AREAL pertanian di Kabupaten Bandung (Jawa Barat) hampir
kehabisan buruh tani. Mereka tersedot ke pabrik-pabrik atau
proyek-proyek pembangunan di kota. Akibatnya sawah-sawah di
kawasan itu kekurangan tenaga pencangkul. Apalagi karena tenaga
hewan pembajak yang dulu membantu manusia menggarap sawah, juga
mulai langka karena tempat penggembalaan semakin sempit.
Buruh tani di Kabupaten Karawang dan Indramayu dikenal sebagai
buruh musiman. Di musim kemarau, ketika tidak ada kegiatan di
sawah, mereka membanjiri Jakarta menjadi buruh bangunan atau
penarik becak. Di musim tanam dan panen, mereka kembali mudik
menjadi buruh pencangkul dan penuai padi. Tapi di kawasan
Kabupaten Bandung, sekali seorang buruh tani bekerja di kota,
seterusnya ia pun enggan kembali berlumur lumpur di sawah.
Semakin langkanya buruh uni di Kabupaten Bandung, bulan lalu
menjadi pembicaraan utama dalam pertemuan kontak tani di
Kecamatan Ibun. Pertemuan itu antara lain menyimpulkan,
kekurangan buruh tani di daerah Bandung mulai terasa sejak
pembangunan fisik di Bandung dan sekitarnya meningkat. Tapi
terutama sejak berdirinya beberapa abrik tekstil di kawasan itu.
Sejak 4 tahun lalu misalnya, Dodo, pemuda uni dari Desa
Manggahang, Kecamatan Ciparay, menjadi tukang laden (pembantu
pengaduk semen) pada perusahaan bangunan PT Jasa Kencana,
Bandung. Dibanding dengan upah sebagai buruh tani yang hanya Rp
750/hari (ditambah makan sekali), pendapatan sebagai buruh
bangunan memang lebih menggiurkan. "Sebagai tukang laden saja,
saya menerima upah dua kali lipat daripada upah pencangkul,"
kata Dodo yang hanya tamat SD itu.
Udin Jaenudin, tamatan STN sejak beberapa tahun ini sudah tidak
lagi menyandang cangkul. Ia kini menjadi Kepala Bagian Teknik PT
Habsatex di Majalaya -- sebuah perusahaan yang 90% buruhnya
berasal dari buruh tani. Gajinya Rp 18.000 seminggu, ditambah
tunjangan hari raya dan satu stel pakaian setiap tahun. Udin
juga merasa bangga karena ketujuh anaknya tidak lagi menjadi
buruh tani. "Semua bekerja di pabrik," katanya.
Seorang buruh harian di perusahaan itu menerima paling sedikit
Rp 1.400/ hari. Selain mendapat tunjangan hari raya dan satu
stel pakaian setiap tahun, mereka juga mendapat tunjangan
kesehatan. Tak ketinggalan jaminan asuransi dari Astek (asuransi
tenaga kerja). Buruh-buruh wanita juga mendapat Cuti hamil 3
bulan. Meski begitu masih ada sekitar 25% dari 175 buruh di
perusahaan itu yang pulang kampung setiap musim tanam dan panen.
Di Kabupaten Bandung terdapat lebih dari 70.000 ha sawah, di
antaranya 58.000 ha mengikuti program insus (intensifikasi
khusus untuk masa tanam 1981/82 ini. Adapun jumlah buruh tani,
menurut catatan tahun 1980 terdapat sekitar 100.000 lebih. Tahun
ini jumlah tersebut sudah berkurang. Tanpa menyebut angka-angka,
menurut kalangan Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, jumlah buruh
tani yang masih ada kini tak cukup untuk menggarap areal sawah
di daerah ini.
Tak heran kalau petani seperti Cahman, 62 tahun, setiap hari
terpaksa turun sawah sendirian. Di Desa Manggahang, ia
mencangkul seJak payi-pagi hingga matahari terbenam. Untuk
menyelesaikan sawah 1 ha, dulu biasa dikerjakan 10 buruh
pencangkul dibantu serakit (sepasang) kerbau, dan selesai dalam
3 hari. Sekarang tak seorang pun yang membantu Cahman. "Kalau
tidak selesai dalam dua hari ini, saya khawatir panen akan
gagal," katanya.
"Sekarang ini sulit sekali mencari buruh pencangkul. Kalaupun
ada, usianya sudah pada lanjut," kata Cahman lagi. Keempat anak
Cahman yang kini bersekolah di Bandung, tidak ada yang bersedia
menggarap sawah. "Kalau sudah selesai bersekolah mereka ingin
jadi pegawai dan tinggal di kota. Padahal kalau panen tak lupa
mereka menulis surat minta dikirimi padi hasil sawah ini,"
katanya bersungut.
Langkanya buruh tani itu semakin merepotkan desa-desa yang
mengikuti program insus. Sebab salah satu ketentuan insus yang
menyebutkan: masa tanam harus dilakukan secara serentak dan
selesai dalam waktu 20 hari. Di Desa Kianroke, Kecamatan
Banjaran misalnya, setiap musim tanam kekurangan buruh tani tak
selalu menjadi masalah. Di sana ada 80 ha sawah yang
diinsuskan--dan untuk mengerjakannya seharusnya tersedia
sekurangnya 400 orang buruh tani secara serentak. "Di musim
tanam sangat mustahil mengerahkan tenaga sebanyak itu dan secara
serempak pula," ujar Haji Masykur, Ketua Mitra Cai (perkumpulan
pemakai air) di Kianroke.
Kekurangan buruh tani itu sebenarnya bisa diimbangi dengan
tenaga kerbau. Dulu, di Kianroke masih cukup banyak tenaga
pembajak itu. Tapi sekarang, seperti halnya buruh tani, ternak
seperti kerbau juga semakin langka. Hal itu antara lain karena
areal penggembalaan makin sempit. Menurut Ikim Sutarman, Kepala
Desa Kianroke, kerbau di desanya kini tinggal 10 ekor saja.
Mendesak Buruh
Kianroke, 30 km dari Bandung, termasuk desa subur. Di sana
terdapat 258 ha sawah, di antaranya 125 ha mendapat air dari
irigasi teknis dan dengan panen 3 kali setahun. Dari jumlah
penduduknya yang 6.788 jiwa, kini hanya tinggal sekitar 226
orang yang tetap menjadi buruh tani. Tenaga yang sedikit itu
tentu tak mampu menggarap semua sawah yang ada. Untuk
mengerjakan 258 ha sawah, diperlukan lebih dari 1.000 orang
buruh tani.
Kalau mau melaksanakan insus sesuai dengan peraturan dan jadwal
yang ditentukan, menurut Masykur, harus dibantu traktor. Untuk
menggarap 80 ha sawah itu, cukup dibutuhkan lima traktor. "Kalau
lebih dari itu akan mendesak tenaga buruh tani yang masih
bersedia menjadi tenaga pencangkul. Mereka nanti jadi
menganggur," kata Masykur. Kapasitas setiap traktor kira-kira
sama dengan 20 orang.
Traktor-traktor pembajak itu kini memang mulai diturunkan di
beberapa desa di Kabupaten Bandung. "Tapi pengoperasiannya harus
selektif, yaitu hanya di daerah industri yang benar-benar
kekurangan buruh tani," kata Dedi Adeli, Kepala Sub Mekanisasi
Dinas Pertanian Kabupaten Bandung. Menurut perhitungannya, kini
dibutuhkan sekitar 900 traktor, padahal yang tersedia baru 256
buah.
Para petani di Kabupaten Bandung belakangan ini mulai senang
pada traktor. Tak kurang dari 70 petani telah mengajukan kredit
kepada BRI untuk mendapatkan alat pembajak baru itu. Tapi sejak
beberapa bulan terakhir ini pihak BRI menyetop kredit traktor
itu. Alasannya: banyak traktor yang rusak atau terbengkalai
karena para petani belum pandai memeliharanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini