nagari Maek, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Bulan purnama menggantung di langit. Ia memutar tubuh dan mengibaskan selendangnya, seperti memanggil yang lain. Beberapa penari lain, juga berkostum putih dengan beraneka warna selendang tersampir di bahu, menyusul perempuan itu. Mereka membawa obor bambu, mengelilingi perempuan berselendang merah yang terus menari. Sementara itu, sesosok pria setengah baya ikut meliukkan tubuh ke kiri dan kanan sembari memegang sebilah bambu. Seorang penari lain, perempuan berambut sebahu, melakukan hal yang sama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suara gesekan senar biola Sendi Orysal di tengah area Situs Balai Batu mengalun mengiringi para penari. Suasana terasa khidmat, syahdu, di area yang dipenuhi tonjolan bebatuan kuno itu. Pandangan penonton terpaku kepada para penari. Tak ada suara obrolan yang terdengar. Lampu kuning dari aliran listrik sesekali diarahkan kepada para penari. Penerangan dari batok kelapa dengan bahan bakar minyak ditempatkan di sekeliling mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para pemain musik yang berada di belakang penari mengiringi tarian-tarian itu. Secara tiba-tiba, para penari berlari serentak ke sisi lain kawasan menhir. Mereka melanjutkan tarian dengan gerakan yang tidak lagi teratur. Ada yang menggerakkan tangan ke kiri dan kanan sambil berjalan, ada yang menari sambil memeluk menhir, ada juga yang memutari batu menjulang. Mereka seakan-akan ingin menyatu dengan bebatuan. Tarian itu diakhiri dengan gerak para penari yang berkumpul di tengah sembari menggoyangkan badan ke kiri dan kanan.

Pertunjukan tersebut merupakan penutup rangkaian Festival Maek yang digelar mulai 18 Juli 2024 di Sumatera Barat. Tarian berjudul Masa yang mengusung tema ritual itu dirancang oleh Jefri Andi Usman, koreografer berdarah Minangkabau. Ia menjelaskan, Masa adalah wadah pencarian identitas dengan melakukan bolak-balik gerak, timbul-tenggelam bunyi dari hilir-mudik panggung. Koreografi ini ingin menemukan simbol yang hilang pengertian oleh arus sungai, mengklasifikasi bentuk batu yang meloncat-lenyap ke dalam hutan, sekaligus menyingkap narasi yang terkubur begitu dalam.

Tarian yang berjudul “Masa” yang menjadi penutup dari rangkaian Festival Maek, di kawasan Menhir Maek, Nagari Maek, Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Juli 2024. Tempo/Fachri Hamzah

“Mungkin ini ikhtiar yang utopis. Namun, di jalan, ada batu anting yang siap menangkap pantulan hari lalu dan hari ini,” kata Jefri.

Jefri dibantu oleh Bianca Sere Pulungan asal Jerman dan Janette Hoe dari Australia. Pertunjukan itu juga melibatkan 16 anak muda dari Nagari Maek.

Jefri menyiapkan pertunjukan itu sejak Mei 2024 dengan menyeleksi anak-anak muda yang berpotensi terlibat. Ia menginginkan anak-anak muda itu terlibat dalam tarian sekaligus mengajak mereka memahami sejarah serta tanggung jawab menjaga dan menghidupkannya kembali. “Tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tapi juga bagi dunia,” ujarnya kepada Tempo

Proyek seni ini merupakan kolaborasi lintas negara untuk mengenalkan dan menghidupkan kembali menhir Maek melalui gerakan dan tari kontemporer. Pertunjukan melibatkan penari profesional dan orang-orang yang belum pernah menari ataupun bermusik, sebuah perjalanan kreatif yang unik. “Mereka bukan penari profesional, bukan pula musikus. Mereka orang-orang biasa yang tergerak oleh rasa ingin tahu dan keinginan belajar,” kata Jefri.

Selama tiga hari mereka diberi pelatihan dasar mengenai penguasaan tubuh dan teknik pernapasan, serta pemahaman tentang gerakan tubuh. Waktu yang terbatas membuat mereka hanya mampu mempelajari dasar-dasarnya. Namun hal ini sudah cukup untuk memulai perjalanan mereka. “Mereka berlatih di hadapan menhir, diperkenalkan pada kekuatan spiritual batu itu, bagaimana menyatu dengan alam dan menghidupkan simbol-simbol kuno yang terukir di batu tersebut,” tutur Jefri.

Pentas ini tak hanya mengajarkan gerakan tari, tapi juga ihwal memahami dan menghormati alam. Para peserta diajari membaca simbol-simbol di menhir dan menerjemahkannya ke dalam bahasa tubuh mereka sendiri. Mereka tidak diminta mengikuti pola gerak tertentu, tapi menemukan cara mereka sendiri menyatu dengan alam. Mereka juga diajari berdisiplin serta bersikap menghormati waktu, tempat, dan penari lain serta hubungan dengan alam.

Bersama dua koreografer mancanegara itu, Jefri mengarahkan para penari yang berlatih secara intensif selama enam jam tiap pagi dan sore. Dari latihan ini mereka menemukan potensi-potensi para anak muda yang selama ini terpendam, seperti bakat musik dan vokal. Hal inilah yang kemudian dikembangkan menjadi bagian dari pertunjukan.

Saat malam tiba, Jefri menambahkan, penari tampil di bawah cahaya bulan purnama, menyatu dengan alam dan menhir, mempersembahkan hasil kerja keras kepada alam. Bulan purnama yang muncul pada hari pertunjukan seakan-akan menjadi tanda bahwa alam mendukung dan merestui usaha ini. “Melalui pertunjukan ini, menhir bukan lagi sekadar batu kuno; ia menjadi simbol hidup dari sejarah yang panjang, sebuah penghubung antara masa lalu dan masa depan,” ucapnya.

Tarian yang berjudul “Masa” yang menjadi penutup dari rangkaian Festival Maek, di kawasan Menhir Maek, Nagari Maek, Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Juli 2024. Tempo/Fachri Hamzah

Bianca Sere Pulungan menceritakan pengalamannya berkolaborasi dengan anak-anak muda Nagari Maek. Dia menjelaskan, pertunjukan ini berfokus pada upaya mengaktifkan energi menhir, situs cagar budaya yang memiliki nilai spiritual tinggi. “Dalam persiapannya, saya dan tim berhari-hari berlatih di menhir tersebut, mencoba merasakan dan menyatukan energi dari batu-batu besar yang menjadi pusat pertunjukan,” tuturnya.

Meski sudah berhari-hari berlatih, dia mengaku pada awalnya tidak merasakan energi yang kuat dari menhir tersebut. Fokusnya masih tertuju pada pembuatan koreografi dan menari sehingga belum sepenuhnya bisa terhubung dengan energi spiritual menhir.

Namun, pada malam pertunjukan, perempuan itu merasakan perbedaan yang signifikan. Saat dia menari di depan menhir yang besar dan berdiri tegak, batu itu seolah-olah menjadi teman yang akrab. “Saya juga melihat perubahan di mata teman-temannya yang lain, mencerminkan rasa sakral yang mendalam,” ujar Pulungan. Ia sangat terkesima ketika pertama kali datang ke Maek dan melihat batu-batu menhir itu. Ia merasakan sebuah tanggung jawab besar, betapa pentingnya situs ini bagi penduduk Nagari Maek.

Di Jerman, dia juga mengajari anak-anak muda yang tidak memiliki latar belakang tari. Pengalaman ini sangat membantunya dalam kolaborasi dengan anak-anak muda di Nagari Maek, menciptakan rasa percaya diri dan keterbukaan yang memungkinkan proses kreatif berjalan lancar.

“Pertunjukan ini bukan sekadar tarian, tapi sebuah penghormatan terhadap sejarah dan spiritualitas menhir, setiap gerakan penari menjadi bentuk penghormatan terhadap batu-batu suci tersebut," ucap Pulungan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sebuah 'Ritual Megalitikum' di Bawah Purnama"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus