Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Gogo baru, mencari nama

Varietas baru padi gogo diketemukan, penelitiannya dilakukan di balai penelitian tanaman pangan sukamandi, diajukan ke menteri pertanian untuk mendapatkan nama varitas. (ilt)

19 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASANYA enak seperti rojolele, tahan hama dan berumur singkat mirip WTW, tak salah lagi pravaritas ini akan jadi harapan bagi petani padi gogo di sini. Pertengahan Maret ini, Balai Penelitian Tanaman Pangan Balittan) Sukamandi, Subang, mengajukan bibit unggul tersebut kepada Menteri Pertanian untuk mendapatkan nama varitas dan dilepas kepada petani. Di Sukamandi, tempat penelitian ini dilakukan, galur s-55c-31-2 (nama bibit unggul itu3 terlihat sudah menguning - untuk ke sekian kalinya - di atas 2,5 ha kebun percobaan. Buahnya yan lebat rupanya sering tak tertahankan oleh tubuhnya yang Jangkung sebagaimana biasa padi gogo, I sampai 1,23 m, bila dibandingkan dengan tinggi VUTW yang cuma 0,80 m. Akibatnya di beberapa bagian ladang terlihat padi yang rebah. "Kelemahan padi ini mudah rebah ditiup angin," kata Dr. Haeruddin Taslim, kepala Balittan Sukamandi mengakui. Tapi cacat ini, menurut Tasiim, tak mempengaruhi produksi. Karena terjadi setelah butir padi memberat begitu menguning. "Cuma repot", kata Taslim lagi, "menuainya harus jongkok." Justru lebatnya buah padi itulah salah satu keunggulan gogo yang baru ini. Di kebun percobaan Cipeundeuy, Subang, panennya mencapai 3 ton per ha - menang Jauh dari gogo blasa yang cuma 1 ton bukan? Dan salah satu tujuan penting penelitian ini, mencari varitas yang cocok untuk lahan kritis, rupanya sudah terpenuhi. Ini setelah pada musim tanam yang lalu, padi ini dicoba di beberapa daerah lahan kritis seperti di Jatinom (Pati), Tamanbogo dan Waiabung (Sum-Sel), dan di Baturaja (Lampung?. Ternyata per hektar mampu diprodukslkan rata-rata I ton, sementara galur BPI-76, pravaritas gogo temuan lembaga penelitian beken dari Filipina, IRRI, di tempat dan waktu yang sama cuma berproduksi 500 sampai 700 kg per ha. Sementara, bila di tempat yang sama ditanam padi gogo biasa, ya tak bisa tumbuh. Keunggulan yang lain, dalam umur 105115 hari sudah bisa dipanen, persis seumur VUTW IR 36, dan lebih singkat ketimbang gogo biasa yang di atas 130 hari. Tambahan pula kadar alimose-nya, unsur yang meDyebabkan nasi terasa pulen, cuma 20% sama dengan rojolele atau beras Cianjur yang terkenal itu. Sebetulnya sifat galur (pravaritas) itu sudah diperoleh di Puslitbang Tanaman Pangan Bogor, dengan ditemukannya galur Adil, Makumur, Gemar, Gati dan Gata, sejak 1976. Sayang galur itu sampai kini belum dimasyarakatkan karena ternyata tak tahan wereng dan blast (piricularia oryzae). Blast, di kalangan petani gogo dikenal dengan nama penyakit cendawan, karena sudah sejak lama merusak panen di ladang-ladang gogo. Menurut Ir. Zainuddin Asmen Simanulang, staf Balittan Sukamandi yang memimpin penelitian ini, penyakit cenadawan lebih berbahaya dari wereng. "Wereng bisa disemprot insektisida, sedang blast tak ada obatnya," ujarnya. Penyakit yang disebabkan sejenis cendawan ini melukai daun dan malai padi, dan celakanya menjelang panen luka-luka di leher malai akan membusuk dan padi jadi rusak. "Satu-satunya jalan keluar ialah menciptakan bibit unggul yang tahan blast," ujar Simanulang yang asal Medan itu. Dan itulah s-55c-31-2. Selain terhadap blast, galur ini sudah teruji pula tahan wereng cokelat biotipe I, yang selama ini banyak menyerang ladang gogo. Penelitian gogo jempolan tersebut dilakukan sejak 1976, dengan melakukan persilangan berbagai galur yang bisa mengumpulkan kelebihan dari galur-galur itu. Umur singkat misalnya, diperoleh dari galur Tetep dan TKM-6, galur yang berumur pendek tapi produktivitasnya rendah. Sedang daya tahan terhadap wereng dan blast diambil dari berbagai galur lain, di antaranya Oryza Nevara, padi liar yang tumbuh di belantara Filipina. Semua ini menyebabkan penelitian makan waktu begitu lama, sampai bermusim-musim. Penemuan ini bisa dianggap suatu langkah baru mengejar tertinggalnya penelitian padi gogo selama ini dengan padi sawah. Padahal di Indonesia sekarang terdapat 76,4 juta ha lahan pertanian kering, terutama di daerah transmigrasi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Belum terhitung tanah kritis dan lahan perladangan berpindah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus