DI Timor Timur, matahari tak pernah berhenti bersinar. Di Pantai Dili, ibu kota Timor Timur, bocah-bocah dengan riang terjun dari rongsokan perahu, sementara itu di Fatubessi, Kabupaten Ermera, seorang petani dalam perjalanan pulang menghisap pipanya dengan penuh kenikmatan. Kebenaran, kata orang bijak, bukan komoditi yang murah. Maka, buku East Timor: A Photographic Record adalah sebuah gambar kebenaran yang mahal harganya. Mahal karena, entah sampai berapa ratus tahun lagi, Timor Timur telanjur lengket dengan citra sebuah tempat matahari telah lama tenggelam dan tak kan terbit lagi. Juga karena di Timor Timur selalu ada dua "kebenaran": yang dikumandangkan dari kaca televisi atau dari ucapan pejabat. Itu pun hanya bisa kita tangkap dari bisik-bisik. Diterbitk an kantor berita Antara, pekan silam - tepat dengan pembukaan sidang KTT Nonblok di Jakarta - buku ini mau tak mau memaksa pembuatnya seperti berakrobat di atas tali kenyataan, yang terlalu tipis dan kapan saja bisa putus. Toh, hal tersebut tak membuat lembaga bersejarah ini gentar. Menurut Parni Hadi, Wakil Pelaksana Pemimpin Redaksi Antara, yang dalam penerbitan ini bertindak sebagai redaktur utama, ide East Timor: A Photographic Record sudah berbenih sejak tahun lalu - jauh sebelum tragedi 12 November 1991 dan kedatangan kapal Lusitania Expresso. "Kami ingin memperkenalkan Timor Timur kepada masyarakat Indonesia. Bukan dalam bentuk brosur pariwisata atau propaganda, tapi dalam bentuk karya jurnalistik yang faktual," kata Parni Hadi. "Tentu ada visi politiknya, tapi bukan politik yang murahan." Dan East Timor: A Photographic Record memang bukan barang pasaran. Baik rancangan dan hampir seluruh rekaman gambar, yang berjumlah sekitar 166 buah itu, merupakan visi Oscar Motuloh, angkatan baru wartawan Antara dan salah satu fotojurnalis muda yang menonjol kala ini. Di lensa Oscar, semua yang bisu menemukan suaranya kembali. Sebuah nisan pejuang integrasi di kaki gunung, di pinggiran Same patung Kristus yang selamanya memanggul salib di Gereja Motael puing-puing gedung kolonial dan rongsokan kapal di tepi Pantai Dili. Semua ini direkamnya dalam lima kali perjalanan - antara Oktober 1991 dan Juni 1992 - keliling Timor Timur. Di bukit Komoro, Dili, Oscar memotret kotak amal yang dihiasi gambar Bunda Maria dan digembok. Ini sebuah karya kuat: benda yang teramat sederhana ini tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang menjanjikan sejuta tafsiran dan sejuta kesaksian. Namun, diperlukan waktu dan keteduhan hati untuk merenungkannya, apalagi foto-foto tersebut sering dicetak kecil dan tertimbun di antara karya lain. Sebenarnya, tidak seluruh observasi Oscar sulit. Walaupun begitu, karya-karyanya yang lebih riang tetap menyimpan bom waktu. Rakyat Timor Timur mahal senyum, apalagi kepada orang dari luar lingkungannya. Maka, wajah-wajah ceria yang ditemui Oscar di sawah dan di atas gunung justru mengharukan. Senyum itu menghancurkan praduga mereka, yang selalu sinis melihat kehidupan di sana maupun mereka yang cuma bisa ngomong persatuan dan kesatuan. Kepada yang satu, foto-foto itu seperti bertanya, "Kalau hidup saya neraka, kenapa saya bisa tersenyum?" Sementara itu, pada yang lain ia berkata, "Saya tersenyum, tapi kenapa hidup saya seperti neraka?" Maka, kekurangan-kekurangan East Timor: A Photographic Record tidaklah bersumber pada tim pembuat - Redaktur Foto Abdul Djamal Soamole, Redaktur Naskah Riris Irawati dan Muhadjir Rais, serta fotografer Hermanus Prihatna - yang sebenarnya kompak. Tapi, dari berbagai alasan yang sudah menjadi klise seperti: "ini bukan Amerika atau Barat" atau "kita orang Timur" pada mereka yang belum mendapat penyuluhan. Kendati tidak mengalami kesulitan dalam perizinan, konon seluruh staf pimpinan Antara, termasuk direktur keuangan dan logistiknya, terlibat dalam penyuntingan gambar. Sekitar 10 foto, termasuk foto dokumentasi Insiden 12 November, kabarnya tidak jadi dipakai karena dinilai terlalu menyinggung masalah militer dan agama. Sementara itu, beberapa perusahaan besar mengundurkan diri dari pendanaan buku ini. Juga, patut disayangkan buku yang dicetak sekitar 2.000 eksemplar dengan biaya Rp 55 juta ini belum dijual bebas. "Sementara baru kami berikan pada pejabat dan pimpinan delegasi KTT Nonblok," tutur Handjojo Nitimihardjo, Pemimpin Umum Antara sekaligus penerbit East Timor: A Photographic Record. Ia menambahkan bahwa jadwal terbit yang bertepatan dengan KTT Nonblok tak mengandung maksud politis. "Rencananya, buku ini sudah terbit sejak 17 Agustus lalu, tapi kami kurang persiapan." Walaupun begitu, ia tidak menutup kemungkinan buku ini dicetak ulang untuk konsumsi umum. "Pasti laku," katanya. Kalau benar, perlu dilakukan banyak perbaikan. Foto Peristiwa 12 November mungkin perlu disajikan demi kebenaran sejarah, sementara itu karya yang lebih simbolis diberikan porsi yang lebih besar. Dari segi teknis, paling tidak percetakan yang digunakan nantinya harus mampu mereproduksi kembali warna-warna foto sesuai dengan aslinya. Juga, iklan-iklan di halaman belakang sangat mengganggu, sehingga perlu dikurangi. Terlepas dari berbagai problem di atas, East Timor: A Photographic Record adalah langkah yang jauh ke depan. Bagi Antara, yang sebentar lagi akan merayakan ulang tahunnya yang ke-55, penerbitan buku foto keduanya ini menandakan sebuah kelahiran kembali. Seperti buku Photojournalism, yang diterbitkan tahun lalu oleh Antara dan organisasi kantor berita Asia Pasifik, East Timor juga sebuah proyek idealis. Di saat media-media besar lainnya memilih jurnalisme yang verbal ketimbang jurnalisme yang lebih visual, Antara yang dikenal "kolot" berani menampilkan anak-anak muda untuk berkiprah di dalam karya-karya fotografi. Bagi sejarah seni rupa Indonesia, buku ini menandakan lahirnya sebuah bahasa baru: eseifoto. Dan Oscar Motuloh adalah eseisfoto pertama dari generasi ini yang berhasil melahirkan sebuah karya panjang. East Timor: A Photographic Record bukan lagi kumpulan jeprat-jepret yang tujuannya cuma untuk memenangkan lomba foto atau mengundang decak kagum kelas fotografi. Ia sesuatu yang baru: sebuah dokumen yang dilandaskan bukan pada teknik, tapi komitmen dan ide. Gaya fotografi Oscar yang sederhana, tapi kuat, mirip fotografer dokumenter ternama Walker Evans dari Amerika, memberikan peluang pada subyeknya untuk berbicara langsung pada pembaca. Pada akhirnya, keberhasilan atau kegagalan buku ini memang tergantung pada kesiapan pembacanya. Masalahnya, Timor Timur sudah lama berhenti menjadi perenungan. Ia adalah dua potret yang telanjur direkat oleh waktu dan darah. Sejauh apa kita dapat memahaminya tergantung pada seberapa jauh kita siap mengubur imaji-imaji yang mulai menguning di benak kita itu. Memang, sangatlah mudah untuk mengatakan bahwa East Timor: A Photographic Record berpihak. Kubu yang sinis akan mengatakan bahwa buku ini terlalu optimistis. Tapi, kita pun bertanya apakah orang Timor Timur tidak berhak atas optimisme yang sama yang dinikmati bangsa Indonesia lainnya. Sementara kubu yang selalu optimistis akan waswas kalau kita menemukan sinisme dalam karya Oscar, yang akhirnya juga membuat kita bertanya apakah harga yang dibayar selama ini -- untuk sebuah senyum, sebuah pengakuan -- sudah terlampau tinggi. East Timor: A Photographic Record mungkin ingin mengatakan bahwa Timor Timur hanya bisa bangkit kembali bila kita berhenti memperlakukannya sebagai sebuah masalah, sebuah obyek, atau sebuah kata. Tengok kembali wajah kakek tua di Gunung Tatamailau, Ainaro. Ia tahu bahwa di tempatnya berdiri, seperti di tempat kita berdiri sekarang, matahari tak selamanya terbenam. Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini