PENDUDUK Kota Sibolga ternyata tak takut dilanggar pasang.
Buktinya, sebagian mendirikan rumah di tengah laut. Sayang,
tanpa mengurangi penghargaan akan keberanian mereka menantang
laut, Pemda Kodya Sibolga berketetapan akan menggusur sebagian
rumah itu.
Karena areal kota yang memang sempit, dalam 2 - 3 tahun
belakangan ini tak kurang dari 1.000 buah rumah telah berdiri di
tengah laut, di lepas pantai Sibolga. Namun belakangan ini
disadari, rumah-rumah itu tak saja kurang menyedapkan
pemandangan, tapi juga mengganggu lalulintas kapal.
Lebih-lebih lagi, 23 Mei lalu Dirjen Perhubungan Laut,
meresmikan Pelabuhan Pulau Herek, sebagai pelabuhan tambahan
yang diharapkan akan menghubungkan pantai barat Sumatera Utara
dengan dunia luar. Karena itu Pemda Kodya Sibolga sudah
memutuskan dalam waktu dekat ini akan menggusur 50 buah rumah
yang tepat berada di jalur lalu-lintas kapal.
Tentu saja reaksi timbul. Terutama bila dilihat arus lalu-lintas
di sekitar pelabuhan itu dalam beberapa tahun belakangan ini.
Sejak 1973 Sibolga boleh dikatakan tidak mengekspor sama sekali
-- kecuali 371.375 m3 log pada 1980. Memang pada akhir Mei 1981,
pelabuhan Sibolga ditetapkan Menteri Perhubungan sebagai
pelabuhan singgah kapal nusantara. Tapi kapal semacam itu
ternyata belum ada yang singgah. Beberapa kapal yang secara
tetap berkunjung ke sini, juga lebih banyak yang tanpa muatan.
Pendangkalan
Melihat gelagat semacam ini, tidak heran jika penduduk sempat
bertanyatanya tentang lalu-lintas kapal yang dikatakan terganggu
itu. "Setahu kami tak ada kapal lintas di laut dekat perumahan
kami ini, kecuali kapal-kapal nonpukat harimau yang berbobot
lima ton," ucap Anwar Gae, seorang penghuni rumah di atas laut
yang akan tergusur. Dia, seperti juga tetangganya Halimah
Harahap, menyatakan laut di situ sudah dangkal, bahkan kalau
pasang surut, daerah perumahan itu berubah jadi daratan.
Soal kedangkalan ini juga disebut Walikota Sibolga dalam
pertemuan Muspida pertengahan Mei silam. "Terjadi pendangkalan
laut di kawasan pelabuhan Sibolga setinggi 30 cm," ujarnya.
Menurut pendapatnya hal ini karena banyak perumahan menyerbu
tepi pantai dan terus mendesak laut.(TEMPO, 5 Juni 1980).
Pendangkalan itu rupanya terjadi cukup cepat. Karena 1000 rumah
yang tahun lalu masih terpancang di tengah laut, sekarang
sebagian besar nampak berada di "darat". Apalagi sejak Pemda
membangun jalan yang menghubungkan perumahan itu dengan daratan
Sibolga, penduduk pun seperti terangsang beramai-ramai menguruk
air laut yang akhirnya menjadi kolong dan pekarangan rumah
mereka. Sekarang mereka merasa lebih tenang, karena Pemda juga
bermaksud mengeluarkan sertifikat untuk kapling lepas pantai
itu, berikut surat izin mendirikan bangunan. Tapi 50 rumah yang
dikatakan mengganggu lalulintas kapal tadi, akan tetap digusur.
Peringatan Pemda tentang penggusuran itu telah dikeluarkan
bertubi-tubi. Bahkan menurut Risda, 25 tahun, sudah lima kali ia
menerima surat peringatan dari kantor walikota sejak Februari
lalu. Menurut istri pengemudi becak itu ia dan kawan-kawan
senasibnya dianjurkan pindah ke luar kota. Tapi sulitnya,
katanya, harga tanah yang sama dengan 2« gram emas per mÿFD itu,
tidak terjangkau oleh mereka.
Karena itu rumah-rumah mereka ditengah laut itu sebagian besar
terdiri dari buruh pelabuhan dan pengemudi becak. Namun "kalau
pemerintah sudah memerlukan laut ini, kami rela pindah," ujar
Halimah yang mendengar bahwa areal laut tempat pemukiman mereka
akan dikeruk Pemda. "Tapi," kata Halimah pula, "kalau masih dua
tahun lagi baru dikeruk, biarlah kami tinggal di sini selama dua
tahun lagi."
Kepastian kapan dikeruk tidak disebutkan oleh Kurdi Sudjatmika,
Kakanwil Perla I Belawan. Pejabat ini berkata: "Prinsip kami,
mereka tak boleh berumah di situ dengan dalih apa pun."
Sementara itu menurut Tengku Anwar, Humas Pemda Sibolga,
penduduk yang tergusur tidak akan memperoleh penampungan ataupun
ganti rugi. Alasan Pemda: 50 rumah itu liar dan sudah lima kali
diperingatkan.
Lagi pula menurut Tengku Anwar, 50 penghuni rumah di laut itu
juga punya rumah di darat. Ini, katanya, berdasarkan penelitian
bersama Pemda dan Polri. Tapi Risda membantah keterangan itu.
"Kalau kami digusur, berarti kami menjadi gelandangan," tutur
Risda.
Sebegitu jauh belum nampak tandatanda bahwa Pemda akan segera
melakukan penggusuran. Jika pun dilaksanakan kelak, menurut
Tengku Anwar akan dilakukan hati-hati.
Letak Sibolga yang terjepit antara pantai dan Bukit Barisan
memang tidak menguntungkan. Kota yang terletak di perbatasan
antara Provinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat itu, luasnya
27 kmÿFD, tapi tanah yang bisa dijadikan tempat permukiman
lebih dari 2,8 kmÿFD. Di atas tanah yang tidak seberapa ini
berdesak-desak 59.000 jiwa, hingga Sibolga dinyatakan sebagai
kota terpadat di Sum-Ut. "Kecuali dua lapangan bola, tanah
kosong nyaris tidak ada," ungkap Tengku Anwar.
Bukan tidak terpikir untuk memperluas wilayah kota itu. Usul
tentang itu bahkan sudah diajukan ke Pusat. Tapi sayang, usaha
perluasan Sibolga terbentur pada usaha perluasan Kabupaten
Tapanuli Tengah. Menurut Tengku Anwar, "realisasinya butuh waktu
lama."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini