Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SI Buta Willie Johnson, jasnya hitam, gitarnya hitam, topinya hitam, sepatunya hitam, kulitnya hitam. Maka berbenturanlah ia dengan sang nasib, dan terkaparlah ia di ujung ring kehidupan yang tak berpihak kepadanya.
Ketidakberuntungan pertamanya dialami saat ia menginjak usia tujuh tahun. Waktu itu kedua orang tuanya berkelahi habis-habisan, hingga akhirnya tangan sang ibu menjangkau sesuatu untuk dihantamkan ke kepala suaminya. Kali ini perempuan yang amat dikasihinya itu melawan, tapi sayang sekali ia salah sasaran. Benda tersebut menghantam bagian mata si kecil Willie yang berada di arena pertempuran itu.
”Cinta yang penuh perjuangan, ya,” begitu komentar Willie berpuluh tahun kemudian. Ia tertawa kecil, enteng dan tidak menyalahkan siapa-siapa.
Sejak itu Willie nyaris tak lagi bisa membedakan gelap dan terang, siang dan malam, dan sejak itu pula ia seakan membungkus hidupnya dengan sesuatu yang kelam. Banyak ketidakberun-tungan menimpanya, termasuk pneumonia yang mengakhiri hidupnya pada 1945. Tapi, dari semua ini, ia memiliki satu kekayaan yang hampir-hampir tak tertandingi hingga kini: caranya menyanyikan blues.
Willie, kulitnya hitam, jasnya hitam, gitarnya hitam, topinya hitam, kaus kakinya hitam, sepatunya hitam. Dengan gitar di tangan, ia menggumam sama seringnya dengan menyanyi. Dark Was The Night, blues buah karyanya yang direkam pada 1927, berkisah tentang anak-anak yang nasibnya seperti layang-layang putus setelah ditinggal mati ibunya. Willie Johnson meratap dan menggumamkan satu baris berulang-ulang: betapa hidup mereka tak akan sama lagi.
Dalam The Soul of A Man, sebuah dokumentasi yang digarap oleh sutradara Martin Scorsese, kita bisa menyaksikan ia seperti menggarisbawahi sekaligus mengabadikan barisan kata-kata itu dengan pendekatan yang istimewa. Ia bermain musik seperti bayang-bayang yang bergerak perlahan. Nyanyi, gitar, dan gumaman silih berganti; semua itu menyusuri melodi yang sama. Blues Willie Johnson terdengar jujur, mentah, dan dimainkan tanpa polesan.
Mungkin pendekatan seperti ini pula yang mendorong komponis Amerika, George Gershwin, menciptakan lantas menyisipkan Summertime dalam opera terkenalnya, Porgy and Bess. Summertime tentu saja tidak ”sementah” si Buta Willie Johnson. Namun, diakui atau tidak, ia merupakan sebuah repertoar canggih yang dibawakan seperti bayang-bayang yang bergerak perlahan. Dari bentuk orisinalnya, mudah sekali kita tergiring pada suatu visualisasi nasib buruk dan pertentangan kelas: kaya-miskin, kulit putih-kulit hitam.
Mulanya trompet terdengar membawakan satu nada panjang, disusul nada panjang lainnya. Dalam tempo yang bergerak lambat, trompet seakan mengiris setting gelap dan sepi panggung Porgy and Bess itu. Lirik Summertime seolah menunjukkan fragmen seorang pengasuh kulit hitam menghibur tuan kecilnya: bayi kulit putih yang sedang menangis. Seakan berbicara kepada dirinya sendiri, ia melukiskan sebuah kontras antara dirinya dan sang tuan. Ia menjalani hidup tanpa proteksi dan di bawah belas kasihan orang lain. Sedangkan tuannya dijamin bisa mewujudkan segenap mimpinya.
Dalam tonalitas minor yang sendu si hitam melanjutkan senandungnya: tidak ada yang perlu dicemaskan dalam hidup ini. Ayahnya orang kaya, ibu cantik jelita, dan keduanya akan selalu mendampingi. Lihatlah pohon-pohon kapas yang tinggi itu. ”Suatu pagi nanti,” begitu sang pengasuh berdendang, ”kau akan bangkit, mengembangkan sayapmu, terbang tinggi. Tak ada seorang pun yang bisa menyakitimu.”
George Gershwin lahir di Brooklyn pada 1898 dari orang tua berkulit putih. Kini ia dikenal sebagai komponis terpandang Amerika yang memiliki perhatian khusus pada musik kulit hitam. Sedangkan si Buta Willie Johnson lahir di sebuah kota kecil di Texas pada 1900. Ia tak tahu tanggal dan bulan kelahirannya. Kini Dark Was The Night dan Summertime dinyanyikan dan direkam dalam pelbagai versi oleh ribuan orang yang seumur-umur tak pernah bersentuhan dengan Gershwin, apalagi si Buta Willie.
Ketika persilangan blues dan rock menghasilkan blues rock pada 1970-an, orang mendengar sang legenda Janis Joplin menyanyikan Summertime dengan gaya khas: seraya mencampakkan keindahan melodi, lebih banyak menggeram ketimbang bersenandung. Pada periode yang sama, orang pun mengakui pengaruh Willie Johnson pada Led Zeppelin tatkala membawakan Nobody’s Fault But Me.
Willie dan Gershwin, keduanya mengungkapkan masalah orang kulit hitam, melalui cara yang sama: blues yang bergerak perlahan, seperti bayang-bayang.
Siapa pun tahu Willie Johnson bukan tokoh nomor satu dalam genre Delta blues yang tumbuh di delta Sungai Mississippi. Di sana ada Robert Johnson yang bintangnya jauh lebih terang daripada si Buta Willie, dan berpengaruh pada pemusik generasi selanjutnya seperti Muddy Waters dan Eric Clapton.
Blues yang pada abad ke-19 tumbuh sebagai musik pelepas lelah, pembunuh bosan, dan pembebas jiwa di ladang-ladang kapas, di tempat-tempat kerja kaum budak Afrika di bagian selatan Amerika itu memang telah berjalan jauh. Sangat jauh. Ia menjelma jadi swing ketika big band muncul seperti jamur pada musim hujan; menjadi jazz tatkala improvisasi orang per orang dikasih ruang yang amat istimewa dalam musik, menjadi soul, rhythm and blues, rock ’n roll, boogie woogie, rap, dan mungkin banyak lagi.
Ciri khas blues juga terletak pada blue note—dengan nada ke-3 dan nada ke-7 sedikit dimiringkan dari struktur tangga nada musik umumnya.
Blues banyak bercampur dengan musik lain, tapi pada dasarnya ia tak banyak berubah. Lagu blues umumnya terdiri atas 12 birama (12 bar blues) yang masing-masing terbagi atas tiga stanza. Stanza kedua umumnya merupakan ulangan dari stanza pertama, dan stanza ketiga merupakan akhir dari lagu.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo