Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Selamat Jalan, Buruh Tani

Desa-desa di daerah Bandung kekurangan buruh tani, mereka disedot perusahaan-perusahaan dan proyek-proyek pembangunan, sawah-sawah terancam gagal panen. (ds)

24 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AREAL pertanian di Kabupaten Bandung (Jawa Barat) hampir kehabisan buruh tani. Mereka tersedot ke pabrik-pabrik atau proyek-proyek pembangunan di kota. Akibatnya sawah-sawah di kawasan itu kekurangan tenaga pencangkul. Apalagi karena tenaga hewan pembajak yang dulu membantu manusia menggarap sawah, juga mulai langka karena tempat penggembalaan semakin sempit. Buruh tani di Kabupaten Karawang dan Indramayu dikenal sebagai buruh musiman. Di musim kemarau, ketika tidak ada kegiatan di sawah, mereka membanjiri Jakarta menjadi buruh bangunan atau penarik becak. Di musim tanam dan panen, mereka kembali mudik menjadi buruh pencangkul dan penuai padi. Tapi di kawasan Kabupaten Bandung, sekali seorang buruh tani bekerja di kota, seterusnya ia pun enggan kembali berlumur lumpur di sawah. Semakin langkanya buruh uni di Kabupaten Bandung, bulan lalu menjadi pembicaraan utama dalam pertemuan kontak tani di Kecamatan Ibun. Pertemuan itu antara lain menyimpulkan, kekurangan buruh tani di daerah Bandung mulai terasa sejak pembangunan fisik di Bandung dan sekitarnya meningkat. Tapi terutama sejak berdirinya beberapa abrik tekstil di kawasan itu. Sejak 4 tahun lalu misalnya, Dodo, pemuda uni dari Desa Manggahang, Kecamatan Ciparay, menjadi tukang laden (pembantu pengaduk semen) pada perusahaan bangunan PT Jasa Kencana, Bandung. Dibanding dengan upah sebagai buruh tani yang hanya Rp 750/hari (ditambah makan sekali), pendapatan sebagai buruh bangunan memang lebih menggiurkan. "Sebagai tukang laden saja, saya menerima upah dua kali lipat daripada upah pencangkul," kata Dodo yang hanya tamat SD itu. Udin Jaenudin, tamatan STN sejak beberapa tahun ini sudah tidak lagi menyandang cangkul. Ia kini menjadi Kepala Bagian Teknik PT Habsatex di Majalaya -- sebuah perusahaan yang 90% buruhnya berasal dari buruh tani. Gajinya Rp 18.000 seminggu, ditambah tunjangan hari raya dan satu stel pakaian setiap tahun. Udin juga merasa bangga karena ketujuh anaknya tidak lagi menjadi buruh tani. "Semua bekerja di pabrik," katanya. Seorang buruh harian di perusahaan itu menerima paling sedikit Rp 1.400/ hari. Selain mendapat tunjangan hari raya dan satu stel pakaian setiap tahun, mereka juga mendapat tunjangan kesehatan. Tak ketinggalan jaminan asuransi dari Astek (asuransi tenaga kerja). Buruh-buruh wanita juga mendapat Cuti hamil 3 bulan. Meski begitu masih ada sekitar 25% dari 175 buruh di perusahaan itu yang pulang kampung setiap musim tanam dan panen. Di Kabupaten Bandung terdapat lebih dari 70.000 ha sawah, di antaranya 58.000 ha mengikuti program insus (intensifikasi khusus untuk masa tanam 1981/82 ini. Adapun jumlah buruh tani, menurut catatan tahun 1980 terdapat sekitar 100.000 lebih. Tahun ini jumlah tersebut sudah berkurang. Tanpa menyebut angka-angka, menurut kalangan Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, jumlah buruh tani yang masih ada kini tak cukup untuk menggarap areal sawah di daerah ini. Tak heran kalau petani seperti Cahman, 62 tahun, setiap hari terpaksa turun sawah sendirian. Di Desa Manggahang, ia mencangkul seJak payi-pagi hingga matahari terbenam. Untuk menyelesaikan sawah 1 ha, dulu biasa dikerjakan 10 buruh pencangkul dibantu serakit (sepasang) kerbau, dan selesai dalam 3 hari. Sekarang tak seorang pun yang membantu Cahman. "Kalau tidak selesai dalam dua hari ini, saya khawatir panen akan gagal," katanya. "Sekarang ini sulit sekali mencari buruh pencangkul. Kalaupun ada, usianya sudah pada lanjut," kata Cahman lagi. Keempat anak Cahman yang kini bersekolah di Bandung, tidak ada yang bersedia menggarap sawah. "Kalau sudah selesai bersekolah mereka ingin jadi pegawai dan tinggal di kota. Padahal kalau panen tak lupa mereka menulis surat minta dikirimi padi hasil sawah ini," katanya bersungut. Langkanya buruh tani itu semakin merepotkan desa-desa yang mengikuti program insus. Sebab salah satu ketentuan insus yang menyebutkan: masa tanam harus dilakukan secara serentak dan selesai dalam waktu 20 hari. Di Desa Kianroke, Kecamatan Banjaran misalnya, setiap musim tanam kekurangan buruh tani tak selalu menjadi masalah. Di sana ada 80 ha sawah yang diinsuskan--dan untuk mengerjakannya seharusnya tersedia sekurangnya 400 orang buruh tani secara serentak. "Di musim tanam sangat mustahil mengerahkan tenaga sebanyak itu dan secara serempak pula," ujar Haji Masykur, Ketua Mitra Cai (perkumpulan pemakai air) di Kianroke. Kekurangan buruh tani itu sebenarnya bisa diimbangi dengan tenaga kerbau. Dulu, di Kianroke masih cukup banyak tenaga pembajak itu. Tapi sekarang, seperti halnya buruh tani, ternak seperti kerbau juga semakin langka. Hal itu antara lain karena areal penggembalaan makin sempit. Menurut Ikim Sutarman, Kepala Desa Kianroke, kerbau di desanya kini tinggal 10 ekor saja. Mendesak Buruh Kianroke, 30 km dari Bandung, termasuk desa subur. Di sana terdapat 258 ha sawah, di antaranya 125 ha mendapat air dari irigasi teknis dan dengan panen 3 kali setahun. Dari jumlah penduduknya yang 6.788 jiwa, kini hanya tinggal sekitar 226 orang yang tetap menjadi buruh tani. Tenaga yang sedikit itu tentu tak mampu menggarap semua sawah yang ada. Untuk mengerjakan 258 ha sawah, diperlukan lebih dari 1.000 orang buruh tani. Kalau mau melaksanakan insus sesuai dengan peraturan dan jadwal yang ditentukan, menurut Masykur, harus dibantu traktor. Untuk menggarap 80 ha sawah itu, cukup dibutuhkan lima traktor. "Kalau lebih dari itu akan mendesak tenaga buruh tani yang masih bersedia menjadi tenaga pencangkul. Mereka nanti jadi menganggur," kata Masykur. Kapasitas setiap traktor kira-kira sama dengan 20 orang. Traktor-traktor pembajak itu kini memang mulai diturunkan di beberapa desa di Kabupaten Bandung. "Tapi pengoperasiannya harus selektif, yaitu hanya di daerah industri yang benar-benar kekurangan buruh tani," kata Dedi Adeli, Kepala Sub Mekanisasi Dinas Pertanian Kabupaten Bandung. Menurut perhitungannya, kini dibutuhkan sekitar 900 traktor, padahal yang tersedia baru 256 buah. Para petani di Kabupaten Bandung belakangan ini mulai senang pada traktor. Tak kurang dari 70 petani telah mengajukan kredit kepada BRI untuk mendapatkan alat pembajak baru itu. Tapi sejak beberapa bulan terakhir ini pihak BRI menyetop kredit traktor itu. Alasannya: banyak traktor yang rusak atau terbengkalai karena para petani belum pandai memeliharanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus