Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Syair Perlawanan untuk Belanda

Syair Perang Palembang merupakan salah satu manuskrip tua Palembang yang tersohor.

27 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sampul buku yang berisi Syair Perang Palembang./ Tempo/Parliza Hendrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alkisa pertama mula

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pangeran Muhammad membuat celah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Raja Akil demikian pula

Berserta dengan kafir segala

Inilah konon mula pertama

Holanda dan Ambon bersama-sama

Idelir Menteng Holanda nama

Kornel Bakar jadi panglima

 

Telah putus semua bicaranya

Naikla serdadu serta opsirnya

Di kota lama tempat diamnya

Seratus tujuh puluh lima banyaknya


DITULIS dalam aksara Arab Melayu, penggalan bait Syair Perang Palembang tersebut menjadi mudah dibaca oleh siapa saja. Larik yang tertulis dalam lembaran kertas kuning kecokelatan itu mengandung makna mendalam tentang bagaimana pasukan Kesultanan Palembang Darussalam berhasil mengusir serdadu Belanda pada 1819. Ketika itu, Kesultanan Palembang dipimpin Sultan Mahmud Badaruddin II.

Naskah yang juga dikenal sebagai Syair Perang Menteng itu ada dalam kitab milik Kemas Andi Syarifuddin. Andi adalah kolektor sekitar seratus naskah kuno peninggalan Kesultanan Palembang Darussalam. “Dengan strategi yang licik, Belanda akhirnya berhasil menguasai Palembang. Setelah diduduki Belanda pula kesultanan di Palembang dihapuskan pada 1821,” ujarnya, Kamis, 25 Juni lalu, di Palembang.

Syair Perang Palembang yang terdiri atas 260 bait yang ditulis dengan huruf Arab Melayu./ Tempo/Parliza Hendrawan

Di antara naskah-naskah kuno Palembang Darussalam, Syair Perang Palembang adalah salah satu yang tersohor karena merekam peristiwa bersejarah pada masanya. Ini menarik karena teks berbentuk syair dipilih penyair pada masa itu untuk menyampaikan perjuangan mereka dalam perang, sekaligus menjadi bentuk perlawanan terhadap Belanda.

Namun, dalam narasinya, Syair Perang Palembang tak menyebutkan soal pemantik perang, yang sejatinya menyangkut politik Istana dan polemik dengan pemerintah kolonial. Ada yang menduga ini terjadi karena penulisnya setia kepada kesultanan tempatnya bernaung sehingga memilih mengemas peristiwa aktual pada masa itu dalam narasi syair.

Andi menjelaskan, semula ia tidak mengetahui siapa penulis Syair Perang Palembang yang terdiri atas 260 bait itu. Sebab, di fisik kitab pun tidak ada jejak tulisan tentang sosok pembuatnya. Belakangan ia mendapat informasi dari seorang budayawan Palembang, Muhammad Akib, bahwa syair itu ditulis sekretaris pribadi Mahmud Badaruddin II, Muhammad Rasyif. Ia kemudian mempelajari filologi agar bisa mendalami naskah kuno Palembang.

Tercatat ada tiga naskah Syair Perang Palembang. Satu di kediaman Andi dan dua lainnya tersimpan di perpustakaan Universiteit Leiden, Belanda. Naskah yang sebagian kertasnya sudah robek termakan usia itu dulu disimpan kerabat Andi, Ki Pedatuan atau Kemas Haji Abdullah, tokoh masyarakat kawasan 12 Ulu, Palembang, yang wafat pada 1939. Syair tersebut satu dari seratus naskah kuno yang disimpan Andi di kediamannya. “Saya berkomitmen menjaga warisan keluarga ini dan tak akan menjualnya dengan harga berapa pun.”

PARLIZA HENDRAWAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus