Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mereka Berjodoh dengan Blues

Jakarta International Blues Festival 2009 dua pekan lalu menunjukkan betapa blues, musik yang lahir pada masa perbudakan di Amerika, tetap memikat siapa saja, tak peduli usia. Empat panggung yang disediakan panitia pun menjadi etalase bagi sejumlah musisi muda—generasi yang umumnya justru cenderung masuk ke jenis musik pop, yang kini mendominasi pasar. Inilah cerita tentang mengapa mereka memilih blues dan bagaimana para penggemar merawat kecintaan mereka terhadap blues.

16 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari di halaman Facebook-nya, Adrian Adioetomo menulis Note yang antara lain berisi penegasannya mengenai pilihan bermusiknya. Dia membukanya dengan ”I am associated with a certain type of music. I play that certain music... because of its sincerity, its directness, pure and dangerous.” Dan setelah menjelaskan alasan-alasannya, sindiran-sindirannya, dia lalu menutup dengan ”If you’re a musician, be inspired! If you’re a listener, enjoy! If you’re neither, do something about your feeling. After all, that’s what this certain type of music was based upon.”

Kira-kira ini yang dia sampaikan: bahwa dia sudah diidentikkan dengan musik jenis tertentu, yang dia pilih karena dalam musik itu tak ada pamrih dan kepura-puraan dalam mengekspresikan perasaan; bahwa dia tak peduli apa kata orang mengenai pilihannya itu.

Musik apa sebenarnya yang begitu membuat Adrian, 36 tahun, berpendirian teguh itu? Tiada lain adalah blues. Inilah musik yang oleh sebagian orang dipandang remeh, tiga jurus, dan, barangkali, juga... kuno; karena itu, yang menyukainya pun tak akan jauh-jauh dari generasi yang sudah tua.

Bagi Adrian, blues justru jauh melampaui pandangan klise serupa itu. Blues, menurut dia, tidak terdefinisikan oleh kategori, umur, profesi. Blues itu ”untuk siapa saja, from all walks of life”. ”Blues itu ekspresi yang paling langsung,” kata lulusan desain grafis dari University of Western Sydney ini.

Adrian membuktikan keyakinannya, misalnya, saat tampil di Jakarta International Blues Festival 2009, Sabtu dua pekan lalu. Dia melakukannya dengan ”amunisi” cabang blues yang tua dan paling murni, yang dia pilih karena paling mewakili dirinya—Delta blues: dia tampil sendiri hampir di semua nomor repertoarnya, hanya berbekal Dobro (gitar dengan resonator) dan sebilah papan untuk mengentakkan kaki. Audiens di depan panggung kecil di sudut lobi Istora Senayan itu sebagian besar justru anak-anak muda 20-an tahun; beberapa sosok beruban terselip di sana-sini. Tak sedikit perempuan di antara anak-anak muda itu.

Bukan semata menonton penampilan intens Adrian dengan takzim, mereka antusias pula ikut menyanyi di beberapa lagu, yang kebetulan mereka kenal dari album Adrian (Delta Indonesia, 2007). Dan mereka bahkan bergemuruh menyambut, seperti sudah menanti-nanti, ketika Adrian menyebut nama Robert Johnson, salah satu ikon penting Delta blues yang aktif di sekitar Mississippi, Amerika Serikat, pada pertengahan 1930-an. Maka mengalunlah Hellhound on My Trails:

I got to keep moving, I got to keep moving
Blues falling down like hail, blues falling down like hail

Adrian sesungguhnya tak sendiri. Masih ada sejumlah musisi muda lainnya di Indonesia yang memilih blues dalam berkarya. Sebagian besar dari mereka muncul dalam dua-tiga tahun terakhir, tak semata dengan tampil bermain di berbagai tempat atau event, tapi juga dengan merilis album. Apa yang mereka lakukan sulit bisa dilacak jejaknya di masa-masa sebelumnya—kecuali, barangkali, yang sempat dirintis oleh Benyamin Sueb. Daftar ini bisa bertambah panjang: Time Bomb Blues, Andre Harihandoyo and Sonic People, The Blacksuit, Endah N Rhesa, dan lain-lain. Yang juga mesti disebut, karena namanya sudah melanglang buana: Gugun and the Blues Shelter.

l l l

Tentu saja, pilihan itu tak datang dari ruang kosong—apalagi hanya karena kebetulan jenis musik itulah yang sedang ”hot” di pasar; mereka justru berusaha menerobos tembok keseragaman yang dibangun oleh label-label besar. Mereka tahu dan mengenal betul blues. Bagaimana caranya? Mereka menempuh rute yang tak persis sama, tapi boleh dibilang ada satu titik ketika pengalaman musikal mereka berdering dalam nada yang serupa dan seolah-olah mengatakan, ”Hei, ini yang saya cari-cari selama ini.” Beberapa nama yang sama muncul di sana: Stevie Ray Vaughan, Jimi Hendrix, B.B. King, Muddy Waters, Robert Johnson, dan beberapa yang lain.

Andre Harihandoyo, 25 tahun, mengenal nama-nama besar itu setelah melacak ke belakang siapa saja yang menjadi sumber ilham John Mayer. Dia menyukai Mayer, musisi Amerika yang memulai debut komersialnya dengan label besar pada 2001 di wilayah pop tapi lalu memilih mengadopsi lebih banyak blues, minatnya sejak awal, ke dalam musiknya. Dia memutuskan mendirikan Andre Harihandoyo and Sonic People setelah sempat merilis album solo berjudul Aerodyne pada 2006. ”Di antara kami, saya yang paling kenal blues,” katanya.

Pengalaman Adrian, yang sejak kecil telah berangan-angan menjadi gitaris dan bermain di sebuah band, lebih riuh. Sebelumnya dia sempat tertarik pada musik-musik yang keras dan kencang, seperti punk dan heavy metal. Tapi dia adalah tipe orang yang selalu mencari. Dari musik rock yang berakarkan blues, seperti yang dimainkan antara lain oleh Whitesnake, dia lalu mengenal para jawara southern rock, seperti Lynyrd Skynyrd, The Allman Brothers Band, juga Johnny Winter; mereka ini membubuhkan elemen slide guitar—gitar yang dimainkan dengan cara menggesekkan botol atau logam pada dawainya—dengan intens dalam musik-musiknya.

Dan pencariannya lebih jauh, juga perkenalannya dengan Chris Whitley, musisi blues Amerika, lalu membawanya ke Robert Johnson. (Hampir seperti pengalaman Eric Clapton, musisi blues Inggris yang pada 1960-an, karena permainan gitarnya, dijuluki ”god”, walau Adrian mengaku tak mengidolakan Clapton.)

”Pada blues saya menemukan apa yang pernah saya rasakan ketika bermain punk, koneksinya ada, yaitu tentang ekspresi yang paling efektif,” kata Adrian. ”Dan Robert Johnson memainkan blues yang paling dasar—blues yang tulus, langsung, dan murni.”

Walau tak sampai sejauh yang dilakukan Adrian, Revata Kartawidjaja, vokalis The Blacksuit, merasakan hal yang sama. Ayah satu anak yang pernah ikut kompetisi Indonesian Idol ini mengaku mulanya menyukai jazz. Tapi lalu dia sampai pada suatu titik ketika dia tak bisa lagi menikmati jazz. ”Terlalu banyak not,” katanya. Dia pun berpaling ke blues. Dia mendengarkan Eric Clapton, B.B. King, Stevie Ray Vaughan, dan lain-lain. Dan musik mereka itulah yang, menurut dia, ”kena di hati”.

Di antara musisi muda, Muhammad Gunawan atau Gugun, 33 tahun, tergolong yang paling lama menggeluti blues. Gitaris sekaligus vokalis ini sudah berfokus ke blues sejak 1998, setelah bertualang ke aneka musik—rock, heavy metal, bahkan jazz. ”Blues adalah roots saya,” katanya. Bersama pemetik bas John Armstrong, dia lalu mendirikan Gugun and the Bluesbug, yang kini berganti nama menjadi Gugun and the Blues Shelter. ”Karena sudah ada band dengan nama The Bluesbug,” katanya.

Gugun, yang mulai bermain gitar pada usia enam tahun, mengenal blues sejak masih remaja di kampung halamannya di Riau. Dia antara lain mendengarkan The Rolling Stones, Jimi Hendrix, B.B. King, dan Stevie Ray Vaughan—mereka ini adalah grup atau artis yang diasosiasikan atau memilih blues sebagai media ekspresi musikal mereka. Seperti Gugun, John Armstrong pun memulai dari nama-nama yang sama. ”Saya mendengarkan Jimi Hendrix—lagu-lagu seperti Hey Joe, Foxy Lady...,” kata lelaki asal Durham, Inggris, ini.

Dari pengalaman tampil bersama band-nya di berbagai kafe, Gugun kian yakin bahwa blues selama ini disalahartikan semata sebagai musik tentang penderitaan atau musik orang tua. Padahal, kata dia, blues bisa sama atraktifnya dengan musik rock, misalnya.

Dengan permainan gitarnya, yang mengingatkan sebagian kalangan pada Stevie Ray Vaughan, gitaris blues asal Texas yang dianggap titisan Jimi Hendrix, harus diakui bahwa Gugun mampu menyajikan atraksi. Inilah yang pernah dan selalu diperlihatkan oleh para pahlawan blues di mana pun. Di rekaman, pada dua albumnya, Gugun mengemas lagu-lagu yang meramu blues dengan rock dan funk; lagu-lagunya, dengan kocokan gitar nan terdengar seksi, sanggup membuat orang bergoyang. Di panggung, seperti ketika menutup Jakarta International Blues Festival 2009, dia adalah performer yang jitu memadukan potensinya dengan gaya dan kostum nan enak di mata.

Karakter-karakter itu pulalah yang dua kali dia bawa ke Inggris. Terakhir kali pada Januari lalu. Bersama band-nya, dia ikut meramaikan Skegness Rock and Blues Festival dan kemudian tur ke 10 kota.

l l l

Adrian percaya ada banyak penggemar blues. ”Blues, bagaimanapun, adalah ekspresi tentang perasaan yang universal, dalam formatnya yang sederhana sekalipun. Miskin ataupun kaya, orang pasti punya perasaan-perasaan itu, di mana pun mereka,” katanya.

Menurut dia, para pelopor blues di masa lalu sesungguhnya telah menciptakan sesuatu yang canggih. Mereka, dia menjelaskan, menggunakan situasi pada dirinya dan sekitarnya untuk menciptakan sesuatu yang bisa didengarkan, katakanlah, lima menit dan pendengarnya lalu merasa terwakili perasaannya. Dia mengibaratkan pendengar ”ditempatkan di pusat satu rangkaian dan penataan sound system”.

Dan, jika mengutip Gugun, ”blues itu lebar (rentangnya)”. Dalam perkembangannya, sejak lahir di lingkungan warga Afro-Amerika pada masa perbudakan di akhir abad ke-19, blues memang punya banyak cabang, dari yang keberadaannya tergolong paling awal, Delta blues, hingga yang modern. Blues juga melahirkan beragam jenis musik.

Selain itu, blues bukan semata tentang musiknya. Tapi Adrian menegaskan: ”Blues juga tentang bagaimana para pelopornya (orang-orang Afro-Amerika) membangun kebudayaan yang menyangkut makanan, fashion, dan lain-lain.”

Di Indonesia, Jakarta International Blues Festival 2009, atau festival sebelumnya yang berskala lebih kecil, hanya sebagian indikator mengenai berapa besar penggemar blues dan sejauh mana mereka mengapresiasi musik kesukaan mereka. Di luar itu, ada pula Indonesian Blues Association (Ina Blues) dan perkumpulan penggemar blues lainnya, seperti yang ada di Bandung, misalnya. Melalui mereka, blues menjadi lebih terawat, ada kegiatan pengenalan, jamming, tukar-menukar koleksi, yang ujung-ujungnya adalah apresiasi. ”Mereka sangat support terhadap musik blues di Tanah Air dan musisi-musisi muda,” kata Andre.

”Mereka sebenarnya adalah pasar,” kata Revata. Tapi dia menyayangkan hampir tidak ada label atau media elektronik—televisi dan radio—yang memanfaatkannya. ”Kalau ada band yang bisa merekam album sendiri pun, distribusinya masih jadi masalah. Kalau distributor tanya apa musiknya dan dijawab blues, sudah pasti mereka tolak.”

Revata dan band-nya, The Blacksuit, baru saja merilis album mini berisi lima lagu melalui label sendiri. Sampai kini dia masih berusaha menjalin kerja sama distribusinya, terutama dengan toko kaset dan compact disc (CD). Menurut dia, skema kerja sama yang berlaku belum ada yang menguntungkan. ”Kami malah bisa nombok, karena harus bayar tarif cukai untuk album impor, soalnya lagu-lagu kami berbahasa Inggris,” katanya. Yang sudah berhasil dia lakukan adalah melepas materi dari album itu untuk ring back tone.

Tapi itu kasus pendatang baru. Untuk mereka yang sudah punya basis penggemar yang kuat, apalagi didukung label yang lebih mapan, soalnya tinggal apa yang mereka tawarkan kepada para peminat. Gugun and the Blues Shelter, Andre Harihandoyo and Sonic People, Adrian Adioetomo, juga Endah N Rhesa, termasuk di antaranya—album mereka bisa diperoleh di toko-toko kaset dan CD. Gugun and the Blues Shelter (waktu masih bernama Gugun and the Bluesbug) sejauh ini bahkan berhasil menjual sekitar 3.000 kopi album Turn It On yang dirilis pada 2007.

Angka itu memang liliput dibanding penjualan album dari band yang merupakan andalan label besar. Tidak jadi masalah. Blues toh bukan musik massal dan memang tak pernah menjadi massal bahkan di negeri asalnya. Blues, seperti kata Brownie McGhee, seorang musisi blues Amerika, hanyalah musik tentang kehidupan. Selama orang menjalani kehidupan, selama itu pula akan tetap ada yang memainkannya.

Purwanto Setiadi, Martha W. Silaban

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus