Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Nilai 4 untuk agama

Penjelasan menteri daoed joesoef di dpr tentang kebijaksanaannya menurunkan nilai minimal pelajaran agama di sd. departemen agama tak mengangkat guru sejak 5 tahun yang lalu. (pdk)

13 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMLAH guru agama untuk SD negeri, ternyata kurang dari separuh yang dibutuhkan. Dari lebih 122 ribu guru agama yang diperlukan, kenyataannya hanya terdapat 59.362 orang. Itulah, resminya, yang mendorong Departemen P&K mengeluarkan kebijaksanaan menurunkan nilai minima! bidang studi Agama --sebagai syarat diluluskannya seorang siswa yang menempuh EBTA -- dari 6,0 menjadi 4,0. Dan itu pula yang dipersoalkan dalam rapat kerja Menteri P&K degan Komisi IX DPR 27 Mei. "Memberikan nilai empat untuk mata pelajaran agama, jelas akan berakibat malasnya murid-murid untuk belajar agama secara tekun. Karena toh dengan nilai empat juga mereka sudah bisa lulus," kata Karmani SH dari FPP. Daoed Joesoef menjawab dari segi praktis. Ada sekolah-sekolah yang tidak memiliki guru agama, misalnya, sehingga bidang studi agama tidak dapat diajarkan. Lebih jauh lagi, sekolah-sekolah itu kemudian memberikan angka fiktif 6,0 kepada murid-muridnya agar bisa lulus EBTA. Lulusan PGA Kebiasaan fiktif itulah yang diharapkan Menteri bisa dihapuskan oleh keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah tanggal 27 November 1979 itu. Ini untuk menolong murid, tapi dengan tetap memberikan nilai obyektif," katanya. Memang, yang tertolong oleh penurunan nilai itu sebenarnya hanya muridmurid yang mendapat pelajaran agama secara tanggung. Tapi bahkan untuk sekolah yang tidak punya guru agama sama sekali, keputusan itu memberikan wewenang kepada seorang 'pembina agama' -- yang ditunjuk pihak Kanwil Departemen Agama dan diangkat oleh Kanwil Dep. P&K. Tugasnya memang bukan untuk mengajar -- melainkan menguji. Dan di situlah, diharap, manfaat penurunan nilai. Barulah kalau sama sekali tidak ada pembina, "nilai pendidikan agama itu bisa dikosongkan . . . ," kata Daoed Joesoef. Ini memang cukup peka. Menurunkan nilai-lulus bagi pelajaran agama, bukankah menunjukkan merendahnya tuntutan kepada keberagamaan anak-anak kita? "Kalau memang kekurangan guru, kenapa pemerintah tidak mengangkat saja yang baru. Kenapa harus mengalahkan pendidikan agama yang ]elas penting," kata Soelaeman Fadeli, Wakil Ketua Komisi IX. Padahal, calon-calon guru agama jelas tidak kurang di pasaran tenaga kerja. Menurut Drs. H. Zaini A. Syis Direktur Pembinaan Perguruan Agama Islam Departemen Agama, sejak 1970 ada sekitar 9000 calon guru agama lulusan PGA yang justru membutuhkan penempatan. Namun tidak mudah untuk mengangkat guru agama baru sekarang ini, rupanya. Sebabnya, yang terpenting: sejak 1976 Departemen Agama justru tidak melakukan pengangkatan pegawai. Yakni sejak terbongkarnya kasus bisluit guru agama palsu yang dipegang angkatan tahun 1966-1967. Padahal secara struktural guru agama negeri untuk P&K berinduk ke Departemen Agama. Jadi menunggu penyelesaian oleh Badan Administrasi Kepegawaian Negara. "Belum mungkin dilakukan pengangkatan guru baru," kata H. Zaini. "Tapi," katanya lagi, "insya Allah tahun ini sudah selesai." Jadi akan ada pengangkatan besar-besaran? Belum tentu juga. Walaupun sudah ada empat kali pengangkatan melalui jalur Inpres, untuk jumlah hanya beberapa ribu guna mengatasi kekurangan yang kemarin (dan sudah termasuk dalam jumlah yang "kurang separuh darikebutuhan" itu), pengangkatan selanjutnya "sangat tergantung pada alokasi dana yang tersedia dalam APBN," tutur Prof. Dardji Darmodihardjo, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah P&K. Nah, di situlah kuncinya. Soal guru agama memang rada susah. Mata pelajaran lain bisa saja dirangkap oleh seorang guru, bila guru yang bersangkutan tak ada. Tapi tidak pelajaran agama -- meski dalam hal agama Islam jelas lebih mudah. Untuk agama Islam ini, Soelaeman Fadeli yang anggota DPR itu memang lebih memilih menunjuk guru dari fak lain. "Toh pendidikan agama untuk SD masih sangat sederhana," katanya. Jika ini pun tidak mungkin, "bicara saja sama BP3, agar mereka menggaji seorang guru agama. Jika BP3 menginginkan anak-anaknya tumbuh sebagai generasi yang baik, saya kira mereka mau." Mudah-mudahan di samping jalan lain, yang sebenarnya masih bisa dibayangkan: mengangkat guru agama honorer. Tapi Zaini A. Syis menolak. "Kasihan mereka. Apalagi honor mengajar sekarang ini hanya Rp 50 per jam," ujarnya. Departemen P&K sendiri, menurut dia, sudah lama menghapus sistem honor. Bagi calon-calon guru itu pun, daripada jadi tenaga honorer di sekolah negeri lebih baik mengajar di sekolah swasta. Toh, kata Prof. Dardji, "kebijakan ini sifatnya hanya sementara. Mudah-mudahan tahun depan sudah kembali biasa lagi, sebab sudah banyak guru agama Inpres yang akan diangkat." Berarti nilai 4,0 itu akan dinaikkan lagi menjadi nilai semula. Di segi lain, ini mungkin kabar gembira bagi lulusan sekitar 90 sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA), yang setiap tahun melepas tak kurang dari 8000 orang calon guru. Atau mungkin juga belum tentu. Dilihat saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus