RASANYA enak seperti rojolele, tahan hama dan berumur singkat
mirip WTW, tak salah lagi pravaritas ini akan jadi harapan bagi
petani padi gogo di sini. Pertengahan Maret ini, Balai
Penelitian Tanaman Pangan Balittan) Sukamandi, Subang,
mengajukan bibit unggul tersebut kepada Menteri Pertanian untuk
mendapatkan nama varitas dan dilepas kepada petani.
Di Sukamandi, tempat penelitian ini dilakukan, galur s-55c-31-2
(nama bibit unggul itu3 terlihat sudah menguning - untuk ke
sekian kalinya - di atas 2,5 ha kebun percobaan. Buahnya yan
lebat rupanya sering tak tertahankan oleh tubuhnya yang Jangkung
sebagaimana biasa padi gogo, I sampai 1,23 m, bila dibandingkan
dengan tinggi VUTW yang cuma 0,80 m. Akibatnya di beberapa
bagian ladang terlihat padi yang rebah. "Kelemahan padi ini
mudah rebah ditiup angin," kata Dr. Haeruddin Taslim, kepala
Balittan Sukamandi mengakui. Tapi cacat ini, menurut Tasiim, tak
mempengaruhi produksi. Karena terjadi setelah butir padi
memberat begitu menguning. "Cuma repot", kata Taslim lagi,
"menuainya harus jongkok."
Justru lebatnya buah padi itulah salah satu keunggulan gogo yang
baru ini. Di kebun percobaan Cipeundeuy, Subang, panennya
mencapai 3 ton per ha - menang Jauh dari gogo blasa yang cuma 1
ton bukan? Dan salah satu tujuan penting penelitian ini, mencari
varitas yang cocok untuk lahan kritis, rupanya sudah terpenuhi.
Ini setelah pada musim tanam yang lalu, padi ini dicoba di
beberapa daerah lahan kritis seperti di Jatinom (Pati),
Tamanbogo dan Waiabung (Sum-Sel), dan di Baturaja (Lampung?.
Ternyata per hektar mampu diprodukslkan rata-rata I ton,
sementara galur BPI-76, pravaritas gogo temuan lembaga
penelitian beken dari Filipina, IRRI, di tempat dan waktu yang
sama cuma berproduksi 500 sampai 700 kg per ha. Sementara, bila
di tempat yang sama ditanam padi gogo biasa, ya tak bisa tumbuh.
Keunggulan yang lain, dalam umur 105115 hari sudah bisa dipanen,
persis seumur VUTW IR 36, dan lebih singkat ketimbang gogo biasa
yang di atas 130 hari. Tambahan pula kadar alimose-nya, unsur
yang meDyebabkan nasi terasa pulen, cuma 20% sama dengan
rojolele atau beras Cianjur yang terkenal itu.
Sebetulnya sifat galur (pravaritas) itu sudah diperoleh di
Puslitbang Tanaman Pangan Bogor, dengan ditemukannya galur Adil,
Makumur, Gemar, Gati dan Gata, sejak 1976. Sayang galur itu
sampai kini belum dimasyarakatkan karena ternyata tak tahan
wereng dan blast (piricularia oryzae).
Blast, di kalangan petani gogo dikenal dengan nama penyakit
cendawan, karena sudah sejak lama merusak panen di ladang-ladang
gogo. Menurut Ir. Zainuddin Asmen Simanulang, staf Balittan
Sukamandi yang memimpin penelitian ini, penyakit cenadawan lebih
berbahaya dari wereng. "Wereng bisa disemprot insektisida,
sedang blast tak ada obatnya," ujarnya. Penyakit yang disebabkan
sejenis cendawan ini melukai daun dan malai padi, dan celakanya
menjelang panen luka-luka di leher malai akan membusuk dan padi
jadi rusak. "Satu-satunya jalan keluar ialah menciptakan bibit
unggul yang tahan blast," ujar Simanulang yang asal Medan itu.
Dan itulah s-55c-31-2. Selain terhadap blast, galur ini sudah
teruji pula tahan wereng cokelat biotipe I, yang selama ini
banyak menyerang ladang gogo.
Penelitian gogo jempolan tersebut dilakukan sejak 1976, dengan
melakukan persilangan berbagai galur yang bisa mengumpulkan
kelebihan dari galur-galur itu. Umur singkat misalnya, diperoleh
dari galur Tetep dan TKM-6, galur yang berumur pendek tapi
produktivitasnya rendah. Sedang daya tahan terhadap wereng dan
blast diambil dari berbagai galur lain, di antaranya Oryza
Nevara, padi liar yang tumbuh di belantara Filipina. Semua ini
menyebabkan penelitian makan waktu begitu lama, sampai
bermusim-musim.
Penemuan ini bisa dianggap suatu langkah baru mengejar
tertinggalnya penelitian padi gogo selama ini dengan padi sawah.
Padahal di Indonesia sekarang terdapat 76,4 juta ha lahan
pertanian kering, terutama di daerah transmigrasi di Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi. Belum terhitung tanah kritis dan lahan
perladangan berpindah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini