Ketetiiban Umum -- giat menyapu jalanan agar ketetiiban dan keindahan Ibu Kota terpelihara. Tetapi ladang hidup yang cukup empuk dan sudah panjang usianya itu tak mudah dikikis. Gubernur Wiyogo mengaku bahwa pada prinsipnya Pemda Jakarta tidak berniat melarang orang menjadi pedagang asongan. Yang tak dibolehkannya adalah berjualan di jalanan. PAPAN berukuran sekitar 40 x 60 cm itu dipasang di hampir semua perempatan jalan protokol Ibu Kota. Para pengemudi mobil yang berhenti karena lampu merah melihatnya tak acuh. Sedang para pedagang pun,(tukang rokok, permen, koran, majalah penjaja irisan mangga muda atau kedondong penjual poster bayi atau daftar abjad dan perkalian, termasuk juga bakul topeng yang acap membikin anak-anak kecil menangis -- kadang pengamen dan tukang lap) ikut tak peduli. Tapi papan itu tidak main-main. Jalanan Jakarta yang panas, yang pengap oleh asap knalpot, sejak dua bulan lalu sedang "disapu". Pemerintah DKI Jakarta mulai mengacungkan kapak perang kepada para pedagang asongan. Selain ancaman papan, para petugas kini sering lalu-lalang. Sebelumnya petugas hanya menggaruk tukang lap -- yang sering meresahkan pengendara mobil -- tapi sekarang mengusir semua pedagang yang mengotori perempatan. Termasuk tukang koran. Beberapa di antaranya sudah ditangkap, dagangannya disita sementara. Ada pula yang diadili. Tindakan melarang pedagang asongan bukar tanpa alasan. Banyak sebab. Salah satunya dikemukakan oleh Gubernur Wiyogo Atmodarminto, "Selain mengacaukan lalu lintas, akhirnya bisa berkembang menjadi tempat kejahatan pemerasan." Kenyataannya, praktek setengah pemerasan memang sudah dilakukan oleh sejumlah tukang lap. Seorang bocah kecil, misalnya, memaksa mengelap mobil dengan kausnya yang kotor, mengharap imbalan seratus rupiah. Ketika si pengendara mobil menolak, ia pun mendekat dan berkata, "Belum kenal yang namanya jembel, ya." Atau seperti yang dilakukan oleh dua gadis kecil lusuh yang menepuk rebana dan meluncurkan lagu yang tak jelas melodinya. Sewaktu pengendara mobil tak memberikan respons, mereka berusia sekitar tujuh tahun -- itu langsung mengomel, "Jelek lu! Mobil cakep tapi pelit lu, Om. Sialan!" Tangan mereka pun berusaha menggores pintu mobil. A.F. Lapian, Kepala Bagian Ketertiban Umum DKI, mengatakan, adalah ironis bila Jakarta yang ikut gembar-gembor soal sadar wisata, tapi turis disongsong di mulut jalan tol dengan pedagang asongan plus pengamen kumuh. Sekarang, menurut Lapian, ada 16 perempatan rawan di Ibu Kota yang semuanya berada di jalan protokol. Mulai dari Jalan M.T. Haryono, Gatot Subroto hingga Latumenten di pintu tol Cengkareng. Juga sekitar Jalan Sudimman, Thamrin, lalu di Senen dan By Pass. Cukupkah itu menjadi alasan untuk menyapu jalan dari pedagang asongan? Tak semua orang sependapat. Namun, yang pasti, Jakarta punya dasar hukum. Yakni Perda no. 3 Tahun 1972 yang kemudian diperbarui menjadi no. 11 tahun 1988 -- walaupun yang terakhir itu belum disahkan oleh Menteri Dalam Negeri. Bersenjatakan peraturan itu, penertiban tidak dapat ditentang. Beberapa anggota DPRD DKI Jakarta tak sependapat. Syarifuddin Siregar Pahu, Sekretaris Komisi C yang membawahkan Bidang Ekonomi, berkata lantang, "Saya tidak setuju kalau mereka dilarang." Sebab, dalam kaca mata Syarifuddin, pedagang asongan adalah sebuah noktah yang mungkin tumbuh menjadi wiraswastawan tangguh kelak. Banyak pengusaha besar, menurut dia, pada awalnya adalah pedagang kecil-kecilan. "Karena itu, mereka jangan diobrak-abrik." Djafar Badjeber, seorang anggota PPP yang menjadi anggota MPR, juga menyatakan ketidaksetujuannya. Ia sungguh-sungguh mengamati dunia pedagang asongan. Dan ia punya data. Dalam catatannya, separuh dari 830 perempatan di Jakarta yang berlampu lalu lintas adalah tempat mangkal pedagang asongan. Setiap tempat itu rata-rata dihuni oleh 20 orang. Kalau angka itu akurat, kaum asongan Ibu Kota berjumlah 8.300. Belum termasuk sanak keluarganya. Setuju atau tidak pada pelarangan itu, semua pihak sependapat bahwa pedagang asongan merupakan masalah tersendiri. Beberapa tahun terakhir, predikat pedagang asongan bahkan menggaet simpati khalayak. Naiknya penghargaan publik lantaran menyebarnya gagasan bahwa sektor informal penting bagi masyarakat. Baik dalam perekonomian maupun dalam mengatasi masalah pengangguran. Maka, sehabis pedagang kaki lima, pemulung sampah, juga tukang becak, kini giliran pedagang asongan yang mendapat simpati publik. Bahkan Slamet Rahardjo kini tengah mencoba mengangkat masalah pedagang asongan dalam filmnya yang, rencananya, berjudul Langitku Rumahku. Banyak persoalan bersembunyi di balik dunia pedagang asongan. Salah satunya adalah soal pemerataan ekonomi pusat-daerah yang masih timpang dan melahirkan urbanisasi. "Kuncinya memang di urbanisasi," kata Kaditsospol DKI Jakarta, Irnandi Saleh. Data mereka memperjelas asumsi ini. Dalam tiga bulan terakhir, Pemda DKI menghitung ada 1.152 pengadu untung di berbagai perempatan Ibu Kota. Dari jumlah itu 603 orang adalah penjual permen dan rokok. Sekitar 300 orang pedagang koran dan majalah. Sedang selebihnya adalah penjual makanan, stiker, tukang lap, dan sebagainya. Ternyata, sebagian besar pengadu nasib itu -- 805 orang -- masih ber-KTP daerah. Hanya 347 orang yang ber-KTP Jakarta itu pun baru setahun dua tahun di Ibu Kota. Dengan nada toinggi, Maskup dari Dinas Sosial DKI bertutur. "Hanya enam persen saja di antara pedagang asongan itu yang asli penduduk Jakarta," katanya. Selebihnya datang dari Brebes, Pekalongan, dan daerah pesisir Jawa lainnya. Selain itu juga ada geng Karawang-Bekasi, yang dulu sepenuhnya beroperasi di kereta api. Keffka hidup di jalanan Jakarta terasa "menjanjikan", mereka pun ramai menyerbu Ibu Kota menyusul para pembantu rumah tangga, tukang becak, dan pemulung sampah. "Karena ada yang dianggap sukses cari duit di situ, yang lain ikut-ikutan, dan akhirnya seperti pasar," kata Gubernur Wiyogo. Kalau ekonomi daerah bisa menampung mereka, tentu lonjakan jumlah pedagang asongan dalam tiga tahun terakhir tak akan sepesat sekarang. Hikmatullah dari Fraksi Karya Pembangunan DPRD Jakarta juga mengatakan bahwa idealnya pedagang asongan tidak ada. Sebab, manfaatnya bagi pedagang maupun pembelinya tak imbang dengan risiko yang harus ditanggung. "Tapi karena Ibu Kota ini milik seluruh bangsa, maka setiap orang berhak mencari kerja di sini. Itulah risiko kota besar." Menjamurnya pedagang asongan mencerminkan semakin membengkaknya angkatan kerja. Sedangkan lapangan kerja formal tak cukup lapang buat menampung mereka. Maka, sektor informal pun berkembang. Di sinilah muncul pedagang asongan yang harus berpanas-panas di perempatan. "Saya kira fenomena ini khas negara berkembang," kata Sylvia Tjakrawati, peneliti dari PEP (Pusat Peneliffan dan Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan) -- LIPI. Dalam pandangan Sylvia, dunia pedagang asongan bisa dibilang benar-benar free enter. Siapa saja boleh masuk tanpa mempedulikan kecakapan dan latar belakang pendidikan. Bahkan modal khusus pun tidak. Yang diperlukan hanyalah tenaga dan keuletan. Maka, selama lapangan kerja bagi kalangan bawah tak cukup tersedia, pedagang asongan sukar dihapuskan. "Dan," kata Sylvia, "memang sebenarnya tak perlu dihapuskan." Kenyataannya, dunia perdagangan asongan bukan saja sedikit mengempiskan bom pengangguran yang sewaktu-waktu bisa meledak, tapi juga menjadi alternatif jalur pemasaran tersendiri. Para ahli memang kurang cukup menoleh alternatif ini. Tapi kaum praktisi, yang lebih mengandalkan penciuman bisnisnya ketimbang sibuk berteori, memanfaatkannya benar. Bisnis pers, misalnya, sekarang jelas-jelas sangat menggantungkan pemasarannya pada pedagang asongan. Sebab, pedagang asonganlah yang paling mungkin menjalankan prinsip lama pemasaran: "sodorkan barang ke depan mata konsumen". Mereka sangat aktif menjajakan dagangannya hanya untuk sedikit keuntungan. Tanpa mereka, lonjakan pemasaran seperti pada harian Jawa Pos di Jawa Timur, misalnya, mungkin sulit terjadi. Muklis Gumilang, direktur perusahaan penerbitan PT Indo Media, bahkan mengagumi salesmanship "orang-orang jalanan" itu. Setelah cermat menimbang, ia memutuskan untuk memanfaatkan pedagang asongan dalam memasarkan buku Liem Sioe Liong yang diterbitkannya. "Mereka punya cara-cara tersendiri untuk menarik konsumen," kata Muklis. Apalagi penjualan di seputar lampu merah memaksa konsumen segera mengambil keputusan: membeli atau tidak. Hasilnya? Menggembirakan. Dalam dua minggu, buku itu terjual sekitar 10 ribu eksemplar di jalanan. Sedangkan untuk menghabiskan jumlah yang sama yang dipasarkan melalui toko-toko buku memerlukan waktu sekitar setahun. Bukan cuma kalangan penerbitan yang menggunakan lampu merah untuk strategi bisnis mereka. Sejumlah merk permen juga demikian. Vicks melejit setelah menyiapkan permennya dengan konsep dijual di perempatan lalu lintas. Iklan Vicks sepertinya memperlihatkan bahwa permen itu tepat untuk mengatasi gangguan serak seorang pengendara motor karena debu jalanan. Para produsen rokok juga menjadikan pedagang asongan buat promosi yang murah. Caranya dengan membagi topi, kaus, atau kotak rokok yang tentu saja bertuliskan merk produk mereka. Cara promosi seperti ini jelas lebih murah, dan mungkin lebih efektif, ketimbang lewat billboard atau mengiklankan pada media massa. Bukankah kehadiran suatu produk di depan mata konsumennya merupakan promosi yang terbaik. Seorang pengamat malah menduga lebih jauh. "Membanjirnya pedagang asongan," katanya, "adalah cermin tertutupnya jalur-jalur perdagangan yang sudah ada." Hampir semua jalur perdagangan semua komoditi sudah dikuasai pihak tertentu. Mereka tak memberi kemungkinan sama sekali bagi kalangan luar untuk masuk. Akibatnya, para produsen pinggiran hanya bisa melempar produknya lewat jalanan. Perkiraan ini belum sepenuhnya terbukti. Namun, sejumlah indikasi memang mengarah ke sana. Seperff produsen: topeng, boneka kain, "Si Unyil" dari karton, daftar perhitungan dan abjad, ke mana lagi bisa menjual produknya kalau tidak melalui para pedagang asongan. Lalu bagaimana harus menghadapi mereka yang dianggap mengganggu ketertiban itu? Gubernur Wiyogo mengaku bahwa pada prinsipnya Pemda Jakarta tidak berniat melarang orang menjadi pedagang asongan. Yang tak dibolehkannya adalah berjualan di jalanan. "Berdaganglah di halte saja," ujarnya. Pihaknya juga mencoba membantu mengarahkan mereka, melalui panti khusus di Klender, Jakarta Timur, yang dikelola Dinas Sosial. Di sana mereka yang ingin menjadi sopir dikursuskan, yang masih sekolah diberi uang jalan Rp 300 ribu. Juga ada pemberian modal bagi orangtua yang anaknya menjadi pedagang asongan atau anak jalanan, sebesar Rp 75 ribu untuk jual gado-gado. Yang jelas, Dinas Sosial kebagian dana Rp 2,5 milyar setahun yang antara lain untuk penanganan mereka. Hanya saja, di kalangan Pemerintah DKI Jakarta lalu muncul sentien kejakartaan. "Enak saja! Begitu ada yang dibantu, yang lain pada berbarengan datang ke Jakarta," kata Wiyogo. Ada sebuah usulan yang kedengarannya ramah. Yakni berikan kesempatan bagi para pedagang asongan itu untuk mengorganisasikan diri. Mereka bisa diharuskan membatasi jumlahnya sendiri. Toh, bila terlalu banyak juga akan merugikan mereka. Melarang sama sekali juga hanya akan melahirkan akibat yang lebih buruk ketimbang membiarkannya. "Mereka bisa berhenti dari menjadi pedagang asongan," kata Romulus Sihombing, anggota FDI DPRD DKI Jakarta. "Tapi kan tak bisa berhenti makan," ujarnya. Maka, pelarangan malah bisa menjerumuskan pedagang asongan ke dunia kriminalitas. Padahal, alasan Pemda Jakarta melarang pedagang asongan justru antara lain dengan dalih agar perempatan jalan tidak berkembang menjadi tempat pemerasan. Agaknya, Pemerintah Daerah Jakarta bukan tidak menyadari hal itu. Namun, mereka tidak ingin masyarakat mendapat kesan bahwa Jakarta "membiarkan pedagang asongan", yang pada akhirnya akan mengundang lebih banyak pendatang lagi yang "merusakkan pemandangan Ibu Kota". Seorang petugas malah terang-terangan menyebut bahwa sebenarnya Jakarta tak sungguh-sungguh memerangi pedagang asongan. "Kalau beroperasi, kami selalu memakai halo-halo dulu dari kejauhan," katanya. Lalu pedagang asongan menyisih diam, sampai kemudian petugas berlalu. Dalam keadaan biasa, petugas dan pedagang asongan pun seolah sama-sama bersandiwara. Petugas berpura-pura nampak serius, tapi membiarkan para pedagang asongan -- yang telah menyimpan dagangannya -- tersenyum-senyum di dekatnya. Yang penting janganlah pedagang asongan itu beroperasi, selama petugas berada di situ. Ada kalanya si pedagang asongan tergelitik untuk mengejek petugas, dengan menggoyang pantat seperti yang terjadi di perempatan Kuningan, pekan lalu. Sang petugas marah, dan memukulnya hingga berdarah. Pedagang asongan itu dinaikkan ke pikup petugas. Kawan-kawannya lalu beraksi. Sekitar 50 pedagang asongan bergerak mendekat kendaraan itu. Tapi petugas mengacungkan pistol ke udara. Massa pun berhenti. Petugas pergi membawa seorang pedagang asongan. Para pedagang hanya diam. Sejenak kemudian terjadi perdebatan. "Tadi kan pistol-pistolan, masa Tibum punya pistol," kata salah seorang di antara mereka. Yang lain menanggapi. "Enggak, itu pistol beneran." Tapi diskusi itu hanya sebentar, segera kemudian mereka lupa. Lalu menyebar lagi. Menyelinap di antara panjangnya antrean mobil di lampu merah, memburu dan terus memburu nafkah. Zailm Uchrowi, Linda jalil, Rustam F. Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini