Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NASKAH-NASKAH kuno Palembang itu ditemukan secara tak sengaja oleh filolog Palembang, Nyimas Umi Kalsum, di bubungan atap masjid buyutnya. Total ada sebelas karung naskah. Nyimas menuturkan, moyangnya dulu penghulu di Kesultanan Palembang Darussalam. Rumah limas tempat leluhurnya dulu dipakai sebagai tempat belajar keluarga kesultanan. “Banyak naskah yang saya temukan, tapi bentuknya sudah menyerupai kerupuk. Garing, dan susah diselamatkan,” ujarnya. “Dari 18 naskah yang bisa diselamatkan, hanya lima-enam yang lengkap dan dapat terbaca,” peneliti naskah kuno Palembang itu menambahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hati Nyimas miris. Sebab, bukan hanya naskah yang ia temukan di bubungan masjid leluhurnya yang rusak, tapi juga naskah kuno Palembang lain. Dari amatannya, banyak kondisi manuskrip itu yang lapuk. Ada manuskrip kuno yang teronggok di loteng rumah dan di masjid, bahkan ditaruh begitu saja di dalam kardus. Ada pula yang tersimpan di dalam lemari yang tak pernah dibuka selama puluhan tahun. “Lemari itu tertutup karena si pemilik mendapat amanat dari orang tuanya untuk menjaga isinya,” ucap dosen Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang tersebut saat ditemui pada 3 Juni lalu di Palembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Nyimas, ratusan tahun silam, manuskrip-manuskrip itu menjadi koleksi perpustakaan milik Sultan Mahmud Badaruddin II di istana Kesultanan Palembang Darussalam. Namun, sejak kerajaan tersebut ditaklukkan Belanda pada 1821, denyut nadi kesultanan berikut perpustakaannya terhenti. Kini perpustakaan itu menjadi ruang kantor Dinas Pariwisata Sumatera Selatan yang berada di area Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Kemas Andi Syarifuddin, kolektor naskah kuno Palembang, dan koleksi pribadinya yang didapat sebagai warisan dari kakeknya yaitu Kemas Haji Umar, yang merupakan penghulu pada masa kejayaan kesultanan Palembang Darussalam./Tempo/Parliza Hendrawan
Nyimas mulai meneliti manuskrip kuno pada 2000, saat mengambil studi filologi di Universitas Indonesia. Pada 2003, ia bersama para pengajarnya di UI melakukan studi soal naskah Sumatera Selatan. Ia menjelaskan, naskah lawas sangat penting bagi sejarah Sumatera Selatan dan Nusantara karena memuat banyak hal. Selain pesan moral, ada penjelasan tentang periode historis kerajaan, di antaranya soal kerajaan Islam, Palembang Darussalam (1659-1823), termasuk catatan mengenai pengucilan rajanya, Sultan Mahmud Badaruddin II (1803-1821), ke Ternate, Maluku Utara. Selama pemerintahannya, Mahmud Badaruddin II beberapa kali menantang Inggris dan Belanda. Hingga akhirnya, pada 1821, Belanda menaklukkan Palembang dan mengasingkan sang Sultan beserta keluarganya ke Ternate.
Naskah kuno yang didapatkan Nyimas juga menjelaskan konflik kerajaan tersebut dengan pemerintah Hindia Belanda pada 1819 dan 1821 alias Perang Palembang. Perang itu disebut-sebut sebagai bentrokan senjata terbesar di perairan pada akhir abad ke-19. Pada 1819, Palembang berhasil menaklukkan Belanda. Tapi dua tahun kemudian mereka kalah dalam serangan dadakan serdadu pimpinan Mayor Jenderal Hendrik Merkus de Kock di Sungai Musi. “Peristiwa bersejarah ini dikisahkan dalam bentuk syair di naskah Syair Perang Menteng,” tutur Nyimas.
Menurut Nyimas, peninggalan zaman Kesultanan Palembang Darussalam berbeda dengan era Kerajaan Sriwijaya. Pada masa keemasannya, Sriwijaya banyak membuat prasasti, seperti Talang Tuo, Telaga Batu, Kedukan Bukit, dan Kota Kapur. Sedangkan Palembang Darussalam meninggalkan manuskrip, terutama pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II. Berdasarkan penelitiannya, kebanyakan dokumen tersebut berisi pesan keagamaan, baik fikih, tasawuf, akidah, maupun tauhid. Ada juga skrip yang memuat mujarobat atau primbon, syair, hikayat, serta bahasa yang digunakan pada masa itu.
Sebelum tersebar ke banyak tempat dan pemilik, naskah-naskah itu tersimpan rapi di perpustakaan Palembang Darussalam pada masa kepemimpinan Mahmud Badaruddin II. Informasi tersebut ada dalam buku berjudul Lukisan tentang Ibu Kota Palembang tulisan J.I. van Sevenhoven yang pertama kali terbit pada 1823. Dalam buku itu Van Sevenhoven menyebutkan, setelah pasukan Belanda berhasil menduduki benteng keraton Kuto Besak pada Juni 1821, istana dikuasai De Kock.
Ilustrasi yang menggambarkan penyerangan Benteng Kuto Besak di Tepi Sungai Musi, Palembang (kanan)/ Tropenmuseum
Namun, saat menyisir istana, Belanda hanya menemukan 10 ribu gulden di kas kesultanan dan lainnya berupa emas, perak, serta uang pecahan senilai 37 ribu gulden yang kemudian dititipkan kepada kerabat keraton. Belanda kemudian menggeledah rumah-rumah bangsawan. Dari situ mereka memperoleh 55 naskah yang lalu dikirim ke Batavia. Naskah itu kini tersimpan di Leiden, Belanda.
Sayangnya, deskripsi tentang perpustakaan istana tak banyak. Van Sevenhoven hanya menuturkan bahwa perpustakaan telah dalam kondisi melompong ketika Belanda merangsek masuk ke keraton. Ia menduga perpustakaan lebih dulu dikosongkan oleh Sultan Mahmud Badaruddin II demi menyelamatkan naskah-naskah penting. Naskah itulah yang kemudian disebarkan ke rumah-rumah bangsawan agar disimpan dengan baik. “Sultan Mahmud Badaruddin II belajar dari pengalaman sebelumnya. Pada 1812, saat kalah oleh serdadu Inggris, kekayaan Palembang Darussalam dijarah habis,” kata Nyimas.
Pengunjung Museum mSultan Mahmud Badaruddin II di Palembang, 24 Juni lalu. / Tempo/Parliza Hendrawan
Pada masa pemerintahannya, Mahmud Badaruddin II menjadikan perpustakaan istana sebagai skriptorium naskah. Tempat itu tak hanya menyimpan manuskrip yang ditulis orang-orang kepercayaan Sultan, tapi juga menjadi pusat penulisan dan penyalinan naskah. Ketertarikan Mahmud Badaruddin II pada literasi seiring dengan cita-citanya menjadikan Kesultanan Palembang Darussalam sebagai pusat studi Islam dan sastra. Pada masa kepemimpinannya pula muncul sejumlah ulama yang mengembangkan pemikiran Islam.
Selain berwawasan luas, Mahmud Badaruddin II dikenal sebagai ahli diplomasi dan strategi perang. Bahkan, menurut Nyimas, Mahmud Badaruddin II juga seorang penulis. Ia membuat sejumlah karya, di antaranya Syair Sinyor Kosta, pantun Sultan Badaruddin, dan Syair Perang Menteng. Pantun Sultan Badaruddin ia lontarkan saat akan menikahi putri Kemas Muhammad, seorang kerabat keraton. Lain halnya dengan Syair Perang Menteng, yang isinya menyemangati prajurit kesultanan yang berperang melawan Belanda pada 1819.
Salah satu naskah kuno milik Andi Syarifuddin yang ditulis dengan aksara arab gundul./Dok.pr
Adapun Syair Sinyor Kosta ibarat memadukan perkara kolonialisme dengan percintaan. Syair ini bertutur tentang orang Belanda bernama Sinyor Kosta yang jatuh cinta kepada Lela Mayang, perempuan pribumi. Hasratnya tak cuma terhalang status Lela Mayang sebagai istri saudagar Cina, tapi juga terbentur adat dan budaya. Skrip syair yang berada di Leiden ini kemudian disalin kembali pada 1863.
••••
ANDI Syarifudin adalah salah satu kolektor naskah kuno yang menyimpan dengan baik koleksinya. Ia mengoleksi sekitar seratus manuskrip Palembang Darussalam, yang sebagian besar masih dalam kondisi baik. Naskah tersebut dia peroleh secara turun-temurun. Pemilik pertama adalah kakek buyutnya. Sang kakek, pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II, adalah ulama di bagian kepenghuluan Kesultanan Palembang Darussalam.
Kebanyakan dari naskah itu bertutur tentang agama, walau ada pula yang menjelaskan obat tradisional. “Mungkin karena kakek buyut saya pemuka agama, jadi naskah yang ia simpan kebanyakan soal itu, seperti fikih dan tasawuf,” ujarnya. Menurut Andi, sebagian besar ajaran di naskah itu sudah diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari warga Palembang. Namun berbeda dengan naskah tentang herba. “Banyak istilah bahan yang sudah sulit kita kenali sekarang ini.”
Pengecekan kondisi naskah yg berada di Ogan Komering Ilir oleh Nyimas Umu Kalsum./ Tempo/Parliza Hendrawan
Ihwal upaya pelestarian, Andi mempersilakan peneliti memanfaatkan naskah Palembang koleksinya. “Silakan mengakses naskah-naskah yang ada untuk diteliti lebih dalam dan jauh,” tutur peraih Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional RI tersebut. Penghargaan itu diberikan kepada orang yang dianggap berkontribusi bagi pengembangan literasi, perpustakaan, dan minat baca daerahnya. Nyimas Umi Kulsum menambahkan, ia—dengan dibantu Perpustakaan Nasional—tengah berupaya mendokumentasikan naskah secara digital. Namun kerja yang rencananya berlangsung tahun ini tersebut terpaksa ditunda karena pandemi virus corona.
Sebelum rencana itu, Nyimas sudah berusaha membuat dokumentasi digital naskah kuno. Pendataan dimulai pada 2003 oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara yang dipimpin guru besar Universitas Indonesia, Achdiati Ikram, bekerja sama dengan University of Tokyo, Jepang. Ketika itu tercatat lebih dari 200 naskah kuno direkam secara digital, hasil blusukan Nyimas ke masyarakat Palembang. “Jadi kami tidak harus memiliki naskah asli karena sudah punya salinannya versi digital,” ucapnya.
Nyimas kemudian juga mendata naskah kuno Palembang bersama lembaga Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia. Dari situlah didapati bahwa naskah-naskah itu terpencar dan sebagian tidak terawat. Doktor peradaban Islam itu mengungkapkan, banyak orang tak paham isi manuskrip karena menduga benda tersebut hanyalah warisan leluhur mereka. Yang membuat Nyimas merasa getir, ada orang yang sampai membakar naskah karena ketidaktahuan mereka akan sejarah di baliknya. Namun, di sisi lain, ada yang paham nilai sejarah manuskrip tersebut tapi justru menjualnya. “Kolektor dari luar negeri sangat agresif, terutama kolektor Malaysia yang ingin mencari jati diri kemelayuannya. Mereka bersedia membayar mahal naskah-naskah kuno itu,” kata Nyimas.
Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sumatera Selatan Farida R. Wargadalem mengatakan banyak naskah, termasuk dari tanah kelahirannya, yang masih berada di tangan masyarakat. Ia khawatir, bila tidak diselamatkan, manuskrip itu akan rusak, bahkan punah. Apalagi sebagian naskah selama ini hanya dirawat ala kadarnya. Karena itu, ia berharap pemerintah tergerak untuk membuat museum khusus tentang naskah. “Di sisi lain, pemerintah juga mesti terus melakukan pendekatan agar pemilik naskah mau menyerahkannya,” tuturnya.
ISMA SAVITRI, PARLIZA HENDRAWAN (PALEMBANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo