Manusia memiliki mata ketiga di luar sepasang mata biasa. Sejumlah nama besar dunia seperti pelukis Van Gogh, komponis Johan Sebastian Bach, dan sastrawan T.S. Elliot pernah mencecap keindahan tak tepermanai dari mata ketiga itu sehingga mereka bisa menghasilkan karya agung.
Potensi untuk memiliki mata ketiga itu ada pada setiap orang, tapi yang bisa menikmatinya secara alami terutama adalah para suci dan para yogi. Sedangkan para seniman besar itu memperoleh pengalamannya melalui pengembaraan psikologis "ambang kegilaan". Ada sebuah kelenjar di dalam saraf otak yang bila bekerja secara maksimal akan bisa membuka mata pikiran, ya, sebutan lain dari mata ketiga itu. Bila mata ini terbuka, dimensi realitas yang sama sekali baru dan "berbeda" akan bisa disaksikan.
Istilah mata ketiga ini bersumber dari terminologi Kundalini Yoga, tradisi meditasi dari India yang telah berusia ribuan tahun. Menurut ajaran Yoga, ada enam tingkat cakra (semacam simpul-simpul saraf) dalam tubuh manusia. Bila kundalini (sebuah "kekuatan" yang disimbolkan sebagai ular) bisa mencapai tingkat keenam, kemampuan psikis tersebut akan menjelma. Cakra tingkat tertinggi itu terletak di tengah antara kedua mata. Disimbolkan sebagai mata, ia disebut mata ketiga.
Dalam terminologi ilmiah Barat, Kundalini Yoga itu dipahami sebagai konsep biologis yang diungkapkan dalam bahasa metafor puisi. Ilmuwan Barat baru paham dengan konsep mata ketiga itu pada abad ke-19, setelah ditemukan berbagai penelitian menyangkut kelenjar yang bisa mempengaruhi saraf-saraf di dalam otak. Kelenjar pineal, begitu sebutannya, ditemukan mengandung suatu hormon dan suatu neurohumor yang fungsinya berkaitan dengan gairah berahi dan ekstasi. Kelenjar itu juga yang bisa membuat mata pikiran terbuka.
Dalam istilah psikologi, mata pikiran terbuka itu disebut pengalaman psychedelic. Pengalaman semacam itu digambarkan sebagai sebuah serangan yang tiba-tiba, spontan, dan sama sekali tidak disangka-sangka. Pengalaman psychedelic bisa diperoleh melalui puasa, meditasi, histeria gerakan tari, hubungan seksual yang berorgasme, hipnotis, atau dengan menggunakan berbagai bahan racun psychedelic yang alami. Bahan racun yang tidak alami, dengan kadar masing-masing yang berbeda, ya, narkotik, putauw, sabu-sabu, dan pil ekstasi itu.
Penelitian menyangkut mata pikiran ini uniknya diilhami juga oleh perilaku "gila" para tokoh besar dunia. Orang seperti Van Gogh, Bach, dan Elliot pada masa hidupnya dikenal berperilaku ganjil. Angka statistik yang memadai itu dipakai pijakan untuk menganalisis antara ambang kegilaan dan kreativitas seni.
Seniman Rusia Dostoevsky, ketika suatu hari diserang oleh suatu penyakit semacam epilepsi, menggambarkan pengalaman batinnya. "Beberapa saat aku mengalami suatu kebahagiaan yang tak mungkin kuperoleh dari kondisi yang normal. Aku merasakan suatu harmoni di dalam diriku dan di dunia, " katanya. Ungkapan-ungkapan semacam itu ditemukan juga pada sejumlah pengguna LSD, suatu bahan kimia untuk menciptakan halusinasi.
Kesimpulannya, bahwa pangkal soal tingkat kesadaran semacam itu adalah berfungsinya suatu kelenjar di dalam saraf otak. Bagaimana merangsangnya bisa dengan berbagai cara. Kaum muda yang ingin serba instan (cepat) memakai jalan pintas yang berbahaya lewat narkotik dan obat-obatan. Para yogi memakai metode Kundalini Yoga. Para sufi memakai riyadhoh (latihan) dalam tradisi tarekat.
Mata ketiga adalah soal sains.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini