Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seksis, judul bombastis, alur cerita mengabaikan logika, serta hantu jelek yang muncul tanpa perhitungan- yang penting mengagetkan- adalah hal paling umum yang dapat ditemukan dalam film horor Indonesia dalam satu dekade terakhir. Produser dan sutradara genre ini pada umumnya tampak setengah hati membuat karya bermutu karena, toh, dibuat seadanya pun rata-rata film horor bisa meraup ratusan ribu hingga sejutaan penonton. Namun pola klise itu tak muncul dalam film Pengabdi Setan, yang tayang di layar lebar mulai pekan lalu.
Sutradara Joko Anwar menggarap film ini dengan serius dan penuh ketelitian. Deretan pemainnya solid, elemen kejutnya betul-betul diperhitungkan, serta alur ceritanya rapi dan masuk akal (hantu tentu tidak logis, tapi setidaknya alasan kemunculan hantu dalam film ini dapat diterima). Ditambah dengan kemampuan sinematografi Joko yang telah teruji, Pengabdi Setan menjadi film horor yang akan membangkitkan genre ini dari titik nadir.
Film ini adalah daur ulang dari film Pengabdi Setan yang dibuat Sisworo Gautama Putra pada 1980. Pada masanya, film yang dibintangi Ruth Pelupessy itu diedarkan hingga Amerika Serikat dan termasuk kompilasi film horor Timur yang direkomendasikan. Joko menyatakan diri sebagai penggemar film Pengabdi Setan versi Sisworo. Film kali ini pun ia tulis berdasarkan versi terdahulu, tapi dengan beberapa perubahan dalam alur dan penokohan. Film ini tetap mengambil latar waktu tahun 1980, yang menampilkan suasana vintage Jakarta saat radio menjadi satu-satunya hiburan dan belum ada alat komunikasi. Kondisi jadul ini berperan maksimal dalam menambah elemen menegangkan film ini.
Meski sempat menampilkan keramaian Jakarta di awal film, cerita sebagian besar terjadi di sebuah rumah tua berloteng tinggi di tengah hutan pinus yang dihuni keluarga yang sedang terbelit masalah keuangan. Rini (Tara Basro) adalah anak sulung dalam keluarga itu. Interaksi Rini dengan Tony (Endy Arfian), adiknya yang masih duduk di sekolah menengah atas, serta dua adik yang masih bocah, Bondi (Nassar Anuz) dan Ian (M. Adhiyat), hangat dan akrab. Ia menjadi pengurus rumah yang paling diandalkan Bapak (Bront Palarae) karena di rumah itu hanya ada sang nenek yang duduk di kursi roda dan Ibu (Ayu Laksmi), mantan penyanyi profesional yang hanya bisa terbaring sakit di lantai dua.
Ibu (tokoh ini sebenarnya punya nama, tapi lebih sering dirujuk sebagai Ibu saja) adalah sumber ketegangan di rumah itu. Karena tak bisa menggerakkan tubuh, satu-satunya cara yang dapat dilakukan Ibu saat membutuhkan sesuatu adalah membunyikan lonceng. Dari sinilah atmosfer horor dibangun Joko. Ia tak perlu boros-boros menampilkan sosok hantu menyeramkan. Lonceng yang bergema samar-samar di tengah malam cukup mampu membuat penonton duduk tegang penuh antisipasi.
Hal lain yang dipertahankan Joko dari Pengabdi Setan terdahulu adalah tak ada efek komputer yang digunakan. Sosok hantu tak diseram-seramkan dengan riasan berlebihan. Ketakutan tercipta karena horor dibangun dengan perlahan dan penuh kesabaran sehingga penonton sudah ketakutan jauh sebelum sosok hantu muncul memenuhi layar. Lewat kelining lonceng, lewat kabut yang menyelimuti hutan, atau lorong-lorong panjang di rumah tua itu. Dengan cermat, adegan demi adegan ditata untuk membangkitkan kegelisahan hingga pada saatnya klimaks benar-benar terasa sebagai puncak kengerian.
Moyang Kasih Dewimerdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo