KABUPATEN Aceh Selatan masih tertutup dan sulit berkembang.
Sarana jalan menuju ke sana belum memadai, penduduknya pun masih
amat langka. Itulah sebabnya, 3 tahun lalu, Almarhum Madjid
Ibrahim (Gubernur Daerah Istimewa Aceh waktu itu) menyetujui
pembukaan hutan di Desa Subulussalam, 850 km dari Banda Aceh,
sebagai lokasi transmigrasi. Alasan pemilihan itu antara lain
juga karena Subulussalam termasuk kawasan yang subur di antara
lokasi-lokasi transmigrasi lainnya diprovinsi tersebut.
Selain itu desa tersebut juga sudah bisa dicapai dari Tapaktuan,
ibukota Aceh Selatan, meskipun jalan sepanjang 132 km yang
menghubungkan kedua tempat itu belum sempurna betul. Dari Medan
desa tersebut dapat ditempuh selama 5 jam, sebab jalan yang
menghubungkannya sepanjang 225 km cukup baik. Menurut rencana,
6.000 kk transmigran akan ditempatkan di Subulussalam, 90% dari
Jawa, sisanya transmigran lokal.
Akhir bulan ini mestinya 2.250 kk angkatan pertama sudah
ditempatkan di sana. Tapi karena penyiapan lokasi itu terlambat,
rencana tersebut tidak dapat dipenuhi sesuai dengan jadwal.
Keterlambatan itu antara lain karena sulit mendatangkan
alat-alat besar seperti traktor atau buldoser ke Subulussalam.
Karena itu pembabatan hutan yang seharusnya dimulai Mei lewat,
baru terlaksana dua bulan kemudian.
Instruksi
Tapi menurut Ir. Anhar Mozasa, Kepala Proyek PLPT (Penyiapan
Lahan Pemukiman Transmigrasi) di Subulussalam, keterlambatan itu
antara lain karena ada protes dari Dinas Kehutanan Aceh. Pihak
kehutanan sudah berkali-kali melancarkan protes, termasuk dengan
cara pemanggilan oleh kepolisian, karena menganggap hutan yang
dibabat PLPT masih merupakan hutan produktif.
Hal itu diungkapkan Anhar kepada dua anggota DPR-RI, Drs. H.
Sjufri Helmy Tandjung dan H. Djamaluddin Tarigan, yang dua
minggu lalu meninjau Subulussalam. Menurut Anhar, dari 3.600 ha
hutan yang telah ditebang, hanya sepertiga yang produktif yang
mengandung kayu kamper. Selain itu kawasan yang dibabat itu
sebenarnya sudah ditebangi oleh pemegang konsesi sejak 11 tahun
silam. "Karena itu sulit diterima akal kalau hutan itu masih
dianggap produktif," katanya. "Bahwa pembabatan itu akan
menimbulkan erosi tak perlu dikhawatirkan, sebab kawasan yang
kami buka cukup datar," tambah Anhar.
Di lain pihak, Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Ir. H. Achmad
Rachmady membantah bahwa keterlambatan penyiapan areal pemukiman
itu disebabkan protes dari pihaknya. Menurut Achmad, satu di
antara empat SKP (satuan kawasan pemukiman) di areal yang
dibabat PLPT itu ternyata terletak di luar wilayah yang
disarankan oleh Dirjen Kehutanan. Sedang tiga SKP lainnya -yang
sebenarnya juga menyimpang dari rencana--tidak dipersoalkan olen
Dinas Kehutanan.
Selain itu ada satu SKP, yaitu SKP A, yang selain terletak di
luar lokasi yang disarankan juga masih merupakan hutan produksi
yang utuh. Dalam rapat antara Ditjen Kehutanan dan Ditjen Bina
Marga pertengahan Agustus di Jakarta, dilaporkan bahwa ada 600
ha di SKP A yang telanjur dibuka. "Mendengar laporan itu tak ada
pilihan lain bagi kehutanan kecuali menyetujui," kata Rachmady.
Ketika pulang ke Aceh, Rachmady menerima laporan dari Dinas
Kehutanan setempat bahwa ternyata areal yang 600 ha di SKP A itu
belum dibabat sama sekali. "Itulah sebabnya saya lantas melarang
agar hutan di sana itu jangan diganggu," katanya lagi. Tapi
peringatan dari Dinas Kehutanan ini rupanya tidak digubris PLPT.
Pembabatan hutan pun berjalan terus. Sebab, seperti dikatakan
oleh Anhar Mozasa dari PLPT, pihaknya tidak pernah menerima
tembusan dari keputusan rapat di Jakarta tersebut. "Saya malah
mendapat instruksi dari Kepala PU Aceh agar meneruskan
pekerjaan," katanya. Hal itu diperkuat oleh Ir. Sudarsono,
Direktur PLPT Pusat yang berada di bawah Ditjen Bina Marga:
"Proyek Subulussalam tak ada soal, artinya bisa jalan terus."
Mengenai pertemuan di Jakarta pada pertengahan Agustus, menurut
Kepala Humas Departemen PU Soeroyo B.E. baru merupakan forum
konsultasi sebelum prsgram PLPT dibawa ke Bakoptrans (Badan
Koordinasi Penyiapan Transmigrasi). "Tapi dalam rapat Tim Teknis
Bakoptrans di Cipayung akhir September lalu, penyiapan pemukiman
di Subulussalam tidak termasuk yang harus ditunda. Ini yang
penting," kata Soeroyo. Dengan begitu tak ada masalah lagi.
Hutan Subulussalam yang dibuka PLPT itu seluas 10.800 ha dari
180.000 ha hutan konsesi yang semula dikuasai oleh CV Asdal.
Perusahaan perkayuan pemegang HPH ini rupanya juga menambah
sengketa yang telah ada. CV Asdal merasa dirugikan oleh PT
Huguria, yang menjadi kontraktor pembabatan hutan dari PLPT.
Kabarnya PT Huguria mendapat hak memungut kayu di atas areal
yang dibabat, sementara CV Asdal belum sempat memetik produksi
dari bagian HPH-nya itu.
Sengketa rebutan hutan seperti di Aceh Selatan itu juga pernah
terjadi di Kal-Tim dan Sum-Sel. "Persoalannya sama saja, yaitu
mengenai perbedaan penafsiran mengenai batas wilayah yang boleh
dan tidak boleh dibabat," kata Soeroyo B.L. Yang paling ramai
adalah kasus Pasir Pangaraian, Riau. Kawasan hutan yang dibuka
oleh PLPT lewat kontraktor PT Benyamin Brothers di Kecamatan
Tambusai, Kabupaten Kampar, oleh pihak kehutanan dianggap hutan
produksi yang HPH-nya dikuasai oleh PT Murini Timber.
Disodok Traktor
Selain itu pembabatan tersebut juga menyenggol hutan pistol
(karena bentuk wilayahnya menyerupai pistol) seluas 1 juta ha
yang merupakan penyelamat sumber aliran Sungai Rokan.
Berdasarkan laporan kehutanan itu, pada September 1980 Gubernur
Riau Imam Munandar segera menghentikan kegiatan PLPT tersebut.
"Dan baru Juni 1981 lokasi itu dikerjakan kembali, setelah
dibicarakan di tingkat pusat " kata Sekwilda Riau Syarifuddin
Lubis SH.
Ketika itu bahkan Dirjen Kehutanan, Sudjarwo, sendiri turun
meninjau ke lapangan. Kepada TEMPO, ketika itu Soedjarwo
mengakui bahwa dalam prioritas pemanfaatan hutan, proyek
transmigrasi lebih diutamakan daripada kepentingan pemegang HPH.
Tapi dari tujuh SKP di Riau satu di antaranya dibatalkan karena
benar-benar terletak di hutan yang masih produktif. Menurut
seorang pejabat Bappeda Riau, hampir 50% lokasi transmigrasi
yang direncanakan di provinsi itu terletak tumpang-tindih dengan
hutan produksi dan hutan lindung. Ketika muncul instruksi
presiden agar lokasi transmigrasi tidak menempati hutan produksi
dan hutan primer, di Riau ada delapan lokasi yang harus ditinjau
kembali.
Kecemasan hancurnya potensi hutan di Riau karena disodok traktor
untuk pemukiman transmigrasi memang sudah lama. Di Belilas,
Kabupaten Indragiri Hulu dan di Teluk Kuantan, misalnya. Kedua
lokasi itu terletak di hutan primer yang produksinya masih di
atas 50 meter kubik per ha. Bupati Indragiri Hulu, Dul Harsono
SH, geleng-geleng kepala melihat ratusan meter kubik kayu
berkualitas baik bergelimpangan tanpa dimanfaatkan. Kayu-kayu
berdiameter 50 cm itu ditebang, kemudian dibakar begitu saja.
"Jutaan dollar menjadi abu," kata Bupati Dul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini