Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG magrib, Haris Andi Surahman mengetuk pintu ruangan Wa Ode Nurhayati di lantai 19 Gedung Nusantara I Dewan Perwakilan Rakyat. Kepada si empunya ruangan, Haris awalnya berkata mau menumpang salat. Nurhayati menyilakan. Keduanya sudah kenal lama dan sama-sama dari Sulawesi Tenggara.
Di ruangan Nurhayati pada September 2010 itu, Haris membuka percakapan. ”Abang dengar dari ruangan Pak Setya Novanto, jatah Adinda paling banyak, yaitu Rp 120 miliar,” kata Haris. ”Biar Abang yang kelola ya, Dinda.” Ditodong permintaan demikian, Nurhayati menggeleng. ”Silakan proposalnya diserahkan ke Sekjen,” ujar anggota Badan Anggaran itu. ”Tapi, bila Abang mau nitip, nanti bisa saya berikan ke Banggar.”
Keduanya membicarakan alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah. Setiap anggota Badan Anggaran dikabarkan memiliki jatah sekitar Rp 100 miliar dari total dana infrastruktur. Maksud jatah itu adalah setiap anggota bisa meloloskan sejumlah daerah penerima dana infrastruktur asalkan totalnya tak melebihi Rp 100 miliar.
Haris calon legislator dari Golkar pada Pemilihan Umum 2009. Gagal memperoleh proyek di ruangan Ketua Fraksi Golkar Setya Novanto, ia mendatangi Nurhayati. Dihubungi Rabu pekan lalu, ia menolak berkomentar soal pertemuannya di ruangan Nurhayati. ”Semuanya sudah saya katakan kepada KPK,” katanya. Adapun Setya Novanto tak merespons panggilan telepon dan pesan yang dikirim.
Pekan-pekan ini Nurhayati segera duduk di kursi terdakwa. Politikus Partai Amanat Nasional itu dituding menerima duit dari Fahd El Fouz alias Fahd A. Rafiq sebesar Rp 6,9 miliar. Fulus tersebut imbalan meloloskan tiga daerah di Aceh, yakni Aceh Besar, Pidie Jaya, dan Bener Meriah, serta satu lagi Minahasa di Sulawesi Utara, sebagai penerima dana infrastruktur. Duit Fahd sampai ke tangan Nurhayati lewat Haris Surahman.
Kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Wa Ode Nurhayati membeberkan pertemuannya dengan Haris Surahman dan bagi-bagi jatah anggaran tadi. Nurhayati mengaku awalnya tak tahu-menahu soal itu. Ia menyatakan baru belakangan mengetahuinya dari Tamsil Linrung, Wakil Ketua Badan Anggaran.
Menurut Nurhayati, pada suatu rapat Panitia Kerja Transfer Daerah Badan Anggaran pada September atau Oktober 2010, Tamsil menjelaskan bahwa alokasi anggaran Dana Penyesuaian Infrastruktur 2011 adalah Rp 7,7 triliun. Ketika itulah Tamsil juga mengatakan soal jatah Rp 100 miliar tadi. Khusus jatah Wa Ode Nurhayati, kata Tamsil, ditambah jadi Rp 120 miliar. ”Karena rajin rapat dan paling kritis,” ujar Nurhayati menirukan Tamsil ketika itu.
Bagi-bagi jatah itu masuk akal menilik jumlah anggota Badan Anggaran yang 84 orang, termasuk ketua dan tiga wakil ketua. Angka Rp 7,7 triliun dibagikan ke semua anggota Badan Anggaran. Hasilnya hampir Rp 100 miliar per orang. Ketika itu, Nurhayati tak merespons kata-kata Tamsil. ”Saya sadar bahwa hal itu sering terjadi di antara anggota Badan Anggaran,” ujar Nurhayati kepada penyidik.
Kasus kemudian bergulir. Nurhayati dilaporkan Haris dan Fahd kepada Badan Kehormatan karena dianggap telah menilap duit. Dari empat daerah yang dipesan Fahd, hanya Aceh Besar dan Bener Meriah yang lolos. Haris dan Fahd meminta Wa Ode Nurhayati mengembalikan seluruh duit.
Tamsil lantas memanggil Nurhayati, menanyakan apa yang terjadi. Menurut Nurhayati, setelah itu Tamsil berkata, ”Kan, kita ada jatah sendiri-sendiri. Kita tahu semua di sini pada ‘main’.”
SEPANJANG akhir September hingga awal Oktober 2010, Panitia Kerja Asumsi Makro Badan Anggaran bersama pemerintah meriung di Wisma DPR, Cikopo, Puncak, Bogor. Mereka berkumpul membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011. Pada 6 Oktober, diperolehlah postur APBN 2011 yang mencantumkan dana optimalisasi Rp 13,5 triliun.
Setelah dana optimalisasi muncul di rancangan APBN, Panitia Kerja Transfer Daerah, yang juga bagian Badan Anggaran, melanjutkan rapat hingga 11 Oktober 2010. Dalam salah satu rapat, kata Nurhayati, Tamsil Linrung sempat menyinggung dana yang Rp 13,5 triliun tadi. ”Pimpinan akan berkoordinasi dengan pemerintah mau dikemanakan anggaran ini,” kata Tamsil.
Tak lama berselang, Tamsil menyampaikan bahwa dana optimalisasi Rp 13,5 triliun itu dibagi untuk dana penyesuaian infrastruktur daerah sebesar Rp 7,7 triliun, dana insentif daerah Rp 1,3 triliun, dan tugas perbantuan Rp 1,7 triliun. Tak dijelaskan ke mana sisa dana optimalisasi sebesar Rp 2,8 triliun mengalir. Belakangan Tamsil menyebutkan duit itu diserap sejumlah kementerian.
Kelar rapat di Puncak, Panitia Kerja Transfer Daerah melanjutkan pertemuan di ruang Badan Anggaran di DPR. Dalam rapat pada 14 Oktober itu disepakati alokasi dana infrastruktur didasarkan pada proposal yang diajukan daerah. Pemimpin Badan Anggaran kemudian meminta pemerintah membuat simulasi alokasi dana infrastruktur.
Beberapa hari kemudian, pemerintah dan Panitia Kerja kembali menggelar simulasi. Setelah rapat, Nurhayati mendatangi Tamsil untuk meminta dokumen hasil rapat. Tamsil menolaknya. ”Ini belum disetujui pimpinan. Jangan dikopi dulu,” ujar Nurhayati menirukan Tamsil. Wa Ode Nurhayati ngotot meminta dokumen tersebut.
Hingga rapat terakhir Panitia Kerja pada 25 Oktober, hasil simulasi tak berubah. Empat bulan kemudian, pada Februari 2011, peraturan Menteri Keuangan soal pembagian dana infrastruktur terbit. Nurhayatikaget karena daerah penerima dana berubah. Dari 491 daerah dalam daftar yang disepakati pada Oktober, jumlahnya menyusut tinggal 298.
Itu sebabnya Haris dan Fahd kemudian menagih Nurhayati. Perempuan 31 tahun itu menyatakan Haris memang pernah menitipkan duit Rp 2 miliar lewat anggota stafnya, Sefa Yolanda, tapi telah dikembalikan. Pengacara Nurhayati, Muhammad Iskandar, membenarkan kliennya pernah menyampaikan keterangan demikian ketika diperiksa KPK. ”Tapi saya lupa detailnya,” kata dia.
Tamsil Linrung membantah ada bagi-bagi jatah dana infrastruktur. ”Yang benar, silakan prioritaskan daerah pemilihan sendiri. Awasi penggunaannya.” Menurut Tamsil, daftar daerah pada Oktober 2010 seperti yang dimiliki Nurhayati baru sekadar simulasi. ”Versi finalnya diputuskan sama-sama, kok,” ujarnya. ”Kalau dia enggak tahu, kenapa enggak ikut rapat?”
Meski begitu, ia menyatakan bisa saja ada percaloan dalam penentuan daerah penerima dana infrastruktur. Menurut Tamsil, kasus Nurhayati terjadi karena anggota Badan Anggaran kebelet menjual anggaran ke daerah. ”Banyak yang berspekulasi bahwa dokumen simulasi itu final,” katanya. Setelah anggaran dijual, ternyata daerah yang dipesan batal menerima dana. ”Makanya orang daerah jangan terlalu percaya anggota Banggar,” ujarnya.
Menurut Tamsil, kalau ada yang ganjil dari berubahnya daftar daerah penerima dana, Menteri Keuangan Agus Martowardojo pasti sudah mempersoalkannya. Kepada Akbar Kurniawan dari Tempo, Agus memang menyatakan tak menemukan kejanggalan dalam pengalokasian anggaran. ”Tidak ada yang menyalahi proses,” kata Agus dua pekan lalu.
Toh, kolega Nurhayati di Partai Amanat Nasional, Taslim, tetap heran terhadap isi lampiran peraturan Menteri Keuangan yang berubah total. ”Siapa yang akhirnya membagi-bagi anggarannya?” ujar anggota Badan Anggaran yang mundur pada awal 2012 ini. Sebagaimana Nurhayati, Taslim mengatakan tak pernah ada rapat Badan Anggaran yang membahas daftar daerah penerima dana, selain yang Oktober itu.
Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo