Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alkisa pertama mula
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pangeran Muhammad membuat celah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raja Akil demikian pula
Berserta dengan kafir segala
Inilah konon mula pertama
Holanda dan Ambon bersama-sama
Idelir Menteng Holanda nama
Kornel Bakar jadi panglima
Telah putus semua bicaranya
Naikla serdadu serta opsirnya
Di kota lama tempat diamnya
Seratus tujuh puluh lima banyaknya
DITULIS dalam aksara Arab Melayu, penggalan bait Syair Perang Palembang tersebut menjadi mudah dibaca oleh siapa saja. Larik yang tertulis dalam lembaran kertas kuning kecokelatan itu mengandung makna mendalam tentang bagaimana pasukan Kesultanan Palembang Darussalam berhasil mengusir serdadu Belanda pada 1819. Ketika itu, Kesultanan Palembang dipimpin Sultan Mahmud Badaruddin II.
Naskah yang juga dikenal sebagai Syair Perang Menteng itu ada dalam kitab milik Kemas Andi Syarifuddin. Andi adalah kolektor sekitar seratus naskah kuno peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam. “Dengan strategi yang licik, Belanda akhirnya berhasil menguasai Palembang. Setelah diduduki Belanda pula kesultanan di Palembang dihapuskan pada 1821,” ujarnya, Kamis, 25 Juni lalu, di Palembang.
Syair Perang Palembang yang terdiri atas 260 bait yang ditulis dengan huruf Arab Melayu./ Tempo/Parliza Hendrawan
Di antara naskah-naskah kuno Palembang Darussalam, Syair Perang Palembang adalah salah satu yang tersohor karena merekam peristiwa bersejarah pada masanya. Ini menarik karena teks berbentuk syair dipilih penyair pada masa itu untuk menyampaikan perjuangan mereka dalam perang, sekaligus menjadi bentuk perlawanan terhadap Belanda.
Namun, dalam narasinya, Syair Perang Palembang tak menyebutkan soal pemantik perang, yang sejatinya menyangkut politik Istana dan polemik dengan pemerintah kolonial. Ada yang menduga ini terjadi karena penulisnya setia kepada kesultanan tempatnya bernaung sehingga memilih mengemas peristiwa aktual pada masa itu dalam narasi syair.
Andi menjelaskan, semula ia tidak mengetahui siapa penulis Syair Perang Palembang yang terdiri atas 260 bait itu. Sebab, di fisik kitab pun tidak ada jejak tulisan tentang sosok pembuatnya. Belakangan ia mendapat informasi dari seorang budayawan Palembang, Muhammad Akib, bahwa syair itu ditulis sekretaris pribadi Mahmud Badaruddin II, Muhammad Rasyif. Ia kemudian mempelajari filologi agar bisa mendalami naskah kuno Palembang.
Tercatat ada tiga naskah Syair Perang Palembang. Satu di kediaman Andi dan dua lainnya tersimpan di perpustakaan Universiteit Leiden, Belanda. Naskah yang sebagian kertasnya sudah robek termakan usia itu dulu disimpan kerabat Andi, Ki Pedatuan atau Kemas Haji Abdullah, tokoh masyarakat kawasan 12 Ulu, Palembang, yang wafat pada 1939. Syair tersebut satu dari seratus naskah kuno yang disimpan Andi di kediamannya. “Saya berkomitmen menjaga warisan keluarga ini dan tak akan menjualnya dengan harga berapa pun.”
PARLIZA HENDRAWAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo