Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Transmigrasi Atau Hutan Produksi?

Penyiapan areal pemukiman transmigrasi di Subussalam, Aceh mengalami keterlambatan karena ada protes dari Dinas Kehutanan Aceh menganggap hutan yang dibabat untuk areal tersebut merupakan hutan produktif. (dh)

24 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABUPATEN Aceh Selatan masih tertutup dan sulit berkembang. Sarana jalan menuju ke sana belum memadai, penduduknya pun masih amat langka. Itulah sebabnya, 3 tahun lalu, Almarhum Madjid Ibrahim (Gubernur Daerah Istimewa Aceh waktu itu) menyetujui pembukaan hutan di Desa Subulussalam, 850 km dari Banda Aceh, sebagai lokasi transmigrasi. Alasan pemilihan itu antara lain juga karena Subulussalam termasuk kawasan yang subur di antara lokasi-lokasi transmigrasi lainnya diprovinsi tersebut. Selain itu desa tersebut juga sudah bisa dicapai dari Tapaktuan, ibukota Aceh Selatan, meskipun jalan sepanjang 132 km yang menghubungkan kedua tempat itu belum sempurna betul. Dari Medan desa tersebut dapat ditempuh selama 5 jam, sebab jalan yang menghubungkannya sepanjang 225 km cukup baik. Menurut rencana, 6.000 kk transmigran akan ditempatkan di Subulussalam, 90% dari Jawa, sisanya transmigran lokal. Akhir bulan ini mestinya 2.250 kk angkatan pertama sudah ditempatkan di sana. Tapi karena penyiapan lokasi itu terlambat, rencana tersebut tidak dapat dipenuhi sesuai dengan jadwal. Keterlambatan itu antara lain karena sulit mendatangkan alat-alat besar seperti traktor atau buldoser ke Subulussalam. Karena itu pembabatan hutan yang seharusnya dimulai Mei lewat, baru terlaksana dua bulan kemudian. Instruksi Tapi menurut Ir. Anhar Mozasa, Kepala Proyek PLPT (Penyiapan Lahan Pemukiman Transmigrasi) di Subulussalam, keterlambatan itu antara lain karena ada protes dari Dinas Kehutanan Aceh. Pihak kehutanan sudah berkali-kali melancarkan protes, termasuk dengan cara pemanggilan oleh kepolisian, karena menganggap hutan yang dibabat PLPT masih merupakan hutan produktif. Hal itu diungkapkan Anhar kepada dua anggota DPR-RI, Drs. H. Sjufri Helmy Tandjung dan H. Djamaluddin Tarigan, yang dua minggu lalu meninjau Subulussalam. Menurut Anhar, dari 3.600 ha hutan yang telah ditebang, hanya sepertiga yang produktif yang mengandung kayu kamper. Selain itu kawasan yang dibabat itu sebenarnya sudah ditebangi oleh pemegang konsesi sejak 11 tahun silam. "Karena itu sulit diterima akal kalau hutan itu masih dianggap produktif," katanya. "Bahwa pembabatan itu akan menimbulkan erosi tak perlu dikhawatirkan, sebab kawasan yang kami buka cukup datar," tambah Anhar. Di lain pihak, Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Ir. H. Achmad Rachmady membantah bahwa keterlambatan penyiapan areal pemukiman itu disebabkan protes dari pihaknya. Menurut Achmad, satu di antara empat SKP (satuan kawasan pemukiman) di areal yang dibabat PLPT itu ternyata terletak di luar wilayah yang disarankan oleh Dirjen Kehutanan. Sedang tiga SKP lainnya -yang sebenarnya juga menyimpang dari rencana--tidak dipersoalkan olen Dinas Kehutanan. Selain itu ada satu SKP, yaitu SKP A, yang selain terletak di luar lokasi yang disarankan juga masih merupakan hutan produksi yang utuh. Dalam rapat antara Ditjen Kehutanan dan Ditjen Bina Marga pertengahan Agustus di Jakarta, dilaporkan bahwa ada 600 ha di SKP A yang telanjur dibuka. "Mendengar laporan itu tak ada pilihan lain bagi kehutanan kecuali menyetujui," kata Rachmady. Ketika pulang ke Aceh, Rachmady menerima laporan dari Dinas Kehutanan setempat bahwa ternyata areal yang 600 ha di SKP A itu belum dibabat sama sekali. "Itulah sebabnya saya lantas melarang agar hutan di sana itu jangan diganggu," katanya lagi. Tapi peringatan dari Dinas Kehutanan ini rupanya tidak digubris PLPT. Pembabatan hutan pun berjalan terus. Sebab, seperti dikatakan oleh Anhar Mozasa dari PLPT, pihaknya tidak pernah menerima tembusan dari keputusan rapat di Jakarta tersebut. "Saya malah mendapat instruksi dari Kepala PU Aceh agar meneruskan pekerjaan," katanya. Hal itu diperkuat oleh Ir. Sudarsono, Direktur PLPT Pusat yang berada di bawah Ditjen Bina Marga: "Proyek Subulussalam tak ada soal, artinya bisa jalan terus." Mengenai pertemuan di Jakarta pada pertengahan Agustus, menurut Kepala Humas Departemen PU Soeroyo B.E. baru merupakan forum konsultasi sebelum prsgram PLPT dibawa ke Bakoptrans (Badan Koordinasi Penyiapan Transmigrasi). "Tapi dalam rapat Tim Teknis Bakoptrans di Cipayung akhir September lalu, penyiapan pemukiman di Subulussalam tidak termasuk yang harus ditunda. Ini yang penting," kata Soeroyo. Dengan begitu tak ada masalah lagi. Hutan Subulussalam yang dibuka PLPT itu seluas 10.800 ha dari 180.000 ha hutan konsesi yang semula dikuasai oleh CV Asdal. Perusahaan perkayuan pemegang HPH ini rupanya juga menambah sengketa yang telah ada. CV Asdal merasa dirugikan oleh PT Huguria, yang menjadi kontraktor pembabatan hutan dari PLPT. Kabarnya PT Huguria mendapat hak memungut kayu di atas areal yang dibabat, sementara CV Asdal belum sempat memetik produksi dari bagian HPH-nya itu. Sengketa rebutan hutan seperti di Aceh Selatan itu juga pernah terjadi di Kal-Tim dan Sum-Sel. "Persoalannya sama saja, yaitu mengenai perbedaan penafsiran mengenai batas wilayah yang boleh dan tidak boleh dibabat," kata Soeroyo B.L. Yang paling ramai adalah kasus Pasir Pangaraian, Riau. Kawasan hutan yang dibuka oleh PLPT lewat kontraktor PT Benyamin Brothers di Kecamatan Tambusai, Kabupaten Kampar, oleh pihak kehutanan dianggap hutan produksi yang HPH-nya dikuasai oleh PT Murini Timber. Disodok Traktor Selain itu pembabatan tersebut juga menyenggol hutan pistol (karena bentuk wilayahnya menyerupai pistol) seluas 1 juta ha yang merupakan penyelamat sumber aliran Sungai Rokan. Berdasarkan laporan kehutanan itu, pada September 1980 Gubernur Riau Imam Munandar segera menghentikan kegiatan PLPT tersebut. "Dan baru Juni 1981 lokasi itu dikerjakan kembali, setelah dibicarakan di tingkat pusat " kata Sekwilda Riau Syarifuddin Lubis SH. Ketika itu bahkan Dirjen Kehutanan, Sudjarwo, sendiri turun meninjau ke lapangan. Kepada TEMPO, ketika itu Soedjarwo mengakui bahwa dalam prioritas pemanfaatan hutan, proyek transmigrasi lebih diutamakan daripada kepentingan pemegang HPH. Tapi dari tujuh SKP di Riau satu di antaranya dibatalkan karena benar-benar terletak di hutan yang masih produktif. Menurut seorang pejabat Bappeda Riau, hampir 50% lokasi transmigrasi yang direncanakan di provinsi itu terletak tumpang-tindih dengan hutan produksi dan hutan lindung. Ketika muncul instruksi presiden agar lokasi transmigrasi tidak menempati hutan produksi dan hutan primer, di Riau ada delapan lokasi yang harus ditinjau kembali. Kecemasan hancurnya potensi hutan di Riau karena disodok traktor untuk pemukiman transmigrasi memang sudah lama. Di Belilas, Kabupaten Indragiri Hulu dan di Teluk Kuantan, misalnya. Kedua lokasi itu terletak di hutan primer yang produksinya masih di atas 50 meter kubik per ha. Bupati Indragiri Hulu, Dul Harsono SH, geleng-geleng kepala melihat ratusan meter kubik kayu berkualitas baik bergelimpangan tanpa dimanfaatkan. Kayu-kayu berdiameter 50 cm itu ditebang, kemudian dibakar begitu saja. "Jutaan dollar menjadi abu," kata Bupati Dul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus