Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NIKODEMUS Simamora, 31 tahun, galau melihat pertumbuhan bayinya, Kenisa. Setelah lahir, berat badannya terus merosot. "Saya miris melihatnya," ujar Niko, Selasa dua pekan lalu.
Berat badan Kenisa saat lahir mencapai 3,4 kilogram. Pada usia sepekan, bobotnya turun menjadi 3,1 kilogram, dan menyusut menjadi 2,9 kilogram ketika berusia dua pekan. Puncaknya, pada umur 19 hari, beratnya hanya 2,7 kilogram. "Kurus banget, kayak alien," kata Niko, yang tinggal di Bogor, Jawa Barat.
Padahal anaknya doyan menyusu. Tak seperti bayi lain, yang biasanya menyusu setengah jam lalu menyusu lagi dua jam kemudian, Kenisa bisa menetek lebih dari satu jam. Ia pun menangis minta disusui lagi sejam kemudian. Ia seperti selalu kehausan dan kelaparan.
Sejak Kenisa berumur dua pekan, Niko dan istri berkonsultasi ke dokter. Tapi mereka tak puas atas jawaban dokter. Ada dokter yang langsung meresepkan susu formula untuk meningkatkan berat badan Kenisa. Mereka pun mengabaikannya karena bertekad memberikan ASI eksklusif enam bulan.
Setelah mencari informasi di Internet, mereka curiga Kenisa memiliki tongue tie, yakni selaput lidah pendek, sehingga membuatnya kesulitan menetek. Dokter menemukan tongue tie Kenisa terletak di bagian dalam yang sulit dilihat. Tongue tie lalu dipotong. Sejak itu, aktivitas menyusunya jadi normal, berat badannya pun terus naik. Kini, di usia 16 bulan, tubuh Kenisa tergolong paling tinggi di antara kawan seumuran di kompleksnya. Ia pun jadi jarang mengalami sakit.
Tongue tie (ankyloglossia) adalah kelainan bawaan pada pita atau tali jaringan ikat yang menghubungkan dasar lidah dengan ujung lidah bagian bawah. Orang awam mengenalnya sebagai lidah pendek. Menurut dokter spesialis bedah mulut Semi Riawan, bukan lidahnya yang pendek, melainkan jaringan ikatnya- yang disebut frenulum. "Karena frenulum tadi pendek, gerakan lidah menjadi terbatas," ujar dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, itu.
Dalam keadaan normal, menurut Semi, lidah akan elastis. Gerakannya tak akan terganggu, baik untuk menyusu, makan, membersihkan gigi dari sisa makanan, maupun berbicara. Pada bayi dengantongue tie, selaput tali lidahnya yang pendek membatasi semua aktivitas tersebut.
Dokter konsultan laktasi, Ratih Ayu Wulandari, mengatakan ada tiga macam tongue tie, yakni di bagian depan lidah, tengah, dan belakang. Di bagian depan dan tengah lebih gampang terlihat dan dikenali. Sedangkan bagian belakang sulit dilihat mata telanjang. "Kadang, kalau di bagian belakang, orang bilang enggak ada."
Kelainan ini, menurut Ratih, bisa dirasakan sejak bayi menyusu. Saat menetek, mulutnya akan berfungsi seperti vakum. Bibir atas, bibir bawah, lidah, dan pipi akan berkoordinasi menyedot susu. Selain untuk menangkap puting sampai areola, lidah bayi yang menjulur sampai menutupi gusi bagian bawah berfungsi melindungi payudara ibu agar tak lecet akibat "gigitan" gusi.
Namun, karena kelainan itu, lidah bayi tak bisa menutupi gusi dan hanya mampu menjangkau sebagian puting ibu. Pada bayi, kurangnya jangkauan ini akan membuatnya sulit melakukan pelekatan selama menetek. Sedotannya juga tak maksimal sehingga bayi membutuhkan waktu lebih lama. Itu pun biasanya tak membuatnya kenyang sehingga tak lama kemudian minta menetek lagi. Kesulitan ini membuat bayi resah dan kelihatan lapar sepanjang waktu. Penambahan berat badannya jadi tak maksimal. "Bisa gagal tumbuh," ucap Ratih.
Karena bayi tak mampu memompa susu dengan baik, suplai susu ibu pun jadi rendah. Sang ibu mengira bayinya rewel karena ASI yang keluar sedikit. "Sehingga kemudian disambung dengan susu formula," ujarnya. Atau bisa jadi produksi ASI-nya mencukupi, tapi payudara ibu lecet karena bergesekan langsung dengan gusi bayi yang dapat berujung pada radang payudara.
Efek kelainan ini dapat berlanjut saat anak mendapatkan makanan pendamping ASI. Gerakan lidah yang terbatas membuat bayi kesulitan menelan makanan dan sering tersedak, sehingga umumnya ibu akan mengencerkan makanan pendamping ASI. Konsekuensinya, makin encer makanannya, makin kecil kalorinya.
Saat usia anak makin bertambah, kelainan ini juga akan membuat anak terlambat bicara atau kesulitan mengucapkan beberapa huruf dengan baik alias cadel. Pada banyak kasus tongue tie bagian depan hingga membuat lidahnya terbelah, anak berpotensi tak dapat berbicara karena kesulitan menggerakkan lidahnya. Efeknya, anak jadi minder.
Masalah ini juga bisa mempengaruhi keseimbangan badan. Ratih mengatakan lidah adalah bagian tubuh yang panjang dan tertarik otot di dalam tubuh. Akibat tarikannya lebih ketat oleh tongue tie, keseimbangan tubuh bisa terganggu, misalnya mengakibatkan skoliosis. "Saya punya tongue tie dan saya menderita skoliosis idiopatik yang tak bisa dijelaskan penyebabnya apa," ucap Ratih.
Andreas Prasadja, dokter yang berpraktik di klinik gangguan tidur Rumah Sakit Mitra Kemayoran, Jakarta, mengatakan pergerakan lidah yang terbatas juga akan memicu perubahan anatomi wajah dan saluran napas atas. Akibatnya, wajah bagian tengah cenderung kecil serta saluran napas atas sempit dan mudah kolaps. Perubahan anatomi ini bisa menyebabkan henti napas saat tidur alias sleep apnea. "Sleep apnea selanjutnya akan menyebabkan berbagai gangguan tumbuh-kembang yang serius," katanya.
Henti napas saat tidur akan membuat tubuh tanpa sadar terbangun berulang kali. Padahal, saat tidur, tubuh akan mengeluarkan hormon yang penting dalam pengaturan tumbuh-kembang. Efeknya, pertumbuhan anak terganggu dan daya tahannya lemah. Proses tidur yang terpotong karena henti napas juga berakibat pada kemampuan mental dan emosional. Anak bisa memiliki gangguan perilaku, seperti sifat agresif, hiperaktif, dan sulit berkonsentrasi. Andreas menyarankan pemotongan tongue tie sebaiknya dilakukan sedini mungkin. "Pemotongan saat dewasa tidak akan memperbaiki sleep apnea," tuturnya.
Dokter spesialis anak Asti Praborini mengatakan, untuk masalah menyusu, tak semua bayi dengan kelainan ini perlu dilakukan tindakan. Dokter harus melakukan penilaian lebih dulu. Ia akan melihat bagian bawah lidah bayi, merabanya dengan tangan, memeriksa payudara ibu, melihat proses bayi menetek pada payudara ibunya, dan mewawancarai ibu. Ada alat bantu scoring untuk memandu penilaian tersebut. Jika skornya memenuhi, dokter baru bisa menyarankan pemotongan.
Setelah tali lidah dipotong, bayi harus langsung menetek pada ibu. Setelah itu, agar tongue tie tak kembali melekat, ibu harus membuat lidah bayi bergerak aktif dengan melakukan senam lidah. Pipinya disentuh-sentuh agar lidah bayi mengikuti.
Menurut dokter Semi Riawan, tindakan frenetomi atau menggunting sedikit bagian selaput yang membatasi pergerakan lidah juga tetap bisa dilakukan pada orang dewasa dan anak-anak bila pasien merasa mengalami gangguan, misalnya kesulitan berbicara. "Tindakan kecil saja. Setelah dipotong mau langsung masuk kerja juga bisa," katanya.
Seperti pernah dialami Yanti, 27 tahun. Awal tahun lalu, ia datang ke dokter meminta tongue tie diputus karena mulutnya sakit saat berbicara panjang. Rasa sakit itu membuat lehernya tegang dan kepala nyeri. "Dulu, seminggu bisa tiga kali minum obat sakit kepala, sekarang paling sebulan sekali," kata warga Jakarta Selatan itu.
Ratih pun baru mengiris frenulum tahun lalu karena ia merasa gampang lelah saat bicara panjang, seperti saat presentasi. "Biasanya, kalau saya bicara satu jam, besoknya saya sakit," ucap Ratih, yang mengaku sudah tak gampang lelah dan dapat mengungkapkan apa pun yang ia mau. "Ini meningkatkan kualitas hidup."
Nur Alfiyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo