Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Organisasi profesi tenaga kesehatan menilai pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang mendegradasi organisasi profesi.
Beberapa jam setelah aksi mereka, DPR tetap mengesahkan RUU Kesehatan menjadi undang-undang.
Tak hanya organisasi yang menolak pengesahan RUU Kesehatan, dua fraksi di DPR juga menolak.
JAKARTA – Ratusan tenaga kesehatan bersuara lantang meneriakkan “Tolak Rancangan Undang-Undang Kesehatan” saat menggelar demonstrasi di depan pelataran Gedung MPR/DPR pada Selasa, 11 Juli 2023. Sejak pukul 10.00, mereka memadati pelataran luar gerbang gedung DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah, mengatakan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi undang-undang akan mendegradasi organisasi profesi. Menurut dia, pengesahan itu berdampak pada eksistensi organisasi profesi. “Mengacu pada draf yang ada, tujuan dan fungsi organisasi profesi seakan-akan tidak lagi ada,” ujar Harif, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah tenaga kesehatan menggelar aksi menolak RUU Kesehatan di depan Gedung DPR, Jakarta, 11 Juli 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Demonstrasi ini diikuti lima organisasi profesi dan dikoordinasi oleh PPNI. Empat organisasi lain yang turut menggelar aksi adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
Dalam unjuk rasa itu, para tenaga kesehatan dari perwakilan tiap organisasi berorasi menolak pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang. Mereka menampilkan aksi teatrikal yang menggambarkan kondisi saat pandemi Covid-19. Beberapa tenaga kesehatan memakai baju hazmat di depan sebuah keranda. Mereka menyatakan aksi itu sebagai pengingat bagaimana para tenaga kesehatan berjibaku saat Covid-19 melanda. Pada saat itu, tenaga kesehatan seakan-akan dielu-elukan, tapi kini mereka merasa dicampakkan.
Harif mengatakan berlakunya UU Kesehatan menghilangkan hal esensial dari organisasi kesehatan, yakni ketidakjelasan keterlibatan organisasi profesi dalam pengembangan kompetensi anggota. Selain itu, pengawasan etika profesi oleh organisasi profesi menjadi tidak ada.
Aksi mereka seakan-akan tak digubris. Beberapa jam setelah aksi para tenaga kesehatan, DPR tetap mengetok palu dalam sidang paripurna yang mengesahkan RUU Kesehatan menjadi undang-undang. Rancangan undang-undang yang disusun secara omnibus ini berisi 456 pasal. Setelah disahkan, UU ini akan mencabut sebelas undang-undang lainnya. Sejumlah undang-undang itu, antara lain, adalah UU Ordonansi Obat Keras, UU Wabah Penyakit Menular, UU Praktik Kedokteran, dan UU Kesehatan. Lalu UU Rumah Sakit, UU Pendidikan Kedokteran, UU Kesehatan Jiwa, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Kebidanan.
Baca: Perlawanan Sebelum RUU Kesehatan Disahkan
Harif menuturkan PPNI dan organisasi profesi lainnya sudah mendekati DPR serta pemerintah agar menunda pengesahan RUU Kesehatan. Namun DPR berkukuh mengesahkannya. Sejak awal, kata dia, PPNI sudah membahas upaya perlawanan jika DPR berkukuh mengesahkan RUU Kesehatan tersebut.
Mereka membahas bentuk perlawanan itu dalam Rapat Kerja Nasional PPNI di Ambon pada 9-11 Juni 2023. Perlawanan itu, antara lain, mendekati partai politik, DPR, dan pemerintah; serta menggelar demonstrasi. Jika kedua cara ini tak berhasil, PPNI bersama empat organisasi profesi akan melakukan mogok nasional. Langkah berikutnya, kata Harif, PPNI akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi sebagai langkah hukum untuk membatalkan UU Kesehatan.
Harif mengatakan belum mendapat naskah Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan DPR. Dalam website resmi DPR pun, hingga tadi malam, naskah undang-undang yang sudah disahkan dalam rapat paripurna belum diunggah. Harif menyesalkan pengesahan RUU Kesehatan dengan meleburkan sebelas undang-undang lainnya tidak disertai dengan substansi undang-undang lama ke UU Kesehatan yang baru. PPNI mempersoalkan RUU Kesehatan yang mencabut UU Keperawatan. RUU Kesehatan justru tidak lagi mengatur berbagai ketentuan dalam UU Keperawatan. “Bagi kami, yang penting adalah bagaimana eksistensi yang selama ini sudah ada. Sebenarnya UU Keperawatan sudah cukup,” ujarnya.
Menurut Harif, pemerintah berjanji mengeluarkan aturan turunan berbentuk peraturan pemerintah untuk mengakomodasi hal-hal yang belum dicantumkan dalam UU Kesehatan. Namun ia menyangsikan hal tersebut. Dia menilai lahirnya UU Kesehatan membuat hubungan di dalam organisasi profesi menjadi tidak jelas.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua IDI, Mahesa Paranadipa. Menurut dia, pengesahan RUU Kesehatan memberi ketidakjelasan pada tugas dan fungsi pengawasan oleh organisasi profesi. Apalagi, dia melanjutkan, aturan pendukung berupa peraturan pemerintah belum ada. Meski begitu, dia yakin eksistensi organisasi profesi kesehatan akan tetap eksis, meski secara formal tugas dan fungsinya dihapus dari undang-undang.
Penghapusan Mandatory Spending
Hal krusial lain dalam RUU Kesehatan adalah hilangnya mandatory spending. Mandatory spending adalah anggaran negara yang diatur oleh undang-undang. Tujuan mandatory spending adalah mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.
Hilangnya mandatory spending dari draf UU Kesehatan, menurut Harif, juga berdampak pada tenaga kesehatan. Dia khawatir dengan dihapuskannya batas minimum anggaran kesehatan, ketika ada program yang dibentuk, maka yang akan menjadi prioritas adalah teknologi dan fasilitas yang dibutuhkan, sedangkan sumber daya manusianya dikesampingkan.
Dihapusnya mandatory spending, dia melanjutkan, juga berdampak pada gaji hingga kompensasi tenaga medis. Sebab, kata dia, sebagian besar dari tenaga kesehatan masih berstatus honorer dan relawan. “Apa jadinya kalau mandatory spending dihilangkan? Ini akan memperparah keadaan karena tidak ada kejelasan bagaimana mereka dibayar. Sementara itu, mereka sudah mengabdi puluhan tahun di fasilitas kesehatan milik pemerintah," ujar Harif.
Saat dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Mohamad Adib Khumaidi, mengatakan peleburan sejumlah undang-undang yang berhubungan dengan kesehatan dalam RUU Kesehatan tersebut dinilai mengucilkan organisasi profesi. Menurut dia, menghilangkan undang-undang yang berhubungan dengan profesi bidang kesehatan artinya menghilangkan peran penjaga profesi dari tenaga kesehatan yang tidak berkompeten. Beberapa hal yang masih dipersoalkan, menurut Adib, adalah perihal mandatory spending, transfer data genom, dan kemudahan dokter asing untuk masuk berpraktik di Indonesia.
Baca: Data Rawan Tersebab RUU Kesehatan
Belum ada respons dari pemerintah soal penolakan dari sejumlah organisasi profesi setelah pengesahan RUU Kesehatan. Hanya, pemerintah, dalam keterangannya dalam rapat paripurna kemarin menyatakan transformasi kesehatan dibutuhkan untuk membangun arsitektur kesehatan Indonesia yang tangguh, mandiri, dan inklusif. “Ada sebelas undang-undang yang berhubungan dengan sektor kesehatan lama, yang disesuaikan dengan dinamika perubahan zaman,” ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam keterangan tertulis dalam rapat paripurna.
Penolakan Dua Fraksi di DPR
Penolakan terhadap pengesahan RUU Kesehatan tidak hanya datang dari organisasi profesi dan para tenaga kesehatan. Dua fraksi di DPR, yakni Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menyatakan menolak pengesahan RUU tersebut dalam rapat paripurna ke-29 masa persidangan V DPR tahun sidang 2022-2023.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Dede Yusuf, menyerahkan penolakan RUU Kesehatan kepada Ketua DPR Puan Maharani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 20 Juni 2023. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Partai NasDem menyetujui RUU Kesehatan dengan catatan. Adapun enam partai lain, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menyetujui pengesahan RUU Kesehatan tanpa syarat.
Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR, Edhie Baskoro Yudhoyono, mengatakan ada dua hal yang dipersoalkan dalam UU Kesehatan yang baru. Pertama, mandatory spending. Kedua liberalisasi tenaga medis. Dia menilai negara harus memiliki mandatory spending. “Kami menginginkan mandatory spending bidang kesehatan sebesar 5 persen dari anggaran negara. Kalau perlu, ditingkatkan,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa penolakan RUU itu bukan berarti menolak modernisasi rumah sakit. Menurut dia, peningkatan fasilitas juga harus dibarengi dengan peningkatan sumber daya manusia.
Anggota Komisi IX DPR Bidang Kesehatan dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani, mengatakan dihapuskannya mandatory spending akan menurunkan pelayanan kesehatan. “Mandatory spending penting untuk menyediakan pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan,” ujarnya. Ia juga mempertanyakan mudahnya tenaga medis asing masuk ke Indonesia. Menurut dia, hal tersebut bisa mengancam ketersediaan lapangan kerja bagi tenaga kesehatan di dalam negeri.
JIHAN RISTIYANTI | JULNIUS FIRMANSYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo