Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siapa sangka, dari bangunan bekas gudang tentara yang di Jalan Gudang Selatan, Bandung, terlahir berbagai desain unik untuk produk-produk pakaian jadi, seperti T-shirt, kemeja, celana panjang, tas, sepatu, dan berbagai aksesori, dengan omzet ratusan juta rupiah. Di gudang yang beralih fungsi sebagai studio itulah para desainer grafis muda berkreasi.
Mereka, Dendy Darman, Lucky Widiantara, Ade Muslim, Anli, dan Arifin Weindarman, bisa dikategorikan sebagai satu di antara sedikit yang menjadi pelopor bisnis konveksi eksklusif di Bandung: desain kaus yang dicetak dalam jumlah terbatas. Dari kebiasaan tukar-menukar desain kaus pada 1995, sekelompok bekas mahasiswa Seni Rupa ITB itu kemudian mencoba memproduksi berbagai jenis pakaian dan aksesori dengan merek 347nama yang diambil dari nomor tempat kos sekaligus kios pertama mereka di Jalan H. Juanda 347, Bandung.
Kini, studio 347 memiliki dua toko, satu studio, dan puluhan pegawai. Produk kreasi mereka telah beredar tidak hanya di Kota Bandung, tapi juga merembes ke kota-kota besar lainnya dengan cara pemasaran distribution outlet atau "distro".
Begitu juga dengan Ouval Research, yang juga terbilang salah satu pelopor distro. Pada 1997, Arief Maskom, sang pendiri yang juga penggila papan seluncur, bermodalkan Rp 200 ribu untuk membuat sepotong jaket. "Karena belum punya mesin jahit sendiri, saya menjahitkannya pada seorang teman," katanya.
Maskom menawarkan jaket rancangannya itu kepada rekan-rekannya sesama pemain skateboard, dan agaknya gaya rancangannya cukup diminati teman-temannya. Dari sanalah industri pakaian Maskom bermula. Lewat promosi dari mulut ke mulut, produk rancangan Maskom mulai diminati para pemain papan seluncur di Bandung. Bersama tiga rekannya, Maskom pada 1997 mendirikan Ouval Research.
Di luar keduanya, kita bisa menyebut nama-nama seperti Airplane, Anonim, Fire Flat, dan masih banyak lainnya yang hidup berjaya dalam bisnis distro ini. Coba tanyakan pada anak-anak muda kota besar, tidak mustahil mereka akan kenal merek dagang pakaian-pakaian eksklusif dengan ciri khas tiap-tiap distro.
Meski tak sampai mengguncang popularitas industri besar yang telah mendunia seperti Nike, Adidas, Reebok, pakaian unik personal kreasi distro ini tampaknya makin mendapat tempat di hati remaja kini.
Meski produk distro tampak eksklusif dan personalbiasanya satu item desain dicetak pada 50 kaus sajaharganya toh juga tak dipasang tinggi. Misalnya, sepotong kaus oblong dengan desain unik bisa didapat dengan harga Rp 50 ribu hingga Rp 75 ribu saja. Tak aneh jika setiap kali memproduksi satu item desain, produk tersebut bisa habis dalam waktu sehari.
Karena pengelola distro pantang memperbanyak lagi setiap produk yang sudah dipasarkan, barang-barang distro bisa dibanggakan sebagai koleksi eksklusif. "Tidak heran, sekarang ini di setiap sudut jalan di Bandung ada distro," ujar Khrisnamurti, manajer pemasaran distro Suave, Bandung
Saat ini, tidak kurang dari 200 distro bertebaran di Bandung dan sekitar 300 distro tersebar di Indonesia. Para "aktivis" distro yakin sekali bisnis mereka bukan sekadar semangat musiman, tapi benar-benar bisa berkembang dan mendongkrak perekonomian setempat. "Jika Jepang maju dengan produk elektroniknya, mengapa kita tidak memajukan distro?" kata Arief, yang juga desainer itu.
Pengamat desain Gustaff H. Iskandar bahkan yakin distro mampu memberdayakan perekonomian lokal sekaligus menciptakan kemandirian ekonomi. Pendapat alumni Seni Rupa ITB ini bisa jadi benar.
Nurdin Kalim, Rana Akbari Fitriawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo