Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BLUES dalam bahasa Indonesia rupanya bukan cuma Blues untuk Bonnie. Empat puluh tahun silam, waktu itu penyanyi Titiek Sandhora masih remaja berumur 15 tahun, ada sebuah blues yang memukau banyak penggemar musik pop.
Merantau, buah karya Yasir Syam, lagu yang mewakili genre musik populer di masa itu. Petikan bas gitarnya berdentum-dentum, bahkan sedikit mubazir. Bagian interlude yang diisi oleh lead guitar cenderung mengimitasi melodi utama sang lagu, nyaris tanpa improvisasi. Drum, rhythm guitar, semuanya dimainkan dengan gaya musik pop yang sangat bersahaja. Dan Merantau yang dinyanyikan Titiek Sandhora itu ternyata lekas populer. Dari rekaman yang masih bersifat mono sekarang, kita bisa melihat bahwa lagu ini tersusun dengan nada-nada mayor yang cukup menyayat.
Mengapa komponis Yasir Syam menggubah sebuah blues? Sebelum itu blues sering kali menjadi ornamen alias bagian dari kemasan sebuah lagu. Koes Plus, lebih tepat lagi Tony Koeswoyo, menyisipkan potongan blues di dalam lagu Termenung Lesu dan Mungkin Kau Datang. Dalam berbagai aransemen, gitaris Enteng Tanamal juga cukup aktif menyelundupkan percikan blues ke dalam aransemen lagu pop.
Legasi "blues kulit putih"-biasa disebut white blues-seperti disebarkan melalui Eric Clapton dan John Mayall, dapat dirasakan mengalir sampai jauh. Masuk ke Indonesia pada 1960-1970-an, blues memang hanya merupakan bagian dari suatu arus besar yang dikenal dengan nama musik pop Barat. "Dunia musik kita, apalagi yang diramaikan oleh radio-radio swasta, sangat Barat minded," demikian Denny Sakrie, pengamat musik pop, mengenang periode itu.
Namun Merantau tidak berhenti pada ornamentasi. Blues di sini tidak lagi muncul dalam wujud "bungkusan", tapi dalam "isi". Yang terang, samar-samar kita pun bisa menangkap dan menyimpulkan bahwa jenis musik ini mengena untuk menyampaikan perasaan terdalam: rindu kampung halaman atau kangen terhadap orang tua yang telah tiada. Siapa pun tahu lirik dengan tema perpisahan tak begitu tepat bila disampaikan dalam rock 'n roll yang waktu itu sangat dipuja, atau boogie woogie yang tidak pernah lelah membuat orang berjingkrak.
Lagu ini bercerita tentang seorang muda yang terusik oleh seberkas suara gitar. Duduk seorang diri, ingatannya menyeretnya ke masa silam: kepada sosok ibu dan ayahnya.
Dalam perkembangannya di Amerika, blues memang tak selalu berbicara tentang penderitaan atau ketidakberdayaan menghadapi nasib buruk. Seperti dua kerabat genetisnya di atas, rock 'n roll dan boogie woogie, blues bisa hadir di lantai dansa yang paling panas. Blues, yang lahir dalam suasana padesan di ladang-ladang kapas yang mempekerjakan budak-budak kulit hitam, telah menjadi warga kota. Dan di dunia musik pop Indonesia 1970-an, blues juga hadir sebagai sosok urban. Ia bisa ceria, bisa kritis seperti yang dilakukan seniman Betawi, Benyamin S.
Denny Sakrie mencium pengaruh John Mayall, tokoh blues kulit putih pada 1970-an, dalam lagu Luntang-lantung yang ditulis dan dinyanyikan Benyamin S. Luntang-lantung lagu yang berkisah tentang seorang pemuda yang putus asa mencari kerja. Perutnya keroncongan, jalannya sempoyongan. Tapi, ketika melepas penat di dekat sebuah rumah, ia disangka mencuri jemuran.
Permainan bas dan biola dalam lagu Crying yang dibawakan kelompok John Mayall & Bluesbreaker memang hadir dalam Luntang-lantung, tapi dalam tempo lebih cepat. Benyamin juga mengikuti garis melodi yang sama. Ya, ia memetik ilham dari John Mayall, tapi kemudian mengembangkan dengan kreativitasnya yang acap mencengangkan.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo