Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASALAH baru muncul di hadapan Eka Kurniawan, 41 tahun. Ia mungkin tak dapat menikmati seluruh royalti dari tiga novelnya yang diterbitkan dan dijual di luar negeri lantaran berpotensi terkena pajak ganda. "Dipajakin di negara asing, masuk ke Indonesia dihitung pula di PPh (pajak penghasilan)," tutur Eka melalui surat elektronik kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu.
Eka mengatakan Indonesia telah bekerja sama dengan sejumlah negara untuk menghindari pajak ganda. Kesepakatan lainnya, penulis dikenai pajak terendah di negara-negara tersebut. Namun, untuk memperoleh keringanan pajak ini, para penulis harus mengurus dokumen berupa surat domisili pajak. "Sampai sekarang urusan soal ini belum kelar. Capek juga mengurusnya," katanya.
Novel-novel Eka sudah merambah pasar global. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas menjadi karya ketiganya yang disadur ke bahasa Inggris. Sebelumnya, novel Cantik Itu Luka sudah diterjemahkan dalam 34 bahasa. Adapun Lelaki Harimau, novel Eka yang terbit pertama kali pada 2004, sudah dirilis dalam 13 bahasa.
Bukan cuma Eka yang repot dengan urusan pelik pajak royalti. Polemik pajak penulis mencuat setelah novelis Tere Liye mengeluh di Facebook pada awal September lalu bahwa pajak yang dikenakan kepada penulis kelewat tinggi karena royalti dianggap penghasilan super-netto. "Tidak ada tarif khususnya," ujar penulis bernama asli Darwis itu.
Tere menyatakan telah mengirimkan surat ke Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dan Badan Ekonomi Kreatif untuk berdiskusi soal tingginya pajak penulis. Permohonannya tak berbalas. Ia lantas menarik sejumlah bukunya dan memutus kontrak dengan penerbit sebagai bentuk protes.
Aduan Tere di dunia maya itu menjadi viral. Penulis Dewi Lestari, dalam blognya, ikut membahas masalah itu. Menurut dia, jatah royalti penulis berkisar 10 persen dari harga buku di toko. Namun jatah itu dipotong lagi 15 persen untuk pajak. "Kami tak pernah mengecap seratus persen penerimaan royalti karena pemotongan bersifat langsung," demikian tulis novelis yang akrab disapa Dee itu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun turun tangan. Kebijakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto 50 persen bagi penulis bakal dikaji lagi. Pajak untuk beragam profesi seni, yang memiliki pola produksi dan pendapatan berbeda, juga perlu disesuaikan.
Ketua Komite Buku Nasional Laura Prinsloo mengatakan kegundahan penulis atas pajak royalti adalah masalah yang terpendam lama. Isu ini bahkan sudah pernah disinggung Pramoedya Ananta Toer, penulis tetralogi Buru. Isu ini meluas ke ruang publik begitu sejumlah penulis ternama lain angkat bicara.
Pajak royalti penulis hanya sebagian dari puncak gunung es masalah yang membelit dunia perbukuan Indonesia. Para penulis ternama dengan nilai penjualan buku tinggi saja langsung merasa pahit ketika royaltinya terkena pajak tinggi. Penulis lain dengan nilai penjualan buku dan royalti kecil lebih terpukul lagi. "Seharusnya masalah ini dipecahkan dari hulunya dulu," kata Laura.
Bukan hal mudah bagi penulis mendapatkan royalti yang memuaskan dari penerbit. Jauh sebelum bernegosiasi soal royalti, para penulis membuka jalannya sendiri dengan mengirimkan naskahnya ke penerbit. Tim editor kemudian menentukan naskah mana yang layak diterbitkan.
Prosedur penerbitan di luar negeri, menurut Eka, tidak berbeda jauh dengan di Indonesia. Penulis menawarkan naskahnya dan bisa ditawari kontrak jika penerbit tertarik. Semua kesepakatan tertera di dalam kontrak, termasuk besaran royalti yang didapat penulis. "Penerbit Indonesia mengikuti sistem yang berlaku secara internasional."
Meski prosedur penerbitannya mirip, besaran royalti berbeda di setiap negara, tapi umumnya berkisar 10 persen. Kalau punya nama bagus, kata Eka, bisa menawar 12-15 persen. Sejumlah faktor yang mempengaruhinya, menurut dia, antara lain pasar dan format buku. Penerjemah terkadang juga ikut meminta jatah royalti. Belum lagi negosiasi dengan penerbit asing yang dilakukan oleh agen. "Royalti penulis umumnya dipotong 20 persen untuk komisi agen ini," ujarnya.
Dee mengatakan penulis memakai agensi buku jika berurusan dengan penerbit asing. Agensi juga yang mewakili penulis bernegosiasi dengan penerbit. Adapun proporsi royaltinya mirip dengan di Indonesia. "Kalau pakai agen dan penerjemah, royaltinya terbagi tiga," kata penulis Perahu Kertas, yang sudah diterbitkan versi Malaysia dan dalam bahasa Inggris, itu.
Menurut Dee, penulis dan penerbit biasanya berbagi 30-40 persen dari nilai sebuah buku. Sisanya adalah biaya untuk produksi, distribusi, dan toko buku. "Royalti penulis bisa sampai 17,5 persen, tapi itu jarang sekali," tutur pengarang novel populer Supernova itu dalam surat elektronik dua pekan lalu.
Status senioritas dan posisi tawar penulis, menurut Dee, ikut mempengaruhi besaran royalti. Penulis baru biasanya dijatah 5-7 persen. Proporsinya bisa naik tergantung peningkatan jumlah penjualan buku. "Hingga 10-12 persen," ujar Dee, yang memulai karier menulis dengan menerbitkan sendiri karya-karyanya.
Selain royalti, menurut Triyanto Triwikromo, penulis menerima uang muka yang berbeda tergantung jumlah buku yang dicetak. Berhadapan dengan penerbit besar, kata pengarang kumpulan puisi Kematian Kecil Kartoesoewirjo ini, penulis selalu mengikuti aturan. "Terhadap penerbit minor atau indie bisa tawar-menawar," ucap penulis kumpulan cerita Ular di Mangkuk Nabi yang diganjar Penghargaan Sastra Pusat Bahasa pada 2009 itu.
Penulis dengan nama dan karya bagus bisa memiliki posisi tawar tinggi. Terkadang mereka bisa meminta royalti hingga 15 persen. Namun Eka tak yakin penerbit rela mengorbankan keuntungan mereka hanya untuk menambah royalti penulis. Yang sering terjadi malah harga buku dinaikkan untuk mengkompensasi peningkatan royalti penulis.
Harga buku yang tinggi justru berisiko membuat orang mengurungkan niat membeli. Mereka juga bisa berpaling ke buku bajakan. Jika ini yang terjadi, pendapatan penulis jelas berkurang. "Mungkin tampak ada penambahan besar royalti, tapi ada risiko berkurangnya penjualan," kata Eka.
Pameran dan promosi buku-buku Indonesia di luar negeri harus lebih sering diadakan untuk mempopulerkan penulis dan karyanya. Penjualan hak cipta buku-buku Indonesia meningkat sejak negara ini ikut sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015. "Karya penulis Indonesia banyak diminati," ujar Laura. "Mereka ditantang menulis untuk audiens internasional dan bersaing dengan penulis asing."
Program residensi juga menjadi trik bagi penulis mencari bahan dan membuat jaringan di negara lain. Tahun lalu, Komite Buku Nasional bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merintis program ini dengan mengirimkan sembilan penulis ke luar negeri. Tahun ini, ada 21 penulis yang tengah melakukan riset di 13 negara, di antaranya A.S. Laksana di Finlandia, Zen Hae (Republik Cek), dan Triyanto Triwikromo (Jerman). "Juga untuk menjalin relasi dengan penerbit, universitas, dan penulis di sana," kata Laura.
Menurut Triyanto, yang sejumlah karyanya telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Belanda, dan Prancis, program residensi menulis bisa membantu perkembangan penulis. "Potensi penerbitan tulisan di luar juga cukup tinggi," ujar Tri, yang sedang menjalani program residensi selama tiga bulan.
Gabriel Wahyu Titiyoga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo