Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJARAH mencatat dengan teliti bahwa penemuan pada dasarnya adalah melihat sesuatu secara berbeda atau dengan cara yang sama sekali baru—to see anew. Riwayat penemu lampu pijar Thomas Alva Edison adalah salah satu contoh.
Di laboratorium risetnya di Menlo Park, New Jersey, Amerika Serikat, Edison bekerja keras untuk mewujudkan sebuah mimpi: membuat lampu penerangan yang awet, bisa diproduksi massal, dan murah.
Betulkah ia sang penemu? Pada masa itu, pada paruh kedua 1800-an, ikhtiar untuk membuat lampu penerangan sedang gencar dilakukan. Sejarawan Robert Friedel dan Paul Israel mencatat, sejak awal abad itu setidaknya terdapat 22 temuan perihal lampu. Edison adalah sang penyempurna dengan menggunakan temuan para peneliti sebelumnya.
Baik Edison maupun ke-22 peneliti itu tampaknya tengah menerapkan keyakinan Dennis Gabor, fisikawan penemu holografi: masa depan itu tidak bisa diramal tapi bisa ditemukan.
Temuan pada dasarnya terjadi karena ada situasi sulit yang menekan—necessity is the mother of invention, mengutip sebuah pepatah. Berkembangnya sebuah kota mendorong munculnya kebutuhan akan lampu. Sebuah kota modern tak melulu hanya mengandalkan api sebagai penerang. Edison membuktikan itu semua: pada 1882 ia memasang lampu pijar di jalan-jalan Kota New York sepanjang satu kilometer.
Kebutuhan akan tempat berlindung mendorong orang untuk membangun rumah. Kebutuhan melakukan perjalanan yang lebih lekas menjadi pemicu orang untuk menemukan sarana transportasi cepat. Atau, dalam kancah politik, kebutuhan akan pemerintahan yang efisien dan mewakili kepentingan publik melahirkan demokrasi.
Keinginan, kebutuhan, juga—dalam batas tertentu—situasi mendesak itulah yang tergambar dalam kisah para penemu di majalah Tempo edisi ini. Sebuah laporan yang dibuat untuk memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, 10 Agustus 2012.
Sepuluh penemu, yang urut-urutan penuturannya tidak dibuat berdasarkan peringkat, merupakan hasil dari pilihan redaksi—sebuah proses penjurian—dengan bantuan empat narasumber yang kami anggap otoritatif. Mereka disaring dari seratus lebih nama yang diusulkan berbagai lembaga penelitian dan universitas di seluruh Indonesia. Nama-nama itu diverifikasi satu per satu hingga akhirnya tersisa 10 tokoh—para penemu yang melahirkan teori, metode, juga alat yang mendapat pengakuan internasional.
Untuk memilih mereka, sejumlah "alat ukur" ditetapkan. Empat kriteria terpenting diusulkan oleh Warsito Purwo Taruno, ahli tomografi penemu rompi antikanker, yang juga salah satu juri.
Menurut Warsito, penemuan adalah buah pemikiran atau hasil penciptaan yang melahirkan teori baru, fenomena baru, teknik baru, atau aplikasi baru. "Teori baru adalah kategori invention yang paling tinggi," katanya dalam sebuah diskusi santai di kantor kami, suatu sore pertengahan Mei lalu.
Warsito menyingkirkan "imitasi baru" sebagai salah satu kriteria. Menurut dia, sesuatu yang sudah ada di luar negeri, lalu dibuat replikanya, "terlalu bermasalah jika ingin disebut sebagai temuan".
Empat "mistar" Warsito itu dengan demikian menyingkirkan para inovator dari daftar. Berbeda dengan temuan, inovasi adalah penciptaan produk, proses, teknologi, atau ide yang lebih baik ketimbang yang sudah ada dan umum digunakan.
Sebagian besar usulan, kalaupun tidak bisa dipastikan kebaruannya sebagai temuan, memang masih tergolong ikhtiar untuk mengadopsi gagasan atau metode yang lebih baik saja.
Pembaca, liputan khusus mengenai para penemu ini merupakan bagian dari upaya Tempo untuk merayakan prestasi atau kegiatan yang mencerahkan yang dilakukan oleh siapa saja di negeri ini. Sudah umum diketahui, kalaupun tidak sedang berada dalam kegelapan, negeri ini sulit bisa dibilang cerah.
Dalam situasi seperti itu, prinsip kami adalah "lebih baik menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan".
liputan Khusus Tokoh Penemu Penanggung Jawab: Purwanto Setiadi, Kepala Proyek: Yuliawati, Penulis: Purwanto Setiadi, Yuliawati, Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian, Muchamad Nafi, Agung Sedayu, Untung Widyanto, Tjandra Dewi, Rini Kustiani, Anton William, Febriana Firdaus, Iqbal Muhtarom, Mahardika Satria Hadi, Eko Ari Wibowo, Kartika Candra, Eka Utami, Penyunting: Arif Zulkifli, Purwanto Setiadi, Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian, Philipus Parera, Yos Rizal, Yosep Suprayogi, Idrus F. Shahab, L.R. Baskoro, Firman Atmakusumah, Qaris Tadjudin, Kurniawan, Budi Setyarso, Seno Joko Suyono, Bagdja Hidayat, Tulus Widjanarko, Penyumbang Bahan: Hengky Purwoto (Groningen, Belanda), Anwar Siswandi (Bandung), Ahmad Fikri (Bandung), Addi Mawahibun Idhom (Yogyakarta), Pito Agustin R. (Yogyakarta), Periset Foto: Nita Dian, Bahasa: Uu Suhardi (koordinator), Iyan Bastian, Sapto Nugroho, Desain: Djunaedi (koordinator), Aji Yuliarto, Agus Darmawan Setiadi, Tri Watno Widodo |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo