Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tubuh Tersungkur

Ketergantungan pada narkotik dan obat-obat terlarang mahal harganya. Tapi yang lebih mahal: ongkos psikologis dan kerusakan fisiologis yang diakibatkannya.

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lisa, 21 tahun, seorang gadis penduduk Jakarta, memilih kabur dari rumah orang tuanya yang galak. Dikekang berlebihan di rumah, gadis berkulit sawo matang dan berambut cepak itu kini sering ngelayap ke sebuah diskotek yang bersuasana kearab-araban di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Alasan dia klasik. "Aku mencari kebebasan, karena kebebasan itu mahal," kata Lisa. Sayang, kebebasan yang dicari gadis yang berhenti sekolah selepas SMU itu hura-hura di diskotek dan kebebasan mengonsumsi sabu dan pil ekstasi?dua bahan kimia untuk menciptakan halusinasi. Akhirnya, kebebasan yang telah direguknya sejak tiga tahun lalu itu malah menyedot biaya yang lebih mahal. Soalnya, setiap ketagihan, dia harus merogoh kocek sekitar Rp 200 ribu untuk bisa membeli pil. Pekan lalu dia baru saja selesai berobat untuk menghilangkan keracunan dan sindroma ketakutan (paranoia) yang diakibatkan oleh pil ekstasi. "Wuih, sakitnya bukan main, Bang," kata Lisa soal pengalaman keracunan itu. Dan untuk biaya pengobatan, gadis yang tangan kirinya dipenuhi bekas sayatan silet itu harus mengeluarkan uang Rp 650 ribu. "Saya sampai terpaksa menjual kalung emas senilai Rp 500 ribu," kata Lisa, yang belakangan nyambi berjualan pil itu. Kubangan kenikmatan itu memang mahal. Menurut Koko, yang menikmati "si putih" sejak 1993, setiap hari dia menghabiskan sekitar Rp 100 ribu untuk membeli putau. Tapi ada yang lebih sableng dari itu. Rizal, misalnya, pasien di Pesantren Inabah Suryalaya, mengaku pernah menghabiskan Rp 1,5 juta sehari semalam untuk pesta putau bersama teman-temannya. Bila Koko dan Rizal yang masih menumpang hidup orang tua itu masing-masing mengonsumsi sebegitu mahal, bisa dibayangkan jumlah konsumsi obat-obat terlarang di kalangan yang bekerja dan berduit tebal, misalnya artis, manajer perusahaan, dan dunia profesi lain. Pengakuan Koko dan Rizal memperkuat penelitian Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, spikiater dari Universitas Indonesia yang meneliti tingkat konsumsi narkotik, alkohol, dan zat adiktif lain (disingkat NAZA) di Jakarta pada 1998. Riset itu mengungkapkan bahwa biaya konsumsi NAZA per orang per hari adalah Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu. Bila jumlah itu dikalikan 1,3 juta orang, yang diasumsikan mengonsumsi NAZA secara nasional, total biaya yang terhambur untuk itu Rp 130 miliar hingga Rp 390 miliar sehari. Walaupun bukan khusus menyangkut konsumsi obat-obat terlarang, data itu cukup "berbicara". Namun ongkos psikologis akibat konsumsi NAZA tak terukur tingkat kemahalannya dibandingkan dengan kocek yang dihamburkan. Menurut Dadang Hawari, NAZA, yang mengganggu fungsi saraf pada pusat (neuro-transmiter), akan mengakibatkan gangguan mental dan perilaku. Laporan dari pesantren Inabah menyebutkan bahwa pasien ketergantungan narkotik dan obat-obatan mengalami perilaku asosial berupa royal kata-kata kotor dan jorok, gampang naik pitam, suka berbuat onar, dan kadang berperilaku gila. Pada stadium lanjut (addicted), pecandu tak jarang terlibat tindakan kriminal. Data penelitian di Indonesia yang mengaitkan konsumsi narkotik dan obat-obatan dengan peningkatan kriminalitas mungkin belum ada. Tapi data riset di Amerika Serikat pada 1990 menunjukkan bahwa narkotik dan obat-obatan menghamburkan ongkos sosial yang berkait dengan kriminalitas senilai US$ 46 miliar. Gangguan kesehatan? Jangan tanya. Riset Dadang Hawari menunjukkan bahwa NAZA mengakibatkan kelainan pada paru-paru (53,57 persen), kelainan fungsi liver (55,10 persen), dan hepatitis C (56,56 persen). Lebih buruk lagi, ketergantungan pada NAZA bisa berujung maut. Sejumlah 17,16 persen dari sampel penelitian membuktikan itu. Pendek kata, konsumsi NAZA tak hanya merugikan diri penderita, juga menggerogoti pajak yang diberikan masyarakat untuk pemerintah. Data di AS pada 1990 menunjukkan bahwa anggaran untuk menanggulangi penyalahgunaan NAZA sebesar US$ 165,5 miliar. Lo, bukankah pengonsumsi "barang-barang terlarang" itu setali tiga uang telah mengorupsi uang negara?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus