Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada setiap masa, gambar pada kaus oblong (T-shirt) punya wataknya sendiri. Ada sebuah kurun ketika kaus dimaksudkan sebagai ungkapan protes sosial. Kurun yang lain, kaus sekadar guyonan dari sebuah pelesetan logika. Ada periode tertentu pula yang mengabdi pada keutamaan artistik. Kaus sebagai benda budaya sering kali menjadi cermin zamannya.
Pernah sekali waktu sekelompok mahasiswa Arsitektur Gadjah Mada, Yogyakarta, pada pertengahan dekade 1970 membuat kaus yang mengangkat tema solidaritas terhadap wong cilik yang teraniaya, yaitu Wasdri, seorang tukang parkir yang diperkarakan secara hukum oleh seorang pengacara karena dianggap memeras. Hasil dari penjualan kaus yang bergambar wajah Wasdri tersebut kemudian disumbangkan untuk membiayai perkara si terdakwa di pengadilan.
Di Universitas Indonesia, Jakarta, sekitar tahun 1977 mulai muncul kaus beraroma komentar sosial. Bergambar wajah Ali Sadikin dan bertuliskan "Why Not the Best?", sebagai upaya membangun opini masyarakat terhadap alternatif kepemimpinan yang dianggap itu-itu saja. Pada saat yang hampir bersamaan, di IKIP Jakarta juga muncul kaus politik (poli-T-shirt) yang bertuliskan "Berantas Korupsi" dengan huruf kapital yang begitu mencolok.
Ketika situasi politik di Tanah Air makin menghangatakhir 1977 dan awal 1978ungkapan yang muncul pada kaus pun makin berani. Di Bandung dan Jakarta, misalnya, beredar kaus yang memuat "Ikrar Mahasiswa Indonesia" yang isinya menuntut kembalinya pemerintah pada UUD'45, yang dianggap telah diselewengkan penguasa.
Dan puncaknya adalah beredarnya kaus bertuliskan "Dicari, Presiden Indonesia yang Baru", yang kemudian disusul agresi militer ke kampus-kampus terkemuka di Indonesia serta penangkapan para aktivis mahasiswa pada tahun 1978.
Secara umum, desain kaus politik yang mengungkapkan kritik sosial pada waktu itu cenderung tak memperhatikan kaidah artistik. Sejauh teks pada kaus bisa dibaca, dan gambar yang ada bisa dikenali, itu dirasa sudah cukup baik. Jenis huruf dan warna yang digunakan pun terbatas, kalau tidak mau disebut miskin. Misalnya hanya merah, hitam, dan dengan jenis huruf Helvetica yang sangat standar.
Awal dekade 1980 adalah babak baru bagi kehidupan kampus. Program depolitisasi kampus oleh pemerintah melalui normalisasi kehidupan kampus (NKK/BKK) berjalan begitu kuat. Corak gambar kaus yang beredar pun juga mulai berubah. Tampak pada kaus di sana, dengan teks yang dinukil dari sajak Rendra: "Sangkar Besi Tak Bisa Mengubah Rajawali Menjadi Burung Nuri", sebagai bagian dari semangat perlawanan atas penangkapan para aktivis mahasiswa.
Pada dasawarsa pertengahan hingga akhir 90-an, corak desain kaus bergerak ke lain arah. Di Yogyakarta dan Bali, misalnya, muncul industri kaus terkemuka seperti Jogger dan Dagadu, Gadung, yang memproduksi kaus dengan ungkapan humor dengan memelesetkan peribahasa atau logika. Misalnya "Malioboro" yang ditulis mirip ikon rokok terkenal, atau teks yang berbunyi "Everyday is Sunday in Yogya", dan lain sebagainya.
Pada dekade itu, corak desain pada kaus oblong, meski bertujuan ingin menyampaikan suatu pesan, dalam cara penampilannya sudah mulai memperhatikan kaidah artistik. Pada desain kaus tersebut ada pertimbangan komposisi, warna, jenis huruf yang lebih beraneka rupa, dan tak jarang dibubuhi gambar-gambar menarik.
Gambar pada kaus oblong terus berubah menyesuaikan dengan zaman. Dan pada zaman baru sekarang ini, gaya yang ditampilkan lebih personal dan eksklusif karena diproduksi terbatas.
Perhatikan saja desain kaus oblong yang ditawarkan perusahaan pakaian 347, yang berpusat di Bandung. Berlatar abu-abu, gambar yang bertengger pada kaus itu mencitrakan sesosok manusia memakan dinosaurus. Persis di bawahnya tertera kata "eat" berwarna merah kecokelatan. Ada semacam keliaran imajinasi dalam karya yang mereka suguhkan. Dan memang, beberapa gambar kaus karya studio 347 itu membersitkan nuansa surealis yang cukup kental.
Menurut Dendy, sentuhan gaya surealisme memang menjadi corak baru dalam desain-desain kaus produksi studio 347. Berbagai desain itu disuguhkan dalam produk-produk kaus oblong di dua gerai, populer dengan sebutan distro (distribution outlet) 347 di Jalan Citarum dan Trunojoyo, Bandung, Jawa Barat.
Di awal kemunculannya pada sekitar 1996, studio 347 lebih banyak menampilkan corak desain dengan gambar konstruksi bangunan: gedung, rumah, pasar, atau mal. Setelah itu, beralih pada desain bergaya dekoratif. Sentuhan surealisme dimulai pada awal 2002. Dan selama dua tahun berselang ini, sentuhan gaya surealisme itu kian kental dalam berbagai desainterutama kaus oblongkeluaran 347. "Satu di antaranya adalah 'manusia pemakan dinosaurus' tadi," kata pemuda 29 tahun yang gemar berselancar itu.
Bandung lima tahun belakangan memang marak oleh kaus oblong dengan gambar yang memikat. Dengan semangat gaya jalanan (street style), rangkaian desain itu tersaji di berbagai distro yang menjamur dikhususnyaKota Kembang. Selain 347, ada puluhan perusahaan konveksi (clothing company) yang hadir dengan gaya desain masing-masing.
Ouval Research, perusahaan konveksi yang hadir sejak 1997 dan dimotori Arief Maskom, awalnya banyak menyuguhkan produksi kaus dengan gambar-gambar arsitektural. Berbagai idiom arsitekturseperti blueprint, denah, kordinat, gambar persepektifmewarnai pelbagai rancangannya. Terkadang desain Ouval terasa liar karena berani menggabungkan berbagai elemen geometris yang tertib dengan garis-garis ekspresif yang kasar. Misalnya sebuah gambar konstruksi bangunan dikolase dengan huruf, logo Ouval, garis dan elemen lainnya. Meskipun terkesan semrawut komposisi gambar terhadap bidang betul-betul diperhitungkan.
Karya gambar kaus yang diproduksi Ouval juga mulai bermain-main dengan huruf dan kata-kata. Tapi, menurut Maskom yang lulusan Desain Interior Institut Teknologi Nasional, Bandung, kata-kata itu tak selalu berisi pesan. Huruf dan kata-kata itu bisa saja hanya sebagai aspek estetis dalam rancangannya.
Airplane, distro yang muncul lebih belakangan dari 347 dan Ouval, mempunyai ciri yang lain lagi. Perusahaan konveksi yang berdiri pada 1998 ini hadir dengan desain sederhana. Corak gambar kaus lebih banyak mengutak-atik logo Airplane, berupa gambar ekor pesawat tempur era Perang Dunia II.
Menurut Helvi Sjarifuddin, salah satu desainer Airplane, rancangannya ingin menonjolkan logo sebagai kekuatan yang dinamis. Setelah itu, barulah bermain-main dengan huruf. Airplane lalu bereksperimen dengan mengkolase huruf, logo, dan elemen-elemen lainnya. "Yang jelas, kami tetap berprinsip bahwa kekuatan desainnya terletak pada logo Airplane," ujarnya.
Dendy, Maskom, dan Helvi tak menampik tudingan bahwa berbagai desain yang dilahirkannya terpengaruh desain yang ada di luar negeri. Malah Dendy, misalnya, sangat terinspirasi gaya David Carson, seorang peselancar Amerika yang kemudian menciptakan desain-desain radikal. Desainnya membebaskan komposisi dan asimetri. Sedangkan Maskom mengaku banyak terpengaruh gaya Bansky, seorang seniman graffiti dari Inggris. Helvi, yang belajar desain autodidaktik, sangat mengidolakan gaya Andy Warhol dan Basquiat.
Gaya jalanan (street style), menurut catatan sejarah, mulai marak di Barat pada era 1970-an. Gaya itu sebagai bentuk tandingan terhadap gaya berpakaian masyarakat era sebelumnya yang dianggap terlalu formal, kuno, dan ortodoks. Menurut pengamat desain, Gustaff Iskandar, corak khas dari gaya jalanan itu merupakan gejala pencurian tanda-tanda yang dianggap mapan, kemudian "dipelesetkan" menjadi tanda-tanda baru.
Misalnya, jas yang biasa dikenakan pada acara resmi. Bagi penggemar gaya jalanan, jas itu biasanya diimbuhi dengan berbagai embel-embel seperti emblem, paku (spike), pin, atau bahkan diwarnai dengan menggunakan pilox (cat semprot) sehingga mengaburkan identitas atau tanda asalnya. "Ini wujud budaya tandingan atas budaya mapan dan dianggap ketinggalan zaman," ujar Gustaff, alumni Seni Rupa ITB, menjelaskan.
Bentuk perlawanan yang cukup revolusioner, Gustaff menambahkan, adalah kaus oblong alias T-shirt. Kaus oblong pertama kali dipopulerkan oleh aktor Marlon Brando pada 1947. Saat itu Brando memerankan Stanley Kowalsky dalam pentas teater dengan lakon A Streetcar Named Desire karya Tennessee William di Broadway, Amerika. Kaus oblong abu-abu tampak begitu menarik membungkus tubuhnya. Banyak penonton, terutama kaum hawa, yang kagum waktu itu.
Demam kaus oblong kian luas pada sekitar 1961, ketika aktor James Dean mengenakannya dalam film Rebel Without A Cause. Memasuki era 1970-an, eksistensi kaus oblong pun semakin kukuh. Dan kini, para desainer dan seniman memanfaatkannya sebagai media untuk mengekspresikan gagasannya. Juga di Indonesia.
Nurdin Kalim, Rana Akbari Fitriawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo