Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSIK tradisional yang dinamis dan atraktif memecah sunyi Kota Bristol, Inggris. Di panggung, 17 pemain yang didominasi kulit putih dengan lincah memainkan instrumen gamelan gong kebyar bernama Gamelan Candra Gita Suara, dari gender hingga gong. Gamelan baru asal Bali senilai 15 ribu pound sterling itu diangkut dua truk dari Plymouth ke Bristol, dengan waktu tempuh sekitar dua setengah jam. Hari itu, Sabtu, 29 April 2017, ratusan penonton di Trinity Center Bristol berdecak kagum melihat permainan kelompok gamelan Plymouth University pimpinan Saj Collyer tersebut. Tepuk tangan selalu membahana di akhir komposisi dan tari, termasuk dari Duta Besar Republik Indonesia Rizal Sukma.
Terbagi dalam dua sesi, pagi dan sore masing-masing 30 menit, mereka membawakan Tari Pendet, Kosalia Arini, Topeng Keras, Bapang Selisir, dan Tabuh Telu Sekatian. Dua tari itu dibawakan oleh Ekadamayanti. "Awalnya agak grogi karena memainkan musik yang banyak orang sudah tahu, karena banyak orang Indonesianya," kata Saj Collyer. Namun kepuasan para pemain dan penonton tampak di akhir pementasan. Kelompok gamelan Plymouth University menjadi bintang acara itu, selain Bristol Community Gamelan.
Itulah salah satu geliat pentas gamelan di Inggris. Dan gamelan kembali menggeliat dengan lebih meriah di London pada awal September lalu. Lantunan sinden yang menembang terdengar dari sebuah ruangan di School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London. Di ruangan lain, terdengar para pemain gamelan sedang berlatih bonang, rebab, gender, suling, dan kendang.
Sepanjang 6-9 September lalu, memang berlangsung lokakarya gamelan di London. Para pencinta dan pemain gamelan dari penjuru Inggris berkumpul di kawasan Russell Square. Diikuti sekitar 50 peserta, acara itu merupakan bagian dari rangkaian Festival Gamelan Internasional, yang berpuncak pada pementasan Setan Jawa arahan sutradara Garin Nugroho di Cadogan Hall London pada 10 September dan berakhir di The Royal Conservatoire of Scotland, Glasgow, 15 September lalu.
Pentas Setan Jawa malam itu juga sebagai penanda pra-peluncuran Festival Gamelan Internasional yang akan berlangsung di Solo pada Agustus 2018. Dalam festival itu, semua pemain gamelan dari penjuru dunia berkumpul kembali dan menggelar reuni di tanah asal gamelan. "Karena gamelan sekarang tersebar di berbagai pelosok dunia. Di Inggris dan sekitarnya ada di Glasgow, York, London, dan Dublin. Ada juga di Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Belanda, Prancis, dan masih banyak lagi. Saatnya untuk mereka semua ’pulang’ ke induk asalnya, Indonesia," ujar Ahmad Mahendra, Kepala Subdirektorat Diplomasi Budaya Luar Negeri.
Inggris menjadi pilihan, menurut Mahendra, karena bukan hanya soal eksotisme dan keindahan musikalnya, tapi di negeri ini perkembangan gamelan begitu pesat dan diterima masyarakat, bahkan menjadi wahana terapi di rumah tahanan. John Pawson, pegiat gamelan yang mengajar di Southbank Center, semacam pusat kebudayaan di London, menyatakan ada lebih dari 100 kelompok gamelan yang tumbuh dan 15 kelompok di antaranya sangat aktif menggelar pentas. "Bahkan ada majalah seperti Pelog terbitan Cambridge pada 1980-an dan London Women menerbitkan Seleh Notes pada 1990-an," kata Pawson, yang juga co-producer di rangkaian acara festival gamelan di London itu.
Berikut ini beberapa kelompok gamelan di Inggris yang hingga kini masih terus aktif mengadakan pentas dan berbagai kegiatan lain terkait dengan perkembangan gamelan di sana.
Ekky Imanjaya, Kontributor Tempo Di London
Southbank Gamelan Players
PADA 1987, perintis gamelan di Inggris, Alec Roth, membentuk kelompok Southbank Gamelan Players di Southbank Center, London. Kelas-kelas gamelan pun kemudian dibuka untuk mahasiswa, guru, musikus, dan anak-anak. Roth mulai merekrut para pemain, khususnya yang sudah belajar gamelan atau mendapat beasiswa Darmasiswa. Kelompok ini diresmikan di The Queen Elizabeth Hall pada 1988 bersamaan dengan dirilisnya gamelan Kyai Lebdajiwa, yang merupakan hadiah dari pemerintah Indonesia. Kelompok ini resmi menjadi bagian dari Ensemble in Residence di sana, menyertai The London Philharmonic Orchestra.
Southbank Gamelan Players mengadakan pentas keliling di Inggris, Eropa, Indonesia, dan Malaysia, termasuk mengiringi Bjork dalam acara MTV Unplugged pada 1996. Pentas penting lainnya adalah dalam konser BBC Prom di Royal Albert Hall bersama Sekolah Tinggi Seni Indonesia Solo pada 1998 dan pentas wayang kulit bersama Slamet Gundono di World of Music, Arts, and Dance Festival 1997. Bersama maestro gamelan Rahayu Supanggah, kelompok ini juga mengiringi konser musik dari film Opera Jawa arahan Garin Nugroho di British Film Institute pada 2007.
Dari kelompok gamelan inilah kemudian lahir sosok seperti John Pawson dan Cathy Eastborn serta organisasi Good Vibrations, yang menerapkan terapi gamelan ke berbagai penjara di Inggris, dengan Alec Roth sebagai salah satu pembinanya. "Setelah beberapa tahun, saya menyadari bahwa para pemain kami lebih baik dari saya, sehingga saya pun mundur dan berkonsentrasi sebagai komposer," ujar Roth.
Adapun John Pawson pernah memimpin Southbank Gamelan Players pada 1990-an. Pawson, co-producer acara Festival Gamelan London dan Setan Jawa 2017, telah mengajar gamelan lebih dari 27 tahun, termasuk terapi untuk orang yang sulit belajar (learning disabilities), narapidana, dan pecandu narkotik bersama organisasi Good Vibrations. "Bukan hanya musiknya yang indah, dalam gamelan juga ada kerja sama," ucap Pawson. Hal itulah yang menjadi alasan dia mencintai gamelan. Kini, pria yang bekerja di Southbank Centre dan the Royal College of Music, London, itu aktif mengajar di sana setiap Jumat dan tidak memungut biaya.
Gong and Gamelan Sound Bath
KELOMPOK Gong and Gamelan Sound Bath memang tak bisa lepas dari pengasuhnya, Cathy Eastburn. Bersama lembaga amal Good Vibrations, dialah yang aktif melakukan terapi musik gamelan di berbagai penjara sejak 2003. "Selama belajar gamelan di Southbank, saya merasakan ketenangan saat mendengarkan bunyi-bunyiannya," ujar Eastburn. "Bukan hanya itu, dalam bermain bersama grup, saya merasakan keharusan untuk saling mendengarkan dan kemampuan bekerja sama."
Maka, bersama timnya, termasuk John Pawson, Cathy Eastburn pun kemudian rutin menggelar lokakarya terapi di lima rumah tahanan: Glen Parva, Wakefield Prison (yang merupakan penjara dengan keamanan ketat), Brixton (London), Nottingham, dan The Wolds (East Yorkshire). "Biasanya lokakarya berlangsung selama sepekan. Ada satu set gamelan yang dimainkan oleh narapidana yang mau ikut serta. Pesertanya sekitar 20 orang," ucapnya. Di akhir sesi, menurut Eastburn, ada semacam pentas informal dan peserta bebas berimprovisasi. "Yang penting adalah melatih emosi, belajar tak hanya saling mendengarkan, tapi juga menahan diri dan saling melengkapi serta bereaksi atas aksi rekan-rekannya."
Eastburn mengatakan terapi di penjara ini diteliti oleh beberapa akademikus, di antaranya dari Institute of Criminology di University of Cambridge dan Birmingham City University. Dari berbagai makalah ini, dinyatakan bahwa terapi gamelan terbukti membuat narapidana lebih baik dalam pengendalian emosi dan berinteraksi dengan sipir penjara. "Dan tak sedikit para napi yang termotivasi untuk meneruskan pendidikan mereka selepas dari sel," katanya.
Siswa Sukra
KELOMPOK gamelan Siswa Sukra, London, boleh dibilang identik dengan Peter Smith. Dibentuk pada 2009, Siswa Sukra merupakan kumpulan dari murid-murid Smith di Southbank Center, yang belajar gamelan tiap Jumat di sana. Kelompok ini pernah menggelar pentas hingga ke Irlandia (2015) dan Hungaria (2016). "Tapi yang terjauh adalah pentas di Karanganyar, Jawa Tengah," kata pria yang pintar berbahasa Jawa dan Indonesia serta kerap disapa Parto ini.
Pada awal September lalu, saat berlangsung festival gamelan di London, Peter Smith baru dua pekan tiba di Inggris. Bersama 25 anggota kelompoknya, Siswa Sukra, dia berkeliling Indonesia, menapaktilasi sejarah hidupnya dan mendekatkan diri dengan asal-muasal gamelan. Smith menyatakan ini perjalanan spiritual yang penting bagi kedua belah pihak. Indonesia akan merasa bangga karena gamelan sudah tersebar secara global, dan grupnya bisa merasakan langsung budaya Indonesia. "Banyak yang belajar gending Jawa, tapi mereka belum makan sayur lodeh, lewat pasar, dan lihat sawah," ujarnya.
Maka Siswa Sukra pun melakukan lokakarya dan klenengan (jam session) ke desa-desa bersama anak-anak dan orang dewasa, termasuk ke sekolah-sekolah dasar. Mereka juga berkunjung ke Desa Jatitekan, Jawa Tengah, yang merupakan pusat perajin gamelan.
Bagi Smith, Indonesia, khususnya Solo, adalah tempat yang istimewa. Atas saran Neil Sorrell, gurunya di University of York, dia mendaftar untuk mendapat beasiswa Darmasiswa, dan pada 1992 menetap di Solo selama tiga tahun. "Karena itulah hal paling berkesan bagi saya adalah kembali ke Indonesia bersama anggota Siswa Sukra, berjumpa dengan kawan-kawan lama sambil mengantarkan siswa-siswa saya ke tempat-tempat yang saya suka," kata pengajar gamelan di Southbank Center yang punya pengalaman lebih dari 20 tahun itu.
Smith masih ingat interaksi pertamanya dengan gamelan. "Saya, sebagai mahasiswa tahun pertama, diminta membuka paket seperangkat alat gamelan oleh Sorrell," ujarnya. "Itulah pertama kali saya melihat sesuatu yang aneh dan eksotis, termasuk gong yang bersinar kecokelatan." Dan saat alat musik itu dimainkan, Smith seolah-olah bermandikan suara. l
Plymouth University
PEMBENTUKAN kelompok gamelan Plymouth University berawal dari sebuah koridor di Dartington College of Arts di Devon pada 1989. Saat itu, pendiri kelompok gamelan ini, Saj Collyer, melangkah di koridor tersebut dan mendengar sayup-sayup sebuah suara yang membuatnya jatuh hati. Wanita yang baru saja hendak masuk kuliah jurusan musik ini pun tertarik dan mencari tahu sumber suara. Sepekan kemudian, dia bergabung dengan kelompok gamelan di kampusnya. "Padahal itu kursus dasar saja, dan saya belum melihat gamelan Bali dengan ’layak’ hingga tiga tahun kemudian di Bali!"
Saj Collyer memang pencinta musik. Dia bermain klarinet sejak berusia 7 tahun, piano pada usia 12 tahun, dan piano akordeon ketika 17 tahun. Bagi Collyer, gamelan bukan sekadar praktik spiritual, melainkan memainkannya membuat dirinya kalem dan melupakan problematika, di samping latihan untuk otak musikalnya.
Pada 1992, Collyer memperoleh beasiswa Darmasiswa studi ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar, Bali, dan dia belajar dari suhu-suhu terbaiknya. Saat kembali dua tahun kemudian, Collyer langsung ditawari kerja sebagai guru gamelan di Dartington College of Arts, dan dari sanalah kariernya dimulai, hingga kampusnya tutup pada 2010. Dia juga mengajar ribuan orang di Inggris dan Eropa, dewasa dan anak-anak.
Sejak 2010, Collyer mendapat tawaran mengajar gamelan di Plymouth University, yang juga setuju untuk membeli Gamelan Candra Gita Suara langsung dari Bali. Di Plymouth, kelompok gamelannya terdiri atas mahasiswa, baik dari jurusan musik maupun yang lain, pegawai kampus, mantan mahasiswa, dan, jika ada ruang, masyarakat umum. Semuanya dilakukan selama dua setengah jam per pekan, dan gratis.
Kecintaan Collyer pada kesenian Bali membuatnya selalu ingin berkunjung, khususnya untuk Pesta Kesenian Bali. Collyer hanya dua kali ke Pesta Kesenian itu. "Untunglah ada YouTube, yang membuat saya mengikuti perkembangannya, walau ini tak sama dengan kalau kita hadir di sana," ujarnya.
Kecintaan Collyer pada gamelan juga mengantarkannya berpentas di Festival Glastonbury, yang acap dianggap sebagai Woodstock-nya Inggris, 1997. "Saat itu, kami punya kelompok yang fantastis dan main di Green Future Stage." Collyer, yang tengah mengandung enam bulan anak keduanya, bersama tim, berjuang melewati area festival yang licin dan keruh oleh lumpur. "Tapi, dari atas panggung, gamelan itu begitu berkilau emas dan suaranya begitu manis. Sebuah petualangan seru!"
Gamelan Lila Cita
PENDIRI kelompok gamelan Lila Cita, Andy Channing, mengaku jatuh cinta pada gamelan karena bunyinya dan bagaimana musik itu diorganisasi. "Saya suka bagaimana semua alat saling terkait dan saling tergantung," ujarnya. "Selain itu, aspek sosialnya, saat para pemain bersama-sama memainkannya dan saling berinteraksi," kata anggota staf School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London ini.
Andy Channing membentuk Lila-Bhawa Lila Cita, gamelan Bali, sesaat setelah dia pulang dari Darmasiswa di Solo (1989-1991). Saat itu, tidak ada gamelan Bali di London, dan hanya ada gamelan Jawa. Angklung Bali baru tiba beberapa saat sebelum dia ke Solo. Awalnya, sembari mengajar gamelan Jawa di Southbank Center dan tempat lain, Channing mulai membentuk grup angklung Bali, Kembang Kirang, pada Maret 1992. Baru setelah salah satu anggota membeli perabot gamelan gong kebyar pada 1997, namanya diubah menjadi Lila Cita ("Hiburan Hati"), mengikuti nama gamelannya.
Kelompok gamelan ini beranggotakan sekitar 20 orang. Mereka berasal dari berbagai profesi dan semuanya non-Indonesia. "Biasanya saya merekrut pemain dari mahasiswa musik terbaik di SOAS dan City University, juga dari the LSO St Luke’s Community yang saya turut kelola," ujarnya.
Karena belum ada peralatan gamelan Bali, Channing mengajar dengan gamelan Jawa. Pentas awal mereka adalah gamelan angklung di Clerkenwell Festival, London, pada 1992, dan gamelan gong kebyar di Barcelona, Spanyol, pada Februari 1997. Setelah itu, grup ini memutuskan berfokus pada gong kebyar, walau masih memainkan gamelan angklung, semar pegulingan, samara dana, dan baleganjur. Pada 2006, mereka menjadi grup dari Inggris pertama yang tampil di ajang bergengsi, Pesta Kesenian Bali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo