JUMLAH guru agama untuk SD negeri, ternyata kurang dari separuh
yang dibutuhkan. Dari lebih 122 ribu guru agama yang diperlukan,
kenyataannya hanya terdapat 59.362 orang.
Itulah, resminya, yang mendorong Departemen P&K mengeluarkan
kebijaksanaan menurunkan nilai minima! bidang studi Agama
--sebagai syarat diluluskannya seorang siswa yang menempuh EBTA
-- dari 6,0 menjadi 4,0.
Dan itu pula yang dipersoalkan dalam rapat kerja Menteri P&K
degan Komisi IX DPR 27 Mei. "Memberikan nilai empat untuk mata
pelajaran agama, jelas akan berakibat malasnya murid-murid untuk
belajar agama secara tekun. Karena toh dengan nilai empat juga
mereka sudah bisa lulus," kata Karmani SH dari FPP.
Daoed Joesoef menjawab dari segi praktis. Ada sekolah-sekolah
yang tidak memiliki guru agama, misalnya, sehingga bidang studi
agama tidak dapat diajarkan. Lebih jauh lagi, sekolah-sekolah
itu kemudian memberikan angka fiktif 6,0 kepada murid-muridnya
agar bisa lulus EBTA.
Lulusan PGA
Kebiasaan fiktif itulah yang diharapkan Menteri bisa dihapuskan
oleh keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah tanggal 27
November 1979 itu. Ini untuk menolong murid, tapi dengan tetap
memberikan nilai obyektif," katanya.
Memang, yang tertolong oleh penurunan nilai itu sebenarnya hanya
muridmurid yang mendapat pelajaran agama secara tanggung. Tapi
bahkan untuk sekolah yang tidak punya guru agama sama sekali,
keputusan itu memberikan wewenang kepada seorang 'pembina agama'
-- yang ditunjuk pihak Kanwil Departemen Agama dan diangkat oleh
Kanwil Dep. P&K. Tugasnya memang bukan untuk mengajar --
melainkan menguji. Dan di situlah, diharap, manfaat penurunan
nilai.
Barulah kalau sama sekali tidak ada pembina, "nilai pendidikan
agama itu bisa dikosongkan . . . ," kata Daoed Joesoef.
Ini memang cukup peka. Menurunkan nilai-lulus bagi pelajaran
agama, bukankah menunjukkan merendahnya tuntutan kepada
keberagamaan anak-anak kita? "Kalau memang kekurangan guru,
kenapa pemerintah tidak mengangkat saja yang baru. Kenapa harus
mengalahkan pendidikan agama yang ]elas penting," kata Soelaeman
Fadeli, Wakil Ketua Komisi IX.
Padahal, calon-calon guru agama jelas tidak kurang di pasaran
tenaga kerja. Menurut Drs. H. Zaini A. Syis Direktur Pembinaan
Perguruan Agama Islam Departemen Agama, sejak 1970 ada sekitar
9000 calon guru agama lulusan PGA yang justru membutuhkan
penempatan. Namun tidak mudah untuk mengangkat guru agama baru
sekarang ini, rupanya. Sebabnya, yang terpenting: sejak 1976
Departemen Agama justru tidak melakukan pengangkatan pegawai.
Yakni sejak terbongkarnya kasus bisluit guru agama palsu yang
dipegang angkatan tahun 1966-1967. Padahal secara struktural
guru agama negeri untuk P&K berinduk ke Departemen Agama.
Jadi menunggu penyelesaian oleh Badan Administrasi Kepegawaian
Negara. "Belum mungkin dilakukan pengangkatan guru baru," kata
H. Zaini. "Tapi," katanya lagi, "insya Allah tahun ini sudah
selesai." Jadi akan ada pengangkatan besar-besaran?
Belum tentu juga. Walaupun sudah ada empat kali pengangkatan
melalui jalur Inpres, untuk jumlah hanya beberapa ribu guna
mengatasi kekurangan yang kemarin (dan sudah termasuk dalam
jumlah yang "kurang separuh darikebutuhan" itu), pengangkatan
selanjutnya "sangat tergantung pada alokasi dana yang tersedia
dalam APBN," tutur Prof. Dardji Darmodihardjo, Dirjen Pendidikan
Dasar dan Menengah P&K. Nah, di situlah kuncinya.
Soal guru agama memang rada susah. Mata pelajaran lain bisa saja
dirangkap oleh seorang guru, bila guru yang bersangkutan tak
ada. Tapi tidak pelajaran agama -- meski dalam hal agama Islam
jelas lebih mudah. Untuk agama Islam ini, Soelaeman Fadeli yang
anggota DPR itu memang lebih memilih menunjuk guru dari fak
lain. "Toh pendidikan agama untuk SD masih sangat sederhana,"
katanya. Jika ini pun tidak mungkin, "bicara saja sama BP3, agar
mereka menggaji seorang guru agama. Jika BP3 menginginkan
anak-anaknya tumbuh sebagai generasi yang baik, saya kira mereka
mau."
Mudah-mudahan di samping jalan lain, yang sebenarnya masih bisa
dibayangkan: mengangkat guru agama honorer. Tapi Zaini A. Syis
menolak. "Kasihan mereka. Apalagi honor mengajar sekarang ini
hanya Rp 50 per jam," ujarnya. Departemen P&K sendiri, menurut
dia, sudah lama menghapus sistem honor. Bagi calon-calon guru
itu pun, daripada jadi tenaga honorer di sekolah negeri lebih
baik mengajar di sekolah swasta.
Toh, kata Prof. Dardji, "kebijakan ini sifatnya hanya sementara.
Mudah-mudahan tahun depan sudah kembali biasa lagi, sebab sudah
banyak guru agama Inpres yang akan diangkat." Berarti nilai 4,0
itu akan dinaikkan lagi menjadi nilai semula.
Di segi lain, ini mungkin kabar gembira bagi lulusan sekitar 90
sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA), yang setiap tahun melepas
tak kurang dari 8000 orang calon guru. Atau mungkin juga belum
tentu. Dilihat saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini